Aku suka sepi, tetapi aku tidak suka jika ditinggalkan sendiri. Namun, nyatanya aku selalu sendiri. Tidak ada yang sudi untuk menemaniku, orang-orang bahkan tidak pernah memandang ke arahku. Cukup menyedihkan, kan? Awalnya seperti itu, tapi aku sudah terbiasa, kok, setelah mengalaminya selama tiga tahun.
Aku sedang duduk di bangku sebuah taman saat seorang perempuan berjalan menuju bangku yang aku duduki. Sepertinya dia orang baru di lingkungan ini, karena aku belum pernah melihatnya sebelumnya.
“Permisi, boleh aku duduk disini?” Aku melihat ke kiri dan kanan, cuma aku dan dia yang ada di taman ini. Jadi, apa dia baru saja berbicara denganku? Aku menoleh ke arahnya yang masih berdiri dengan senyum simpul di bibirnya, tatapan matanya tertuju padaku, sudah pasti dia bicara denganku. Aku mengangguk dan dia mengambil tempat di sebelahku.
Perempuan itu mengulurkan tangannya ke arahku sesaat setelah ia duduk. “Kim Hyo Ra.”
Aku menyambut uluran tangannya dengan sedikit ragu. “Im Jae Bum”. Dia tersenyum lebih lebar kali ini.
“Nggak usah takut gitu sama aku, aku bukan psikopat, kok. Kayaknya kita seumuran juga, jadi nggak usah kaku,” lanjutnya dengan kekehan kecil.
“Baru pindah ke sini, ya?” Tanyaku, berusaha setengah mati untuk bersikap tidak kaku seperti yang dia bilang. Dia mengangguk semangat. “Dua hari yang lalu aku pindah ke sini. Itu rumahku,” ia menunjuk sebuah rumah berwarna putih yang berada di seberang taman ini.
“Rumahmu dekat dari sini?” Tanyanya lagi.
“Ya, bisa dibilang begitu.” Hyo Ra hanya mengangguk sekilas lalu sibuk meneliti keadaan taman ini.
“Noona!” Seorang laki-laki berlari kecil ke arah Hyo Ra. “Aku mencarimu dari tadi, kenapa disini, sih? “
“Cerewet banget deh. Noona cuma pergi ke seberang aja kamu cariin gini,” Hyo Ra melirik ke arahku sekilas. “Yu Gyeom-a, kenalin nih, temen baru noona!” Hyo Ra tidak seharusnya memperkenalkanku karena--
“Annyeonghaseyo. Joe neun Hyo Ra noona dongsaeng-ieyo, Kim Yu Gyeom irago hamnida,” ia sedikit membungkukkan badannya.
Aku berdiri untuk membalas salamnya. “Im Jae Bum imnida”.
“Kayaknya aku harus pulang duluan karena si adik rese ini. Sampai ketemu lagi, Jae Bum!” Hyo Ra melambaikan tangannya, sedangkan Yu Gyeom berjalan di belakangnya setelah ia sedikit membungkuk ke arahku.
Akhirnya ada orang yang mau berbicara denganku.
***
Sore ini aku berjalan ditemani hembusan angin musim semi, melangkah ke satu tempat yang sering aku kunjungi. Bukan untuk bertemu teman atau sekedar menghilangkan bosan, tetapi untuk menyusun kepingan-kepingan kenangan.
Hollys Cafe, di tempat ini aku sering melihat sahabatku—atau harus kusebut mantan sahabatku—bersama dengan teman-temannya. Nampaknya ia menjalani hidupnya dengan baik. Aku iri. Tapi, inilah hidup. Bahkan orang yang kau anggap sahabat, akan melupakanmu suatu hari nanti hanya karena suatu kesalahpahaman. Bukannya aku nggak mau meluruskan kesalahpahaman itu, hanya saja, aku nggak bisa.
“Jae Bum-a!” Hyo Ra—yang entah datang dari mana—tiba-tiba ada di sampingku. “Sekarang alasan kamu ada disini apa?” matanya memandang ke dalam Hollys Cafe.
