<CHAPTER 1/1>
Malam ini akan terasa berbeda dari biasanya. Bukan karena Arin bisa melihat banyak bintang atau bulan yang terlihat sangat jelas di langit. Namun, ia merasakan kedamaian dalam hatinya. Bulan itu datang lagi. Bulan penuh ampunan dan dirahmati Allah serta waktu untuk mengumpulkan pahala sebanyak-banyaknya. Arin tersenyum membayangkan kenangan manis yang terjadi setahun sebelumnya.
“Rin, jangan suka senyum-senyum sendiri gitu. Nanti dikira ‘ketempelan’ lho!” ucapan Dani membuyarkan lamunan Arin.
“Aku lagi teringat sesuatu kok. Makanya senyum-senyum sendiri. Kakak ganggu aja deh!” jawab Arin ketus.
“Lagian, mana ada sih yang begituan di bulan ramadhan ini? Kan Allah mengurung mereka di neraka kak” lanjutnya lagi.
“Sudah sudah. Arin, Dani, kalau bulan ramadhan nggak boleh marah-marah gitu ya. Kita harus saling rukun. Udah yuk, cepat jalannya. Adzan sudah berkumandang tuh.” Ucap Ibu mengingatkan.
Sesampainya di masjid, Dani berpisah dengan Ibu dan Arin. Karena tempat shalat wanita ditempatkan di lantai dua. Segera mereka mengambil wudhu dan bersiap untuk shalat. Saat menaiki tangga ke lantai dua, ibu membuka suara, “Nanti setelah shalat tolong belikan lauk buat sahur besok ya,”
“Tapi kan bisa nyuruh kak Dani, Bu. Mumpung dia lagi di sini.”
“Biarin kakak kamu istirahat ya. Kasihan dia baru sampai dari Surabaya. Kapan-kapan gantian deh Ibu suruh dia.”
Arin terdiam tanda menyetujui. Shalat pun berjalan dengan khusyuk malam itu.
***
Arin berpamitan dengan Ibu dan Kakaknya karena berbeda arah antara rumah makan Padang dengan rumahnya.
“Pokoknya beli secukupnya saja ya. Hati-hati juga nanti pulangnya.”
“Iya, Bu. Beres deh! Assalamualaikum,”
“Waalaikumsalam.”
Arin menghilang secepat kilat. Ada alasan mengapa dirinya begitu bersemangat. Perutnya yang keroncongan tengah memanggilnya. Malam itu ia belum makan juga. Ia berniat memesan lebih untuk makan malam.
Angin malam berhembus lembut. Sesekali Arin memejamkan matanya, menikmati jalan yang sunyi. Namun, beberapa lama kemudian ia merasa seseorang mengikutinya. Penguntit? Begitulah apa yang ia pikirkan pertama kali. Tanpa basa-basi ia pun mempercepat langkahnya.
“Yayaya~ chakamanyo~ (tunggu~)” orang tersebut bersuara. Membuat Arin yang awalnya ketakutan kemudian berhenti dan berbalik. Kemudian ia terperangah.
“OMOOOO!” matanya membulat seakan masih belum percaya dengan siapa yang ia temui malam itu.
“Jeoseung Saja?! ah- aniyo, Lee Dong Wook majayo? (Malaikat kematian*, ah- bukan, Kau Lee Dong Wook kan?)”
Pria itu mengangguk. “Ya, benar! Ah, akhirnya aku menemukan seseorang yang bisa menolongku.”
Akhirnya ada gunanya aku menonton drama korea setiap hari, batin Arin yang sedang menahan tangis karena terharu.
“Aku mau itu,” ucap Lee Dong Wook sambil menujuk plastik yang Arin bawa.
“Aromanya enak, aku jadi lapar.”
“Aku Arin. Kau bisa ikut ke rumahku kalau mau,”
Merekapun melanjutkan perjalanan pulang. Dengan Dong Wook mengikuti Arin di belakangnya.
