“Aku tidak bisa,” suara di seberang sana terdengar yakin.
“Sebentar pun tidak bisa?” Balasku sekali lagi. “Baiklah aku akan mencari pria lain untuk menggantikanmu,” tambahku mengakhiri sambungan telepon.
***
Cuaca panas kota Jakarta seakan menembus hingga ruangan kantorku mesti pendingin ruangan sudah ku kecilkan hingga ke angka 16 derajat selsius. Aku tidak tahu panas yang ku rasakan ini berasal dari hawa panas di luar sana atau memang tubuhku yang memanas akibat kekesalan yang ku rasa pada kekasihku tadi.
Dreeet… Dreeet…
Ponsel yang aku letakkan di atas meja bergetar dua kali. Setelah ku tengok, nama Kwong Ji Yong yang muncul. Sebuah pesan singkat darinya. Masih dengan rasa kesal yang belum menghilang, aku baca pesan darinya.
Dari: Ji Yong-ku
Maafkan aku, tapi aku benar-benar tidak bisa datang. Kau tahu kan aku harus tetap berlatih untuk konser soloku. Dan… aku mohon jangan mecari pria lain untuk menggantikanku. Bukankah kau hanya perlu datang ke sana dan mengikuti lombanya?
Aku harus kembali berlatih sekarang. Aku akan meneleponmu setelah latihanku selesai ya. Aku mencintaimu, Kim Jae Eun.
Aku mendecakkan lidah. Setelah selesai membaca pesannya, tanpa ku balas dulu, aku langsung meletakkan kembali benda bergetar itu di atas meja.
Itu hanya alasannya. Aku menyimpulkan cepat. Aku tahu, jadwalnya di luar negeri sangatlah padat. Bahkan sudah hampir sebulan ini aku tidak bertemu dengannya. Tapi aku tahu betul, tanggal 17 Agustus mendatang ia sudah tiba di Ibu Kota sebelum ia terbang lagi ke Jepang. Aku tahu itu karena tanggal 18 Agustus kita sudah berjanji untuk merayakan ulang tahunnya bersama.
Jadi… kenapa ia harus tidak bisa hadir ke kantorku pada Kamis siang, tepat ditanggal 17 Agustus?
Aku menghempaskan napas cepat.
Ku putar-putar kursi tempatku duduk. Sambil bertopang dagu, pikiranku melayang ntah kemana. Aku membiarkannya pergi begitu saja. Tak apa, pikirku. Siapa tau hal itu bisa membuat perasaanku lebih baik nantinya.
Setelah beberapa saat melamun, kesadaranku kembali pulang. Aku kembali berpikir sejenak. Apakah aku keterlaluan pada Ji Yong? Bukankah aku terlalu egois? Oh astaga Kim Jae Eun… kau bahkan sudah mengenalnya sejak kalian berumur tujuh tahun. Kau adalah wanita yang paling mengerti Ji Yong. Kau sudah paham betul kesibukannya. Dan sekarang kau memaksanya datang hanya untuk acara tujuh belasan di kantormu? Dia orang paling sibuk sekarang, Jae Eun-a. Kau tahu itu!
Rasa sesal langsung merundung hatiku. Ku raih ponselku yang masih tergeletak di meja dengan cepat.
Untuk: Ji Yong-ku
Aku terlalu egois. Tidak seharusnya aku bersikap kekanak-kanakan seperti itu. Maafkan aku. Kau tidak perlu datang ke kantorku Kamis ini.
***
Tiga hari berlalu cepat sejak pertengkaranku dengan Ji Yong. Percecokkan kecil seperti itu memang kerap terjadi di antara kami. Mungkin karena faktor kesibukkan masing-masing ditambah dengan waktu bersama yang kurang membuat kami mudah tersulut emosi. Namun lagi-lagi, kami sama-sama sadar bahwa kami membutukan satu sama lain lebih dari siapa pun.