“Biasa, cuma jalan-jalan. Kamu mau kesana lagi?” Hyo Ra cukup sering ke cafe itu, aku sering melihatnya, dan hari ini juga bukan pertama kalinya kami bertemu di seberang cafe itu.
Ia menggeleng. “Lagi males main, mau langsung pulang. Kamu cuma berdiri disini aja, kan, dari tadi?” Aku tertawa kecil. Sepertinya ia sudah memahamiku setelah enam bulan kami berkenalan dan setelah berulang kali kami tidak sengaja bertemu disini.
“Enggak pulang bareng pacar?” Tanyaku.
Ia memasang tampang polosnya. “Yang mana?”
“Yang sering nganter kamu pulang.”
“Ha? Jin Young?” Aku mengangguk. Park Jin Young, mantan sahabatku yang juga teman satu kampus Hyo Ra. “Ih, suka ngaco! Kamu masih mau disini atau pulang bareng aku?” Pipinya memerah, tetapi aku tahan untuk tidak meledeknya lagi.
“Pulang aja deh. Yuk!”
“Siapa suruh hobi banget ngeliatin Hollys Cafe dari seberang jalan?” Ejeknya, saat kami mulai berjalan menuju halte bus. “Ngomong-ngomong kenapa kamu bisa tau Jin Young?” Aku menghentikan langkahku seketika saat mendengar pertanyaannya.
Hyo Ra menyadari bahwa aku tidak berjalan di sampingnya. “Jae Bum-a!”
Aku segera menyusulnya. “Mianhae,” aku tertawa canggung. “Hm, aku lumayan mengenal dia”.
“Dia juga kenal kamu?” Dengan gerakan samar, aku mengangguk.
“Kalian berteman?”
Aku mengangguk lagi. “Dulu kami berteman—lebih tepatnya.”
Bus yang berhenti di depan mata kami membuatku bergegas menarik tangan Hyo Ra—yang kelihatan masih bingung mendengar jawabanku.
“Kalau boleh tau, kenapa kalian nggak berteman lagi?” Tnyanya setelah kami berhasil menemukan bangku yang masih tersisa di dalam bus. “Tapi, kalau nggak mau cerita nggak pa-pa, kok.”
Aku berpikir sebentar. “Semuanya cuma karena salah paham. Tiga tahun lalu, Jin Young suka sama perempuan yang kebetulan adalah teman les-ku. Sebenarnya, aku sama perempuan itu nggak ada hubungan yang lebih dari teman, tapi waktu itu Jin Young melihat perempuan itu memelukku. Dia pikir aku sama perempuan itu ada something, padahal perempuan itu meluk aku karena dia kaget ada hantu yang tiba-tiba muncul di dekatnya,” aku terkekeh mengingat kejadian tiga tahun lalu itu.
“Oh, Jin Young sukanya sama perempuan yang punya sixth sense, ya.” Hyo Ra bergumam sendiri, tapi aku bisa mendengar apa yang dia bilang.
“Lanjut nggak ceritanya?” Aku menyadarkan Hyo Ra dari lamunannya.
“Kayaknya aku bisa nebak yang terjadi selanjutnya. Dia langsung nyamperin kamu sama perempuan itu terus dia marah-marah? Atau bahkan nonjok kamu?” Pernyataannya terdengar seperti sebuah pertanyaan buatku. Aku membenarkan perkataan Hyo Ra tadi dengan anggukan.
“Kamu nggak mau nanya kenapa aku nggak ngejelasin semuanya ke Jin Young?”
Ia menggeleng. “Pasti kamu mau ngejelasin, tapi kamu nggak bisa.” Jawabannya menohokku. “Aku tau, kok, kalau kamu—nggak jadi deh.” Aku memandangnya heran. Dia tau soal apa? “Gokjonghajima! Aku akan bantuin buat ngejelasin ke Jin Young, kok.” Hyo Ra menepuk pundakku pelan.
“Yakin banget dia percaya sama kamu. Pacarnya, sih, ya?”
“Pacar dari mana, dianya bilang suka sama aku aja enggak,”
“Udah berharap banget, ya?” ledekku. “Kalau aku bisa, pasti kamu udah aku jadiin pacar duluan.” Aku tertawa melihat mata Hyo Ra membulat kaget.