“Tapi, bagaimana caranya kau bisa sampai kesini?” tanya Arin.
“Ah, itu...” Dong Wook menahan ucapannya.
“Katakan saja, aku dengan senang membantu.”
“Sebelum kembali ke Korea, aku ingin berjalan-jalan keliling Jakarta. Karena sok tahu begini, jadi kesasar hehe”
Rasanya Arin ingin menepuk jidatnya saat itu juga.
“Memangnya kau tidak bisa menghubungi siapapun?”
“Aku tidak tahu siapa yang harus dihubungi.”
Arin ingin menepuk jidatnya untuk yang kedua kali.
***
“Kau benar mengenal orang ini? Dia bukan gelandangan atau semacamnya kan?” Ibu menaruh curiga melihat Dong Wook yang makan begitu lahapnya layaknya orang yang belum makan beberapa hari.
“Masitda!” ucap Dongwook memberi jempolnya.
“Apa yang baru saja ia katakan? Apa itu makanan sejenis pangsit?”
“Katanya enak,” Arin berbisik ke arah Ibu nya.
Kemudian Ibu mengajak Arin keluar dari ruang makan.
“Kalau begitu banyak dia makan, gimana buat sahur besok?”
“Masak mie instan saja ya, Bu. Masa Arin harus balik beli lauk lagi?” Arin memasang wajah memelas.
“Ya sudah, yuk kita ikut makan. Sebelum dihabiskan sama dia.”
“Beres deh Ibu cantik!”
Selesainya makan, Arin membuka suara, “Setelah ini kau mau kemana?”
Ia terlihat kebingungan sebelum akhirnya menjawab, “Entahlah, ini juga sudah malam,”
“Bilang ke dia, Rin. Kalau mau dia bisa kok menginap. Tapi tidur di kamarmu yah!”
“Terus aku tidur dimana kak?”
“Kamu kan bisa tidur sekamar dengan Ibu. Jadi biarkan saja dia menginap semalam ini.”
Lee Dong Wook mengucapkan terima kasih. Lalu, Arin mengantarnya ke kamar.
“Ehm, apa aku boleh memanggilmu ahjussi? Kalau dipikir-pikir umur kita berbeda sepuluh tahun.”
“Tentu, lakukan semaumu karena kau telah membantuku.”
“Kalau begitu, aku boleh dong minta tanda tanganmu? Aku tidak bisa datang fanmeet kemarin karena masalah dana,” ujar Arin cemberut.
“Kau mengajakku selca juga aku bersedia haha”
Begitulah perbincangan malam mereka sebelum berpisah ke kamar masing-masing dan terlelap dalam mimpi yang indah.
***
Aroma mie goreng instan yang Ibu buat membangunkan Arin. Ia bergegas ke kamar mandi untuk menyikat gigi. Setibanya di ruang makan, sudah ada Dani yang sedang menguap menunggu Ibu menyelesaikan semua persiapan sahur.
“Jangan lupa bangunkan orang itu,” Dani mengingatkan adiknya.
“Ah iya, aku bahkan tidak ingat.”
Arin menuju ke kamarnya. Berusaha membangunkan Dong Wook yang masih tertidur pulas.
“Ahjussi~ ireona~ ppali~ (Paman~ bangunlah~ cepat~)” ucap Arin sambil menepuk pundak Dong Wook, berusaha membangunkannya.
“Ada apa?” Dong Wook setengah sadar menanggapi Arin.
“Ahjussi ingin makan tidak?” tanya Arin.
Masih dalam keadaan terpejam, Dong Wook membalas “Lagi? Perutku masih terasa penuh,”
“Benar tidak mau makan?” goda Arin.
“Nanti ahjussi menyesal loh~” lanjutnya lagi.
Setelahnya tidak ada jawaban lagi dari Dong Wook. Sepertinya ia telah kembali ke alam mimpi. Arin keluar dari kamarnya seorang diri. Menuju ruang makan dan kemudian memberi tahu Ibu dan Dani kalau Dong Wook tidak ikut makan.
