“Jaebum! Cepat kembalikan buku literatur yang tempo hari kau pinjam! SEKARANG JUGA!”
Terbangun di pagi hari karena rentetan panggilan telepon tanpa henti tentu bukan suatu hal yang baik untuk memulai hari. Jaebum tahu itu. Maka setelah puluhan kali Jangmi menelepon dirinya di pagi buta, yang sebenarnya sudah menunjukan pukul sembilan pagi, Jaebum memilih untuk tidak menerima panggilan itu.
“Kau ini, apa setiap pagi sarapan pengeras suara? Tidak bisakah suaramu lebih keras lagi?”
Namun ternyata mengabaikan puluhan panggilan Jangmi tak membuat gadis itu berhenti mengganggu paginya. Justru ia semakin gencar menelepon, hingga suara ringtone ponsel Jaebum sudah terdengar seperti lagu sumbang yang terus diputar ulang.
“Astaga Jaebum, sungguh aku tidak punya waktu untuk kata-kata jahatmu. Aku harus mengembalikan literatur tersebut ke perpustakaan sekarang juga!”
“Dengar, Yoo Jangmi,” Jaebum bangkit dari kasur yang kini tak lagi berbentuk meski masih dirundung kantuk. Ia melangkah menuju jendela kaca sebesar tiga kali ukuran tubuhnya dan membuka lebar-lebar tirai kecokelatan yang membatasi dirinya dengan pantulan dunia luar. Jalanan tidak begitu sibuk. Matahari tak kenal ampun sebab meskipun tengah hari belum lewat, ia telah berdigdaya di tempatnya. Membuat orang-orang mengeluh sana-sini. “literatur atau buku atau apapun itu namanya tidak ada padaku. Catat, cermati, hayati: tidak ada padaku! Kau yang menyimpannya selama ini.”
“Aku sudah menyerahkannya padamu! Minggu lalu! Kau bilang kau membutuhkannya untuk melengkapi bagian teori project kita! Jangan berkilah, Jaebum-ah.” Dapat dibayangkan oleh Jaebum jika ia dan Jangmi bertatap muka maka Jangmi pasti akan berkata-kata seraya menaikkan kedua alis, memelototi, dan berputar-putar seperti komidi putar di festival musim panas kemarin.
“Tapi aku sudah mengembalikannya padamu tepat dua hari kemudian. Aku mengembalikannya saat kita makan siang di kantin, ketika kita membahas tentang penelitian yang sudah dilakukan. Kau membawa laptop hari itu dan bahkan mengeluh mengapa aku harus mengembalikan literatur sialan tersebut hari itu karena membuatmu harus membawa dua benda berat sekaligus.”
Hening beberapa sekon. Jangmi tak bersuara dan malah menggumam tanpa frasa yang jelas.
Lihat, kan? Dia diam saja. Pasti wanita ini sudah ingat! Aha, kau tidak lagi bisa menyalahkanku! Lelaki itu melipat sebelah tangannya dan bersandar pada kaca jendela. Ia meniup debu-debu yang membentuk lapisan tipis di sana. Namun karena terlalu kencang, debu-debu tersebut malah merangsek masuk ke hidung Jaebum. Alhasil itu membuatnya terbatuk beberapa kali.
“Jaebum...” Nada suara Jangmi turun satu oktaf. Dengan mudah Jaebum dapat menemukan penyesalan di sana. “tolong aku. Penjaga perpustakaan ini sedang memelototiku. Katanya ia akan mencincangku dan menjadikanku pajangan di meja pengunjung jika aku tidak bisa mengembalikan literatur itu.” Dan Jaebum berharap ia tak pernah mengangkat telepon dari Jangmi pagi itu.
-------
Semula mereka sama sekali tak saling mengenal.
Berada di kelas yang sama selama dua semester ternyata belum cukup untuk membuat Jangmi dan Jaebum saling mengetahui. Tentu, sebab keduanya berada di lingkup pertemanan yang berbeda; Jangmi berkumpul dengan teman-teman rumpinya sementara Jaebum cenderung menjaga lingkaran pertemanannya terbatas. Lagipula tak ada alasan mereka cocok untuk saling mengenal.