Untuk memperingati hari kemerdekaan yang jatuh pada 17 Agustus, kantorku akan menyelenggarakan lomba. Konyolnya mereka meminta semua orang hadir dengan membawa pasangan masing-masing. Itulah alasan mengapa aku ngotot meminta Ji Yong datang ke kantorku Kamis ini. Aku pun tidak habis pikir tentang peraturan konyol dari kantorku itu, bagaimana dengan karyawan yang tidak memiliki pasangan? Atau pasangannya yang sibuk bekerja juga, sepertiku? Dan lebih konyolnya lagi, ketika aku bertanya kepada karyawan-karyawan HRD, mereka dengan santainya menjawab, “Kau kan bisa mencari pria lain. Yang penting datang berpasangan!”
Cih. Peraturan seperti apa itu. Menyebalkan sekali!
Hatiku berkata untuk tidak hadir ke acara tahunan itu. Setiap tahun mereka selalu memiliki peraturan yang berbeda-beda dan herannya selalu konyol. Menyebalkan! Tapi lagi-lagi… sebagai seorang Program Director di salah satu kantor stasiun televisi terpandang di Jakarta, aku harus ikut berpartisipasi. Tapi aku tidak peduli. Aku tetap akan datang tanpa membawa pasangan! Bukankah akan merepotkan juga jika aku membawa Ji Yong ke kantor? Pasti wanita-wanita di kantorku akan sangat ribut.
Setibanya di kantor, aku langsung menuju basement untuk memarkirkan mobil putih milikku. Berbeda dengan hari-hari biasanya, hari ini basement sudah dihias dengan ornamen merah-putih ciri khas Indonesia.
Mungkin aku bukanlah warga Indonesia, mungkin juga baru tiga tahun aku tinggal di negara berkembang ini. Namun aku selalu excited setiap kali bulan Agustus tiba. Korea dengan Indonesia memiliki hari kemerdekaan yang hanya terpaut dua hari saja, yaitu Korea 15 Agustus sedangkan Indonesia 17 Agustus. Dan tinggal jauh dari negara sendiri, membuatku terdakang merindukan saat-saat dimana aku merayakan hari kemerdekaan negaraku bersama keluarga kami. Namun, sejak tinggal di Indonesia, aku tidak lagi merasa kesepian ketika merayakan hari besar tersebut karena di negara ini perayaan tahunan selalu diselenggarakan secara besar-besaran. Aku bahkan mendengar perayaan tujuh belasan di Indonesia dilakukan di semua tempat di seluruh Indonesia.
Begitu pula di kantorku. Sudah tiga kali ini aku selalu ikut berpartisipasi dalam lomba-lomba yang diadakan dalam rangka tujuh belasan. Satu hari di tanggal 17 Agustus seluruh karyawan di kantorku akan dibebas tugaskan dan diwajibkan untuk mengikuti lomba-lomba yang sudah disiapkan oleh tim HRD. Tidak hanya itu, di akhir acara, kami selalu mengadakan makan besar bersama. Sungguh merupakan momen yang luar biasa. Ya… walaupun mereka mempunyai peraturan konyol yang menyebalkan setiap tahunnya.
Aku keluar dari mobil yang telah kuparkirkan dengan sempurna. Aku berjalan menjauh setelah ku dengar bunyi pip tanda mobilku telah terkunci.
“Jennie, jangan lupa lombanya ya,” teriak seseorang dari jauh sambil melambaikan tangan.
Merasa dipanggil, aku menoleh ke arah suara tersebut berasal dan membalas lambaian tangannya, “Siap… taruh tas dulu ya.”
***
“Ayo… Ayo… Aaa… Mba Jennie itu, itu, ke kanan. Jangan ke kiri. Lurus mba, lurus,” teriak semua anggota divisiku. Mereka terus berteriak-teriak dengan gaduh menginstruksikan aku yang sedang mengikuti lomba pecah air dalam balon.
Pyurrr…
“Yeah…” teriak puas seluruh anggota divisiku tepat setelah aku berhasil memecahkan balon air dengan mata tertutup.
Ku buka ikatan kain yang menutupi mataku. Setelah bola mataku selesai mengitari area sekitar dan menyadari bahwa aku orang pertama yang memecahkan balonnya, aku berteriak dan melompat-lompat kegirangan. “Yeah… Yeah…” aku berlari dan memeluk seluruh anggota divisiku. Teriakkan dan kebahagiaan tumpah riuh saat itu juga.