“Kau yakin tidak apa-apa? Nanti dia malah merasa tidak enak kalau makan sendiri,” ujar Ibu.
“Biarkan saja, Bu. Aku ingin mengenalkannya apa itu puasa di bulan Ramadhan,” Arin tersenyum kemudian.
***
Lee Dong Wook terbangun saat sinar matahari menyelinap melalui jendela kamar. Sudah siang rupanya, lapar sekali rasanya, batin Dong Wook yang kemudian bergegas keluar dari kamar.
Hal yang dituju pertama kali adalah kulkas yang ada di dapur. Ia membukanya dan mengambil air dingin untuk diminum. Tak lama setelahnya, Arin masuk dan melihat apa yang Dong Wook lakukan.
“Wah, segar yah?” sindir Arin.
Dong Wook mengangguk. “Tentu! Aku juga lapar. Apa ada makanan?”
Arin menggeleng, “Tidak ada. Kan aku sudah bilang padamu, ahjussi.”
Setelahnya Arin mengambil botol minum di tangan Dong Wook dan menaruhnya kembali di kulkas, “Minum juga tidak diperbolehkan.”
Dong Wook merasa lemas. Ia beralih ke ruang makan dan duduk dengan tatapan kosong. Arin duduk di sebelahnya membuat Dong Wook menoleh “Memangnya ada apa sampai tidak ada minum dan makan? Lagipula kenapa pagi sekali makannya? Tidak! Itu bahkan tidak bisa disebut pagi. Aku mana ada nafsu makan jam segitu? Benar-benar menyebalkan,” Kemudian Dong Wook menunduk. Ia tengah memegangi perutnya yang mulai keroncongan.
“Karena kami sedang berpuasa,”
“Puasa?”
“Bagi umat Islam sepertiku, diwajibkan untuk puasa. Bukan hanya menahan lapar dan haus saja. Tetapi juga menahan hawa nafsu,” Arin menjelaskan dan Dong Wook hanya mengangguk pasrah.
Itu kenapa aku nggak bisa nonton koreaan di saat seperti ini. Abs oppa-oppa itu bisa membunuhku, batin Arin sedih memikirkan kenyataan.
“Jadi kapan boleh makannya?”
“Maghrib,” jawab Arin singkat sambil mengedipkan mata. Ia ingin menggoda Dong Wook dan mengetahui reaksinya.
“Maghrib itu jam berapa?”
“Nanti, sore menjelang malam. Yah, sekitar jam enam.”
Mata Dong Wook terpaku melihat jam yang baru menunjukkan pukul 11.45 WIB. Ia kemudian pingsan dan hal terakhir yang ia dengar adalah suara Arin yang mengkhawatirkannya.
***
“Ahjussi, apakah sudah sadar?” tanya Arin sambil terus memperhatikan Dong Wook.
Dong Wook yang sudah membuka matanya perlahan kemudian mencoba untuk duduk.
“Apa masih lama?”
“Kalau ahjussi mengisinya dengan aktivitas positif tidak akan terasa kok!”
“Aktivitas yang menghabiskan waktu seharian? Aku hanya terpikir shooting. Wah, apa kau sebenarnya artis? Nanti aku bisa terkena skandal.”
“Bukan begitu. Bagi umat Islam, Ramadhan merupakan bulan segudang pahala. Jadi kami memperbanyak beribadah di bulan penuh berkah ini.”
“Jadi apa yang bisa aku lakukan?”
“Untuk sementara waktu, ahjussi ikut kakakku saja menonton TV. Dia ada di ruang tamu.”
Dong Wook mengiyakan dan segera menuju ke ruang tamu. Dani menoleh ke arahnya dan menepuk tempat kosong di sebelahnya. Salah satu bahasa yang harus kau kuasai saat tidak bisa bahasa asing. Ya, bahasa isyarat.