Hingga suatu hari, pada mata kuliah Etika Profesi Perfilman, keduanya harus berada di kelompok yang sama. Kelompok yang hanya terdiri dari dua orang itu mau tak mau membuat keduanya kemudian menyadari eksistensi masing-masing.
‘Bahkan aku baru tahu di kelas ini ada mahasiswi bernama Yoo Jangmi.’ Oh, tidak. Jangmi tak akan pernah melupakan kata-kata Jaebum saat mereka berkenalan tiga bulan lalu.
“Jadi bagaimana? Bagaimana kamu akan mengembalikan buku tersebut?!” Orang-orang bilang penjaga perpustakaan yang beridentitas ‘Park Seohan’ di tanda pengenalnya ini belum menikah. Mungkin itulah mengapa ia terkenal sebagai pribadi yang ketus dan pemarah. Sampai-sampai sebisa mungkin seluruh mahasiswa menghindari berinteraksi dengannya. Ia bisa menjadi terlalu detail hingga setiap halaman yang terlipat pada buku yang baru dikembalikan dapat menjadi pertanyaan dan membutuhkan penjelasan yang panjang.
Jangmi menunduk, namun wajahnya menoleh ke arah Jaebum yang berdiri di sebelahnya. Ia masih menganggap hilangnya buku tersebut adalah kesalahan Jaebum sepenuhnya.
Memang sih ia sudah mengembalikannya, tapi kenapa buku itu tidak ada di tanganku?! Tidak mungkin hilang! Tidak mungkin aku menghilangkannya!
Meskipun Jaebum sudah datang—setelah setengah jam Jangmi menunggu seraya terus melayangkan pandangan mengiba pada Park Seohan—ternyata ia tak cukup membantu. Ia malah diam dan menjadi penonton manis perdebatan antara Yoo Jangmi dan Park Seohan. Walaupun tidak bisa sepenuhnya disebut perdebatan karena Jangmi kalah telak bahkan sebelum ia menyelesaikan perkataannya.
“Jadi kami harus bagaimana?” Jaebum tetiba angkat bicara. Tentu saja. Ia terus-menerus dihujami tatapan dendam dari sudut mata Jangmi dan walau tak merasa bersalah, Jaebum merasa harus melakukan sesuatu. Setidaknya untuk menghentikan tatapan Jangmi yang seperti ingin menerkamnya.
“Ya temukanlah buku itu! Jika tidak bisa menemukannya, terus cari. Sampai dapat. Aku tidak mau tahu, mau buku yang kalian kembalikan baru atau lama atau apa, besok lusa kalian sudah harus mengembalikan buku tersebut. Jika tidak,” Park Seohan menyentuh ujung kacamata hitam yang selalu bertengger di hidungnya. “kalian akan mendapat hukuman yang amat sangat berat. Percayalah, aku akan sangat senang memberikannya.”
Jika memungkinkan, mungkin gemuruh petir sedang bersahutan di luar gedung perpustakaan. Seolah mengamini apa yang dikatakan Park Seohan.
-----
“Pantas saja ia tidak kunjung menikah. Coba kau pikir, orang macam apa yang memakai kacamata hitam di dalam ruangan? Pasti semua perempuan yang bertemu untuk kencan buta dengannya langsung berbalik lari tanpa repot-repot ingin berkenalan.”
Jaebum dan Jangmi berjalan sejajar. Jangmi terus mengoceh tentang bagaimana menyebalkannya Park Seohan dan membuat-buat skenario tentang mengapa lelaki berumur itu tak juga menikah: calon pengantin perempuan yang kabur, Park Seohan yang ditinggalkan, dan sederet kisah lain yang memilukan bagi pihak Seohan.
Keduanya sudah setuju dengan perjanjian yang dilontarkan Park Seohan. Penjaga perpustakaan itu pun tak terlihat mau menerima alternatif lain seperti pembayaran penggantian buku yang hilang secara langsung. Yang diinginkannya hanya melihat buku, buku, dan buku itu kembali!
“Tutup mulutmu itu dan coba buka sedikit bagian untuk berpikir dari otakmu.” Jangmi mengulum bibir rapat-rapat. Sudah biasa ia mendengar kalimat jahat dikemukakan oleh Jaebum. Bahkan sebelum Jaebum bicara pun tatapan yang laki-laki itu berikan tidak pernah bersahabat. “Ah, Tuhan. Mengapa aku harus terlibat dalam masalahmu.”