“Ya!” Ia ikut tertawa.
“Bercanda, kok. Aku maunya kamu bahagia sama dia.”
“Besok aku mau ajak Jin Young ke taman depan rumahku,” nada bicaranya serius. “Cuma mau ngasih tau kamu aja hehe.”
“Mau nyatain perasaan duluan karena udah nggak tahan nungguin dia?” Aku mendramatisir nada bicaraku.
“Iya. Puas?” Aku tidak tahan untuk tidak tertawa melihatnya membuang muka.
***
Aku sudah berada di taman selama satu jam, tapi aku belum juga melihat Hyo Ra atau Jin Young datang. Bukannya aku suka nge-stalking orang pacaran—atau orang yang hampir pacaran?—aku hanya sedikit penasaran. Iya, sedikit, sumpah!
Aku segera bersembunyi di balik salah satu pohon besar di taman, saat aku mendengar suara tawa dua orang yang sedang mendekat. Sejujurnya aku nggak perlu bersembunyi disini, sih, tapi aku juga kangen “bermain-main” seperti ini.
“Kenapa harus disini?” Aku sedikit mengintip dari balik pohon setelah aku mendengar suara Jin Young.
Gawat! Sepertinya tadi Hyo Ra melihatku.
“Nggak pa-pa, aku suka aja disini. Aku ketemu teman pertamaku disini, loh.”
“Siapa? Hye Soo?”
“Bukan Hye Soo, tapi Jae Bum. Im Jae Bum. Kamu kenal, kan?” Aku tidak percaya dengan apa yang barusan aku dengar, kenapa Hyo Ra bilang begitu?
“Tunggu deh, maksud kamu Jae Bum itu Jae Bum yang mana? Jae Bum yang aku kenal udah meninggal tiga tahun lalu.”
”Iya, Jae Bum itu yang aku maksud. Kamu tau, kan, kalau aku—bahkan adik dan appa-ku punya sixth sense. Jadi—“
Selama ini Hyo Ra tau kalau aku sudah meninggal? Aku kira dia melihat, bahkan berteman denganku karena yang dia tau aku adalah manusia.
“Jadi, kamu kenal sama Jae Bum?” Aku rasa Jin Young pun terkejut dengan apa yang ia dengar.
Aku keluar dari balik pohon dan menghampiri Hyo Ra dan Jin Young. Hyo Ra tersenyum ke arahku, sedangkan Jin Young bingung mengikuti arah pandang Hyo Ra. “Jin Young-a, aku nggak tau kamu mau percaya sama aku atau enggak, tapi aku yakin semua yang terjadi antara kamu sama Jae Bum itu cuma salah paham. Aku yakin banget dia nggak salah. Kalau aja dia bisa, dia pasti ngejelasin semuanya ke kamu.” Hyo Ra kembali menatapku.
“Dia ada disini?” Jin Young menoleh ke kanan dan kiri berusaha mencariku.
Hyo Ra mengangguk dan menunjuk ke arahku. Jin Young mengikuti arah tangan Hyo Ra dan sekarang aku merasa seperti dia bisa melihatku.
“ Ya, Im Jae Bum!” Jin Young terkekeh pelan. “Bukankah ini gila?” Aku tersenyum getir. “Aku sudah mendengar semuanya dari Jae Si. Aku minta maaf karena waktu itu aku tidak mendengarkanmu. Aku pikir kau akan menjelaskannya suatu hari nanti, tapi kenapa kau malah pergi tanpa mengucapkan apapun?” Ia memandang ujung sepatunya seolah itu adalah hal yang membutuhkan konsentrasi tinggi.
Hyo Ra menatapku. “Ehem, aku sebenarnya ingin kalian berdua berkomunikasi langsung. Tapi—“ Hyo Ra bergantian memandangiku dan Jin Young. “Aku punya ide, semoga ini berhasil.” Hyo Ra mengangguk ke arahku dan memberikan isyarat agar aku duduk di sebelahnya.