Mereka menonton berita yang bahkan tidak Dong Wook ketahui bagaimana jelasnya karena satu-satunya yang ia pahami hanyalah foto atau gambar yang tersedia. Ia sudah merasa bosan hingga berita berikutnya tampil di layar kaca. Kini sedang memberitakan fanmeet Lee Dong Wook yang berlangsung lancar hingga berita kehilangannya.
“Itu aku!” Dong Wook berdiri dari duduknya dan berteriak histeris sambil menunjuk wajahnya yang ada di tv.
Dani memanggil Arin agar mendekatinya. Ia membutuhkan translator agar bisa menyampaikan maksud dari berita tersebut ke Dong Wook.
“Arin! Itu aku!” Dong Wook dengan girang memberitahu Arin bahwa dirinya memang terkenal disini.
“Ahjussi... ahjussi dikabarkan hilang. Sebentar, aku akan mencatat nomor yang bisa dihubungi itu agar ahjussi bisa pulang.”
Dong Wook terdiam sejenak, “Jadi itu berita karena aku hilang ya,” ucapnya polos dan kemudian duduk kembali.
“Aku hubungi mereka agar ahjussi bisa kembali yah?”
“Jangan sekarang!” sergah Dong Wook sambil menahan tangan Arin.
“Aku masih ingin disini. Setidaknya sampai maghrib nanti.”
Arin tersenyum, “Bilang saja agar ahjussi bisa makan banyak lagi kan?” ledek Arin dan Dong Wook hanya tertawa kikuk.
***
Waktu terus berjalan hingga sore haripun tiba. Saatnya ngabuburit. Menunggu saat berbuka puasa.
Dong Wook sedang berada di beranda rumah, entah apa yang sedang ia perhatikan. Hingga Arin datang membuyarkan lamunannya.
“Ahjussi sedang apa?”
“Eo? Hanya melihat yang lewat saja.”
“Ikut aku yuk!”
“Memang mau kemana? Aku sedang berada dalam mode bertahan,”
“Apasih yang ahjussi maksud?” Arin tertawa, “memangnya kita sedang dalam game? Ayo ikut denganku. Aku mau belanja takjil buat berbuka puasa nanti.”
“Takjil? Jenis makanan macam apa itu?”
“Sudah ikut saja dulu,” Arin menarik tangan Dong Wook dan mengajaknya ke pasar.
Beberapa menit kemudian, mereka pun sampai di pasar. Berbagai macam takjil untuk berbuka puasa tersedia. Dapat dilihat mata Dong Wook berbinar-binar melihat makanan yang beraneka jenis itu. Bahkan ada es juga! Lumayan untuk meredakan haus, begitu pikirnya.
“Perutku mulai berbunyi tidak karuan. Ini memal---“ belum selesai Dong Wook berbicara, Arin memberinya uang untuk digunakannya membeli makanan atau minuman yang Dong Wook inginkan.
“Kamsahamnida!” Dong Wook spontan membungkuk dan kemudian kabur mencari apa yang ia suka. Hal ini membuat Arin kewalahan karena pasar yang ramai dan sesak membuatnya susah untuk melihat.
Dong Wook tengah meminum es campur yang baru saja ia beli saat Arin berhasil menemukannya.
“Ahjussi, sudah kubilang jangan begitu.”
“Maaf, aku tidak bisa mengontrolnya,” Dong Wook hanya tersenyum. Seketika pasar ramai dengan teriakan pada remaja perempuan yang melihat senyumannya.
Arin menarik Dong Wook dan mencari tempat yang jauh dari keramaian pasar.
“Ahjussi sudah dapat apa yang ahjussi inginkan?” tanya Arin dan Dong Wook mengangguk. Ia meminum es campurnya lagi.
“Ahjussi!” rengek Arin.
Dong Wook menghabiskan dengan cepat es campur nya. Setidaknya aku merasa segar dan tidak dimarahi lagi, begitu yang ia pikirkan.
“Tadi ahjussi beli dengan harga berapa?”
“GRATIS! TIS! TIS! TIS!” jawabnya bangga sambil memberikan kedua jempolnya pada Arin.