“Kau kan teman sekelompokku. Aku meminjam buku itu juga karena perintahmu.” Enggan disalahkan, Jangmi menggeram sebal. Ia menendang pelan tumit Jaebum. Si lelaki hanya diam dan memberikan Jangmi tatapan yang sama-sama sebalnya. “Kita hanya perlu membeli buku yang sama, dan permasalahan selesai.”
“Seolah-olah hal itu adalah hal mudah. Di mana kau bisa menemukannya? Buku itu adalah buku lama yang pastinya tidak mudah ditemukan begitu saja.”
Ah, benar juga. “Tidak. Aku pasti bisa menemukannya. Di Seoul sini tidak hanya ada satu toko buku. Aku bisa mencarinya di mana-mana. Aku tahu itu. Kau mungkin yang tidak tahu harus mencari di mana karena kau tidak pernah tahu tempat-tempat seperti itu.”
Merasa tertantang, Jaebum menghentikan langkahnya untuk menatap Jangmi. Jangmi terkesiap sehingga ia ikut terdiam.
Tanpa diduga, Jaebum meletakan kedua tangannya di pundak Jangmi. Ia menarik gadis itu perlahan hingga tubuhnya sedikit condong ke arah Jaebum. Jaebum menunduk, menyadari bahwa tinggi keduanya tak terlalu jauh sebab ia mampu melihat tahi lalat kecil di ujung mata kanan Jangmi.
Namun sebagai salah satu atlet hapkido kebanggaan sekolah saat sekolah menengah dulu, refleks Jangmi masih cukup baik. Ia melepaskan sentuhan Jaebum dengan kedua tangannya. “Apa-apaan kau ini?”
“Dengar. Aku punya tantangan menarik.” Kini Jaebum melipat kedua tangan di dada. “Bagaimana kalau aku dan kau berlomba untuk mendapatkan buku itu. Di tempat yang berbeda.”
Mendengar ucapan Jaebum, Jangmi tertawa mengejek. Ia memiringkan wajah, menatap Jaebum penuh. “Kau ini bisa jadi lucu juga ya? Tidak. Aku tidak mau.”
“Kenapa? Kau takut mencari buku itu sendirian? Jadi itu ya alasanmu tadi meneleponku? Ah, kukira hapkidomu sudah mencapai level tertinggi. Ternyata—“
“Tidak! Tidak!” Buru-buru Jangmi menyela. Ia mengibaskan jemarinya berulang kali. “Aku hanya...kau tahu, aku hanya...” Tapi ucapannya menggantung di udara. Menguarkan tawa Jaebum.
“Takut? Ah, sudah kuduga—“
“Tidak! Aku tidak takut. Uh...b-baiklah. Aku setuju. Lagipula sebenarnya aku memang ingin pergi sendiri mencari buku itu, daripada naik mobil bersamamu. Aku lebih baik naik bus bersama sekumpulan orang-orang yang tak aku kenal.”
Jika mampu digambarkan, senyum yang kini ditunjukan Jaebum adalah percampuran antara kebengisan dan rasa puas—setidaknya itulah yang dilihat Jangmi. Jaebum mengasongkan tangannya, menandakan konfirmasi bahwa Jangmi menerima tantangan darinya. “Deal. Yang bisa menemukan buku itu dapat memberitahu lewat kakaotalk. Jangan lupa sertakan foto sebagai bukti.”
Jangmi menghela napas kesal. Ia menerima sodoran tangan Jaebum. Membiarkannya terlibat dalam kompetisi konyol yang sebenarnya ia mulai sendiri. “Jika aku menang, kau harus menuruti apa yang aku inginkan. Aku tidak mau tahu.”
“Bukan masalah besar, Nona Yoo Jangmi.”
Kemudian mereka berpisah, mengambil jalan berbeda dan bersiap menelusuri tiap toko buku di Kota Seoul.
----
Tiga jam sudah berlalu sejak terakhir Jaebum dan Jangmi menyusuri rute yang berbeda. Tentu bukan hal sulit untuk Jaebum berpindah dari satu tempat ke tempat lain mengingat ia dapat bergegas menggunakan kendaraan pribadi.