Ia mengeluarkan ponsel dari saku celananya, aku masih belum paham apa ide yang ia maksud. “Jae Bum-a, aku tau kamu bisa memegang ponsel ini, tapi aku nggak mau ini terlihat seperti film horor.” Perempuan satu ini sering sekali memikirkan hal-hal ekstrem. “Jadi, aku yang baik hati ini bersedia untuk memegangi ponselku selagi kalian berdua on the phone hehe. Gimana? Mau coba?”
“Pinter, ya. Aku emang nggak salah nilai kamu.” Jin Young mengacak sedikit rambut Hyo Ra, aku senang melihat mereka berdua seperti ini.
“Minta tanda tangannya nanti, ya!” Tanpa sadar aku ikut tertawa. “Okey, let’s do it!” Jin Young menekan nomor telepon Hyo Ra dan tidak butuh waktu lama untuk menunggu nama Jin Young tertera pada layar ponsel Hyo Ra.
Hyo Ra mengarahkan ponselnya ke arahku. “Yeoboseyo..” Aku berdeham saat aku merasakan ada keanehan dalam suaraku barusan. Sepertinya aku gugup karena sudah sangat lama aku tidak berbicara dengan orang selain Hyo ra—dan terkadang Yu Gyeom.
“Nappeun noem!” Aku tertawa mendengar kalimat sambutan darinya. “Neo gwaenchanha?”
“Ho, na gwaenchana. Noe neun?”
“Ya! Apakah kau akan baik-baik saja kalau aku yang meninggal tiba-tiba?” Jin Young menghembuskan nafas dengan berat. “Mianhae, Im Jae Bum. Jeongmal mianhae.”
“Dwaesseo.” Aku tertawa, bermaksud untuk mengurangi keseriusan dalam percakapan ini. “Asalkan kau sudah tidak salah paham lagi, aku akan bahagia. Aku tertahan disini karena aku masih hutang penjelasan terhadapmu. Aku lega sekarang.” Aku melihat Hyo Ra sekilas mengusap air matanya.
“Wae? Aku sangat merasa bersalah dan setiap hari pikiranku menyerangku sendiri, mengatakan bahwa akulah yang sudah membuat kau seperti ini.”
“Neo aniya. Ini semua takdir untukku. Hiduplah dengan bahagia dan tanpa rasa menyesal, Jin Young-a!” Aku melihat ke arahnya. Berharap ia juga dapat melihatku. “Dan aku punya satu permintaan yang harus kau tepati.”
“Apa?”
“Tolong jaga Hyo Ra dengan baik. Tanpa dia mungkin kita nggak akan bisa meluruskan semua ini. Aku percaya bahwa kau mungkin kehilangan aku sebagai teman—“
“Sahabat. Kau adalah sahabatku.” Potongnya.
“Ya, kau mungkin kehilangan sahabat, tapi kau menemukan seseorang yang tidak hanya akan menjadi sahabatmu, tetapi juga akan menjadi—“ aku melirik ke arah Hyo
Ra yang kini tengah memelototiku. “Pacarmu,” lanjutku.
“YA!” Hyo Ra tampak sangat salah tingkah, aku tidak percaya kalau dia berumur 22 tahun.
“Bagaimana kau bisa tau kalau dia calon pacarku?” Jin Young akhirnya tertawa. Tawa pertama yang aku dengar semenjak kesalahpahaman itu.
“Kalau udah nggak penting, mending aku matiin telponnya.” Hyo Ra menginterupsi dengan kesal.
“Hajima!” sahutku tidak senang. Ia kembali bersungut-sungut seperti anak kecil yang kehilangan permen kesukaannya.
“Gomawo, uri chingu! Aku harap kau akan tenang setelah ini. Ddo, mianhae.”
“Ani, mian-hajima. Terima kasih karena telah menjadi sahabatku, Park Jin Young!” Aku mengangguk ke arah Hyo Ra. Memberikan taanda padanya untuk mengakhiri panggilan.
“Gomawo, Hyo Ra-ya,” aku mengusap kepalanya sekilas. “Semoga kamu bahagia, aku titip salam untuk Yu Gyeom.” Ia mulai menangis, tapi aku tidak perlu khawatir karena aku yakin kalau Jin Young akan menjaganya.