Walaupun bajuku basah semua, tapi ada perasaan aneh yang tidak membuatku marah karena aku basah kuyup. Justru hatiku merasa sangat senang dan semua kepenatan seakan menguap hilang. Acara-acara seperti ini memang paling cocok untuk para pekerja media yang selalu diburu deadline, pikirku puas.
***
Lomba telah berakhir. Acara makan besar pun telah berakhir. Semua makanan telah ludes habis bahkan dalam hitungan menit setelah acara makan-makannya dimulai.
Seorang pemandu acara kembali menaiki panggung untuk mengumumkan hasil lomba yang sudah kami ikuti tadi. Satu per satu para pemenang dipanggil untuk menerima hadiah. Terlihat wajah bahagia para pemenang beserta tim divisi masing-masing yang mendukungnya. Walaupun hadiah yang diterima bukanlah barang mewah, namun seulas senyum lebar terus saja tersinggung dari setiap orang.
“Dan sekarang gue akan ngumumin pemenang lomba yang terakhir nih. Ada yang tahu lomba apa yang akan gue umumin sekarang?” Tanya pemandu acara yang dijawab dengan antusias oleh seluruh karyawan yang hadir.
“Tahuuu.”
Sambil menggerakkan telapak tangan kanannya ke bawah tanda isyarat diam, sang pemandu acara kembali melanjutkan kata-katanya, “Ya! Untuk lomba pecah air dalam balon dimenangkan oleh…” laki-laki jangkung itu berhenti sejenak, dan, “Jennie alias Kim Jae Eun dari divisi Bukan Talkshow. Yeah…”
Sorak sorai langsung pecah di antara kami. Seluruh anggota divisiku berteriak senang sambil mendorongku maju ke panggung. Sambil tersipu malu aku melangkahkan kakiku ke atas panggung.
“Annyeonghaseyo,” sapa laki-laki pemandu acara tersebut dengan bahasa Korea. Ya, karyawan di kantorku akan menyapaku dengan bahasa Korea setiap kali kami bertemu karena aku satu-satunya orang Korea di sana. Hehe.
“Annyeonghaseyo,” balasku sambil membungkukkan tubuh.
Setelah berbalas salam, laki-laki berkacamata itu berjalan ke sisi panggung, mengambil kotak kecil ukuran segenggam tangan, dan memberikannya padaku. Dengan dua tangan aku menerima kotaknya. Agak heran, kenapa kotak milikku tidak sebesar kotak para pemenang yang lain? Tapi ya sudahlah namanya hadiah harus diterima.
Laki-laki bernama Ryan itu mengangkat dagunya dua kali, mengisyaratkan agar aku membuka kotak tersebut.
Aku tersentak kaget melihat apa yang ada di dalam kotak kecil itu. Aku terdiam. Menoleh ke sekitaran panggung. Aku melihat semua orang yang hadir sedang mengawasiku dengan seksama. Suasana menjadi hening. Aku tidak bisa mencerna apa yang sedang terjadi sekarang.
Kesadaranku belum sepenuhnya kembali namun sebuat intro lagu mengalun pelan dan sebuah suara laki-laki menyeruak pelan mengikuti irama lagu.
It's hard for me to say the things
I want to say sometimes
There's no one here but you and me
And that broken old street light
Lock the doors
We'll leave the world outside
All I've got to give to you
Are these five words tonight
Lagu milik band legendaris, Bon Jovi, Thank You For Loving Me! Otakku langsung bisa mengenali lagu itu pada irama pertamanya.
Aku semakin tercekat dan tidak bisa bernapas ketika aku mendengar suara laki-laki yang menyanyikan lagu itu. Suara yang sangat aku kenal. Sambil mengamati seluruh ruangan aku mencari sosok yang ada di otakku.
Deg.
Aku membeku kali ini. Mataku menemukan sesosok pria kurus yang sedang berjalan ke arah panggung sambil memegang mic. Pria kurus yang mengenakan setelan jas dengan bubuhan kaos oblong terlihat semakin dekat dan semakin besar di mataku.
Thank you for loving me
For being my eyes
When I couldn't see
For parting my lips
When I couldn't breathe
Thank you for loving me
Thank you for loving me
Laki-laki itu kini telah berada tepat di depanku. Tanpa ku sadari, aku telah menutupi mulutku yang sudah menganga dari tadi. Masih membeku di tempat yang sama, mataku semakin membelalak ketika pria itu melepaskan tangan kanan yang menutupi mulutku. Pria itu menggenggam lembut tanganku dan menyelesaikan lagunya.