Jaebum baru saja keluar dari sebuah kios di sebuah kawasan yang banyak menyediakan penjual buku bekas. Ia belum berhasil menemukan apa yang harus ia dapat. Ini adalah tempat kesepuluh, dan rasanya ia sudah hapal di luar kepala deskripsi buku yang tengah dicarinya. Ia sampai mencari gambar sampul buku tersebut dan menunjukannya kepada tiap penjual yang didatangi, berharap ada yang mengetahui keberadaan literatur itu.
“Apa Jangmi sudah menemukan bukunya, ya?” Diambilnya ponsel dari saku celana. Ia menggulir tanda di layar untuk membuka kunci dan tak menemukan adanya tanda-tanda kabar dari Jangmi. Aku yakin aku akan mendapatkannya lebih dulu, meskipun ini sudah toko ke-10 dan aku masih belum mendapatkannya.
Bermaksud untuk menaruh kembali ponselnya ke tempat semula, tanpa peringatan ponsel Jaebum bergetar. Sekali, dua kali, tiga kali, ponselnya terus bergetar. Semula Jaebum mengira ada pesan yang masuk. Namun begitu ia menatap skrin peranti elektronik itu, sedikit terkejut ia menemukan ‘Jangmi Berisik’ membuat sebuah panggilan.
“Bukankah sudah kubilang cukup mengirimkan kakaotalk saja untuk memberitahu keberhasilanmu menemukan buku itu?” Tanpa ampun Jaebum memantik percakapan. Ia sudah mempersiapkan diri untuk menerima kekalahannya dari Jangmi dengan lapang dada.
“J-Jaebummie.”
Selama mengenal Jangmi beberapa bulan belakangan ini melalui percakapan intens, perselisihan frustasi, dan gestur tubuh, Jaebum tahu apa hal yang berusaha Jangmi dapat dengan memanggil dirinya dengan nama semacam itu. “Apa? Kau membutuhkan bantuan bahkan untuk membawa dan mengembalikan buku itu ke perpustakaan?”
“Bukan begitu...” Tak seperti biasanya, Jaebum merasa suara Jangmi sedikit melemah. Tidak biasanya. “Begini. Jadi tadi aku berniat untuk mencari di kawasan toko buku di Seoul Barat. Tapi...tapi kau tahu, aku tidak begitu baik dalam membaca arah atau menentukan jalan mana yang aku pilih. Aku—aku sudah tersesat selama satu jam setengah di jalan yang bahkan aku tidak tahu namanya ini!”
Jaebum masih mendengarkan dengan saksama. Ujung matanya berkerut, heran.
“Bahkan aku belum menemukan buku itu karena setiap toko yang aku datangi...semuanya, semuanya bilang mereka tidak pernah menjual buku seperti itu.”
“Lalu?” Sebelum menjawab, keheningan tercipta selama beberapa saat. Jaebum berusaha mendengar deru kendaraan di seberang sambungan sana namun yang ia dengar hanya hela napas Jangmi.
“Bisakah kau menjemputku di sini? Di tempatku sekarang berada? Aku benar-benar tidak tahu apa bus atau kereta yang harus kunaiki agar sampai dengan selamat ke flat. Aku...benar-benar tidak tahu.”
Jaebum berdecak. “Maksudmu, aku harus datang ke wilayah Seoul Barat yang daerahnya pun tidak kau tahu? Bagaimana mungkin aku bisa tiba di sana?”
“Aku rasa aku berada tidak jauh dari deretan toko buku. T-tapi aku tidak bisa menemukan deretan toko buku itu. Padahal deretan toko buku itulah yang menjadi patokanku. Aku juga tidak menemukan satupun orang di wilayah ini. Entahlah, apa ini perumahan atau deretan bangunan tak terpakai, aku sungguh tidak tahu, Im Jaebum.”
“Dan bukankah kita sedang bersaing dalam mendapatkan buku literatur yang kau hilangkan?”
“Oh, sungguh,” Jaebum tersenyum sedikit saat mendengar suara Jangmi mulai memancarkan kekesalan. “begini, aku sudah tidak peduli siapa yang mendapatkan buku itu lebih dulu. Kedua, aku tidak menghilangkan buku itu tapi ia yang menghilangkan dirinya sendiri! Dan ketiga, tidakkah kau kasihan padaku yang kini sedang berjongkok di bawah pohon ek tua yang daunnya sudah meranggas di musim panas ini?”