***
Laki-laki itu menggenggam tangan seorang gadis yang ada di sampingnya itu seolah ia tak ingin melepaskannya. Mereka tidak sedang pergi untuk berkencan, mereka pergi ke “rumah” seorang sahabat. Sahabat yang tidak akan pernah mereka jumpai lagi.
“Disini.” Mereka berhenti di depan sebuah krematorium.
Di depan mereka kini terlihat sebuah foto bergambar seseorang yang mereka kenal. Foto itu berdiri di sebelah tempat abu jenazah. Raut sendu menghiasi wajah dua orang itu. Keduanya memanjatkan doa untuk ketenangan sahabat mereka.
“Jae Bum, ini aku bawakan miniatur superhero favoritmu. Maaf baru membawanya sekarang. Semoga kau suka.” Lelaki itu meletakkan sebuah miniatur superhero di samping foto sahabatnya.
“Im Jae Bum Oppa annyeong! Bagaimana rasanya aku panggil dengan sebutan ‘Oppa’? Kamu senang, kan? Aku membawakanmu headphone kesayanganku karena kamu dulu suka meminjam headphone ini. Aku harap kamu bisa memakainya sepuasmu! Kami merindukanmu.” Perempuan itu menengadahkan kepalanya untuk menahan desakan air mata yang sudah hampir melesak keluar.
***
Takdir adalah sebuah misteri yang tidak bisa dipecahkan. Manusia hanya perlu menerimanya, baik takdir baik maupun takdir buruk. Karena terkadang, takdir buruk sekalipun akan membawa manusia ke satu titik dimana mereka menemukan suatu hal yang dapat disyukuri dibaliknya.
Perpisahan mungkin menjadi takdir buruk bagi siapapun yang mengalaminya. Sengaja atau tidak, perpisahan cepat akan terjadi cepat atau lambat. Perpisahan tidak semata-mata terjadi begitu saja, diperlukan sebuah variabel bernama ‘pertemuan’ yang menjadi asal mulanya. Ibarat belahan jiwa, pertemuan adalah siang, sedangkan perpisahaan adalah malam. Semuanya terjadi begitu saja, seperti sebuah siklus yang memang sudah seharusnya ada.
“Hyo Ra-ya!” Sang pemilik nama menoleh ke arah sumber suara.
“Wae?” Jawabnya.
“Saranghae.” Lelaki itu dengan lugas mengatakannya.
“Mwo?”
Jin Young, yang sudah sedari pagi menyiapkan diri untuk menyatakan perasaannya, tiba-tiba bingung harus bagaimana. Ia bukan tipe lelaki super romantis yang bisa dengan mudah menyatakan perasaannya kepada seseorang, tapi kali ini dia sudah berjanji pada dirinya sendiri dan juga pada sahabatnya, Im Jae Bum, untuk menjaga dan membuat Kim Hyo Ra bahagia.
“Ikut aku!” Jin Young menggandeng tangan Hyo Ra ke arah mobilnya. “Kamu jangan ngintip ke belakang!” Jin Young membuka pintu mobilnya lalu mengeluarkan sebuah boneka rillakuma besar. “Liat ke sini!”
Hyo Ra membalikkan badannya ke arah Jin Young. “Igon mwoya?” tanyanya heran.
“I will give you two options right now; be mine or make me yours?” Jin Young menggerakan boneka rillakuma di tangannya.
“Ha?”
“Aku tau kamu ngerti, kamu nggak bodoh, loh, Ra-ya.”
Hyo Ra menggigit bibir bagian bawahnya dengan gugup lalu mengambil boneka rillakuma dari Jin Young. “I’ll make you mine.” Katanya dengan tegas.
Pada titik ini, Jin Young dan Hyo Ra akan melupakan hukum “pertemuan-perpisahan”. Mereka berharap tidak ada lagi perpisahan setelah Jae Bum pergi. Mungkin terdengar egois, tetapi mereka berharap, setidaknya kali ini saja ijinkan sang pertemuan menjadi satu-satunya takdir untuk mereka.