Otakku masih terlalu lemah untuk berpikir. Tapi jantung yang terus berdegub kencang ini membuat hatiku berteriak tiada henti, Astaga Kwon Ji Yong apa yang sedang kau lakukan sekarang!
“For those all we had passed together. For those all our pain, laugh, fear, love, and anything else, I believe that you’re the only one in my heart,” ucap pelan Ji Yong setelah selesai bernyanyi. Kali ini dengan menggenggam kedua tanganku. “Jae Eun-a, will you marry me?” pungkasnya.
Ji Yong melamarku! Otakku bisa menyipulkan. Tapi suaraku hilang entah kemana. Tubuhku pun masih kaku. Hanya bising suara orang-orang yang berteriak terima, terima, terima! yang ku dengar.
Tidak kunjung ku temukan suaraku, Akhinya aku hanya mengangguk yakin. “Yea, I will,” kata singkat itu langsung keluar dari mulutku begitu aku berhasil menemukan kembali suaraku yang hilang ntah pergi kemana.
Kegaduhan kembali pecah saat aku mengiyakan permintaan pria dihadapanku itu. Lebih pecah lagi keriuhan terjadi ketika kecupan hangat menyentuh dahiku tepat setelah Kwon Ji Yong memakaikan cincin berlian di jari manisku.
***
Dua minggu sebelum Hari-H kejutan untuk Kim Jae Eun.
Ji Yong baru saja tiba di Sydney sejak konser terakhirnya di Amerika. Pagi hari itu cukup dingin untuk kota Sydney. Ia baru saja tiba di hotel ketika layar ponselnya menyala dengan diiringi getaran pelan. Reminder. Ji Yong kembali mematikan ponselnya setelah ia selesai membaca catatan dari aplikasi pengingat di ponselnya.
“Hyung, apakah kau sudah menghubungi teman-teman Jae Eun di kantor dan menceritakan tentang rencanaku?” tanya Ji Yong pada manajernya tersebut.
“Hm. Sudah,” jawabnya singkat. Sambil membuka ponselnya, pria itu kembali melanjutkan kata-katanya, “Dia bilang mereka akan mengaturnya, jadi kau tinggal katakan detail rencanamu biar mereka yang mengerjakan semuanya.”
Sambil melipat kedua tangannya di dada, Ji Yong berpikir sejenak, “pokoknya aku ingin mereka membawa Jae Eun ke atas panggung. Buat dia menang di salah satu lomba, apapun itu, dan umumkan lombanya di akhir acara. Jadikan cicin yang kuberi untuk hadiah lombanya, buat ia membuka hadiahnya di atas panggung saat itu juga. Ketika ia kehilangan kata-katanya karena terlalu kaget, aku akan muncul dengan menyanyikan sebuah lagu,” jelas Ji Yong sambil membayangkan reaksi kekasihnya itu. Seulas senyum menyimpul dari ujung bibirnya.
“Hei, Kwon Ji Yong. Kau serius akan melamarnya?” Tanya penata rambutnya tidak percaya.
“Tentu saja. Aku sudah merencanakannya bahkan sejak tahun lalu,” jawab Ji Yong penuh keyakinan.
Semua orang di sana hanya berdecak kagum dengan keberanian artisnya itu.
“Oh iya hyung, pastikan tidak ada orang yang merekam acara itu ya. Aku tidak mau publik mengetahuinya sekarang,” Ji Yong mewanti-wanti dengan serius.
Sambil melingkarkan jari telunjuk dengan ibu jari membentuk O, sang manajer mengiyakan peringatan Ji Yong, “siap bos.”
***
“Itu semua idemu?” Mataku terbelalak tidak percaya mendengar ceritanya.
Ji Yong mengangguk yakin. Ia merasa bangga dengan dirinya. Kejutan yang ia persiapkan benar-benar membuatku tidak bisa berkata apa-apa kemarin.
“Hei, Kwon Ji Yong! Kau belajar menjadi romantis seperti itu dari mana?”