Arin hanya melongo mendengar jawabannya. “Bahkan aku bisa mendapatkan berbagai macam jajanan ini juga.” Dong Wook memberi plastik berisi jajanan yang bahkan sudah cukup untuk mereka berempat.
“Bagaimana caranya?!” tanya Arin penasaran.
Tak lama ada Ibu penjual yang datang menyodorkan seplastik penuh berisi gorengan pada Dong Wook. Di tangan lainnya ia memegang smartphone nya.
“Photo?” tanya Ibu penjual itu singkat dan dibalas Dong Wook dengan senyuman.
Mereka pun berfoto bersama. Setelah itu, Dong Wook hendak membayar gorengan namun ibu penjual tersebut langsung berkata “No no no~” dan kemudian kembali.
“Nah begitulah kira-kira.”
“Yasudah ayo jalan pulang,” ajak Arin.
“Udahan nih belinya?”
“Kan sudah dapat banyak.”
Ada gunanya mengajak ahjussi. Jadi bisa berhemat, begitulah jalan pikiran Arin.
“Kau sedang memikirkan sesuatu ya? Perasaanku tidak enak.”
“Bukan apa-apa kok, ahjussi.” Arin berjalan mendahului Dong Wook.
“Ya~ jangan menghindar!”
***
Beberapa menit sebelum buka puasa...
Ibu dan Arin sedang bersiap di dapur untuk menyiapkan hidangan berbuka puasa. Dani dan Dong Wook sedang berada di ruang makan, menunggu maghrib.
“Banyak sekali belinya,”
“Ini... banyak yang ngasih Dong Wook secara percuma. Bulan Ramadhan kan bulannya berbagi juga, Bu.”
Ibu tersenyum, “Yasudah bawakan ini ke ruang makan. Nanti ibu menyusul.”
Arin menurut dan membawa makanan ke ruang makan. Disana ia melihat Dani tengah membaca webtoon untuk membunuh waktu dan Dong Wook mengikuti. Arin menaruh semua makanan di meja kemudian duduk.
“Sebentar lagi, tapi rasanya lama sekali,” keluhnya.
“Jangan mengeluh begitu, nanti pahalanya ngga optimal loh,” timpal Ibu yang baru saja datang membawa es teh manis.
“Jangan mengeluh...” Dong Wook mengikuti ucapan Ibu.
“Ahjussi tadi kan minum es campur. Jelas tidak mengeluh lagi,” Dong Wook terkekeh.
Adzan maghrib berkumandang. Hal yang dinanti-nanti tiap umat Islam. Waktunya berbuka puasa.
“Alhamdulillah...”
***
Setelah berbuka puasa dan shalat maghrib, Arin menghubungi seseorang. Memberitahu lokasi dimana Lee Dong Wook berada agar segera dijemput.
“Kita ambil foto dulu yuk berempat?” Dong Wook menawarkan.
“Tentu saja!” jawab Arin antusias dan kemudian mengajak Ibu dan Dani untuk merapat.
Merekapun mengambil foto kenang-kenangan.
“Aku tidak akan melupakan kalian,” ucap Dong Wook.
Tak lama kemudian, terdengar pintu diketuk dan Ibu membukanya. Disana sudah ada perwakilan promotor yang menjemput Dong Wook.
“Aku pergi sekarang ya!” Dong Wook melambaikan tangannya sampai ia masuk ke dalam mobil.
“Hati-hati ahjussi.”
***
Begitulah perjalanan puasa di hari pertama Arin sekeluarga. Siapa yang sangka mereka kedatangan artis korea seperti Lee Dong Wook? Bahkan yang lebih spesial lagi dari itu, mereka kedatangan bulan Ramadhan, bulan yang dirindukan seluruh umat Islam di dunia. Semoga di tahun berikutnya, bulan Ramadhan masih mendatangi kita semua. Aamiin...
<END>
*Malaikat kematian dikutip dari drama Goblin