“Kurasa aku tidak merasa kasihan.”
“Aku hampir mati kehausan! Jika aku mati mungkin kau orang pertama yang akan kugentayangi. Ah, sungguh, Jaebum. Aku akan menraktirmu budae jjigae paling enak di kampus kita. Aku mohon. Aku janji. Aku akan menjadi temanmu yang baik.”
“Budae jjigae di Hannam-dong adalah surga di bumi. Awas kalau kau ingkar janji. Cepat kirim lokasimu sekarang lewat kakaotalk.”
Sambungan telepon pun berakhir. Jaebum lalu melanjutkan perjalanannya, melewati pedagang buku bekas yang kios-kiosnya masih berderet di sepanjang sisa jalan. Tetap diperhatikannya satu-persatu kios secara cermat. Siapa tahu buku itu secara mengejutkan muncul!
----
Tidak sedikitpun Jangmi berkelakar saat ia bilang ia sedang berjongkok di bawah pohon ek yang meranggas. Aneh, padahal pohon ek lainnya tak meranggas. Namun satu pohon yang dipilih Jangmi meluruhkan sebagian besar daunnya.
“Satu, dua,”
Jangmi menghitung daun-daun kering yang ada di sekitarnya. Pakaiannya yang berwarna airy blue kotor di beberapa bagian karena tanah cokelat menempeli.
“Dua-belas, tiga-belas, empat-belas—”
“Kau di sini.”
Jangmi mendongak saat mendengar sebuah suara mendadak hadir. Sejenak, Jangmi dan pemilik suara bertukar pandang hingga akhirnya adu pandang itu dipecah Jangmi. Ia meringis dan terkekeh pelan. “Sudah kuduga kau akan datang.” Lalu ia beranjak dari posisinya. Kini mereka berhadapan. “Terima kasih!”
Jaebum tidak bereaksi. Ia masih menatap Jangmi lekat-lekat.
Menyadari tatapan Jaebum seakan mulai mematuk rasa percaya dirinya, Jangmi balik menatap dengan bingung.
“Kau benar-benar...” Jeda, Jaebum mendesah pelan. “kau benar-benar sesuatu, Yoo Jangmi.”
Angin musim panas menelisik di antara mereka. Membawa terbang rendah beberapa daun yang tersebar. Betapapun juga, mungkin musim panas ini bukan sesuatu yang buruk.
-----
“Aku tadi menunggu cukup lama. Kau sengaja ya mau menemukanku dalam keadaan tidak bernyawa?”
Kedua mahasiswa jurusan film dan penyiaran ini memasuki mobil. Tadi Jangmi sedikit gelagapan saat Jaebum membukakan pintu penumpang untuknya. Ia terdiam sepersekian sekon sebelum memasuki mobil. “Iya, malah tadi rencananya aku akan sekalian membawa sebuket bunga untukmu.”
Jangmi menatap tak percaya Jaebum dengan ekor matanya. “Kau tahu, aku semakin yakin kau memang dilahirkan untuk menjadi seorang aktor antagonis. Pasti bukan sebuah kesulitan untukmu memerankan peran seorang pengusaha tampan kaya-raya yang bengis.”
Suara mesin mobil perlahan beradu dengan lamatnya bunyi gesekan daun di luar.
Menyadari apa yang baru dikatakannya, Jangmi buru-buru menambahkan. “Emm, maksudku, tokoh antagonis yang benar-benar antagonis. Yang tidak ada ampun. Lebih jahat dari Ibunya Goo Junpyo di Boys before Flower. Iya, iya. Maksudku itu.”
“Jadi maksudmu,” Jaebum menunggu beberapa saat sebelum menjalankan kendaraannya. Tanpa aba-aba, dengan satu gerakan cepat ia memajukan tubuhnya ke arah Jangmi. Jangmi menahan pekikannya sembari refleks memejamkan mata.
Klik. Bunyi khas sabuk pengaman yang terpasang terdengar. Kembali, Jangmi terkesiap dan langsung menyirap kedua maniknya. Terlihat Jaebum di hadapannya tengah memasang tatapan meledek. “maksudmu, aku tampan?”