Mendengar pertanyaanku yang lebih terdengar seperti cemoohan itu, Ji Yong hanya tersipu malu sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.
Makan malam kami berjalan dengan sangat lancar. Setelah ia melamarku di hadapan semua teman-teman kantor kemarin, kami menghabiskan waktu bersama. Dan malam ini pun kami kembali menghabiskan waktu bersama untuk merayakan ulang tahunnya.
“Hei, Kim Jae Eun! Mana kado ulang tahunku?” pintanya merajuk seperti anak kecil.
Aku mendecakkan lidah, “Kau sudah memiliki semuanya. Jadi apa lagi yang harus aku berikan padamu?” jawabku tidak peduli.
“Jadi kau tidak mempersiapkan hadiah apa-apa untukku?” Tanyanya sekali lagi yang hanya kubalas dengan anggukkan.
Merasa kesal dengan jawabanku, Ji Yong kembali menyantap makanannya dengan sebal.
Beberapa detik kemudian.
Sebuah suara muncul dari layar besar yang ada di hadapan kami. “Ji Yong-a.”
Ji Yong yang merasa dipanggil, mendongakkan kepalanya, mencari sumber suara. Dia tercekat ketika mendapati wajahku di layar besar tersebut. Dengan ragu-ragu ia menatapku. Aku mengisyaratkannya untuk kembali melihat layar besar di hadapannya.
Sebuah video yang kupersiapkan selama satu bulan ini sengaja aku rahasiakan darinya. Inilah kado ulang tahun dariku untuknya. Sebuh rangkaian gambar yang aku satukan menjadi sebuat film dokumenter yang menceritakan jalannya kehidupan kami berdua.
Dimulai dari tujuh tahun lalu ketika aku pertama kali pindah ke Ibu Kota Korea, ketika pertama kalinya aku memiliki teman bernama Kwon Ji Yong, tentang persahabatan kita bertiga bersama Choi Seung Hyun, hingga akhirnya kita bisa menjadi sepasang kekasih hingga saat ini, aku menyatukan semua memori itu dalam sebuah film yang aku edit sendiri.
Kurang lebih sepuluh menit aku mampu membuat pria di hadapanku ini terpaku. Bibirku menyimpul lebar ketika aku melihat butiran air mata mulai keluar dari pelupuk mata dan membasahi pipi Ji Yong. “Hei, Kwon Ji Yong. Jangan menangis,” kataku sambil menggenggam sebelah tangannya, menggerak-gerakkannya dengan pelan.
Ji Yong menatapku tanpa mengapus air matanya terlebih dahulu, “you got me, Jae Eun-a.”
Aku tersenyum puas.
Pria itu kini beranjak dari tempat duduknya. Menyingkap serbetnya dan berjalan ke arahku. Tangannya memegang tanganku lembut dan menuntunku untuk ikut beranjak. Kali ini ia menatapku dalam. Tatapan yang paling aku rindukan akhir-akhir ini.
“Aku mencintaimu, Kim Jae Eun.”
Aku baru ingin membalas pesan cintanya ketika aku lebih dulu merasakan kehangatan dari bibir Ji Yong yang mendarat sempurna di bibirku. Malam hari di Kota Jakarta yang panas, aku dan Ji Yong kembali diikatkan dengan cinta yang semakin kuat, dalam dan semakin dekat dengan kesempurnaan.
Kini aku pun menyadari bahwa perjuangan yang kita lakukan bersama tidaklah sia-sia adanya. Lika-liku perjalanan yang telah kita lalui bersama, melewati segala cobaan, membuat kita tumbuh menjadi pribadi yang lebih kuat lagi, lagi, dan lagi.
Perjuangan Ji Yong untuk memberikan kejutan besar berupa sebuah lamaran hidup bersama sukses membuatku kehilangan kata-kata. Begitu juga dengan perjuanganku untuk memberikan kejutan di hari ulang tahunnya pun sukses menjatuhkan air matanya. Aku sadar, ketika kita selalu memperjuangkan hal yang kita cintai, memberikannya yang terbaik dan sepenuh hati, aku percaya hal yang kita perjuangkan tersebut akan menghasilkan buah yang manis dan menuju kesempurnaan yang nyata.
Aku juga mencintaimu, Kwon Ji Yong.
Tamat.