Tak cuma-cuma Jangmi memiliki sebersit asa menjadi seorang bintang film (Jangmi sudah beberapa kali berlatih di depan cermin). Ia tertawa cukup keras sehingga lumayan terdengar seperti dipaksakan—meski kenyataannya memang iya. “Aku rasa kau terlalu banyak menonton acara komedi akhir-akhir ini. Sudah sudah.”
Jaebum tertawa kecil—sesuatu yang jarang dilakukan. Perlahan, ia mulai menjalankan mobil. Tak ada kendaraan lain yang berpapasan dengan mereka. Kelihatannya memang ini bukan daerah yang sengaja ditinggali. Mungkin lebih cocok dijadikan tempat persembunyian.
“Ah, iya. Aku lupa. Kurasa kita harus kembali mencari buku literatur itu. Dengan ini aku deklarasikan, kompetisi mencari buku secara resmi dibatalkan. Demi kepentingan bersama.” Jangmi menepuk tangan dua kali, seolah secara resmi membatalkan perjanjian yang baru tadi pagi mereka buat.
“Kepetinganmu saja. Kau yang meminjam, dan kau juga yang diancam Tuan Park jika tidak bisa mengembalikan buku itu. Bukan aku.” Pandangan Jaebum tertuju lurus ke depan.
Kadang aku bisa mengetahui apa yang akan kau lakukan. Tapi kebanyakan aku tidak tahu sama sekali. Pikir Jangmi.
“Kita tak perlu mencari buku itu. Lagipula,”
Tanpa melepaskan pegangannya pada kemudi, tangan kiri Jaebum menelusur ke arah kursi penumpang belakang. Penasaran, pandangan Jangmi menangkap tiap pergerakan tangan Jaebum.
“Ini.” Masih menatap lurus, Jaebum menyerahkan sebuah tas kertas yang berukuran cukup besar.
Tak pikir panjang, Jangmi langsung mengeluarkan isi tas tersebut. “Oh, Tuhan. Im Jaebum!” Ia bersorak tertahan. Kedua matanya terbelalak namun dalam konteks yang positif.
Jaebum sedikit melirik ke arah Jangmi. Tanpa mampu dikendalikan, ia tersenyum meski hanya sekejap.
“Aku benar-benar berutang padamu. Akhirnya, buku ini bisa ditemukan juga.” Persis dengan buku literatur yang menjadi pokok permasalahan, buku di genggaman Jangmi sudah agak kusam di bagian sampulnya. Namun mengingat perkataan Park Seohan pagi tadi, rasanya bukan masalah jika buku ini tidak hadir dalam keadaan benar-benar mulus. “Terima kasih. Sungguh, Jaebum,” Jangmi mengangkat buku tersebut dengan sebelah tangan. “aku benar-benar berterima kasih.”
Mungkin bola mata Jaebum terlalu banyak terpapar sinar matahari sepanjang hari ini. Sebab tanpa alasan yang jelas, entah mengapa senyum Jangmi mendadak membuatnya sedikit gugup. Sedikit, hanya sedikiiit saja. “Bukan masalah besar untukku.” Bukan masalah besar juga bagi Jaebum untuk menutupi perasaan yang sebenarnya.
“Kalau begitu...” Si gadis bepikir singkat. “aku akan menraktirmu budae jjigae di Hannam-dong favoritmu. Sepuasnya! Sungguh!”
Kini Jaebum tak berusaha menyembunyikan senyumnya. “Kapan?”
“Hmm mungkin—“
“Bagaimana kalau sekarang?”
Jangmi terenyak sebentar. “Maksudmu, langsung saat ini juga? Bukankah Hannam-dong cukup jauh dari sini?”
“Apakah kamu keberatan pulang malam?”
Cepat-cepat Jangmi menggeleng. “Bukan begitu. Hanya, apa tidak apa-apa kalau kau harus menyetir lebih jauh lagi?”
Jaebum menyeringai mendengar jawaban Jangmi. “Kalau begitu, mari kita ke Hannam-dong.” Mendadak, ia menaikkan kecepatan mobilnya tanpa preambul. Membuat tubuh penumpang satu-satunya di mobil terhentak ke depan.
“Im Jaebum!”
Mungkin menghabiskan waktu seharian ini bersama Yoo Jangmi bukan ide buruk—sama sekali bukan ide buruk. Justru terdengar...menarik. Ya, menarik.
*******