Jung Yong Hwa
Empat tahun yang lalu mungkin aku akan berlari memeluknya saat melihat dia di depan mataku. Tapi aku cukup kuat untuk menahan nafsuku dan melambaikan tangan seraya tersenyum kecil padanya — karena keadaan sudah sangat jauh berbeda sekarang. Karena kata perpisahan benar-benar melekat permanen dan membangun dinding salju yang dingin di antara kami.
Tapi kemudian setahun berikutnya aku tidak menemukan dia lagi saat aku membuka mata di pagi hari. Aku laki-laki, dan putus cinta tidak akan membuatku hancur. Jadi aku melaksanakan aktivitasku seperti biasa. Minum kopi sendirian di apartemen kecilku, berjalan di trotoar berdesakan bersama orang-orang. Tapi saat malam tiba, aku bertanya-tanya adakah yang kulewatkan hari itu. Kenapa hatiku terasa kosong. Dan jawabnya ada di miliaran mil jauhnya dariku.
—aku, kehilangan dia.
“Yeon Woo-ah,” ini suaraku versi anak laki-laki belasan tahun. Serak dan parau karena kehampaan. Bertahun-tahun aku memendam suara ini.
“Ya?”
“Apakah kau bahagia? Apakah hidup membuatmu bahagia? Apakah kau memilih untuk bahagia?”
“Aku… cukup bahagia Yonghwa. Aku melakukan apa pun yang kusukai dan yang membuatku bahagia.” Dia tertawa pelan, dan aku meperhatikan wajahnya.
Hari itu hari kelulusan dan dia melepaskan tanganku untuk pergi jauh. Aku tidak akan mau dan tidak akan pernah ikut dengannya. Kali itu alasannya sepele; Amerika bukan impianku, meski kami sama-sama mencintai musik. Dan Juilliard tidak cukup berhasil menarik perhatianku. Begitulah awalnya kami berpisah.
“Kau hanya terlalu takut pada dunia Yoong.” Suaranya melunak
Luka besar itu mengegrogoti jiwanya. Berlubang dan berdebu. Tidak ada yang mengobatinya sama sekali.
“Aku senang kau sudah menemukan kebahagiaan itu, Yeon Woo-ah.”
“Kita sama-sama pernah jatuh, merasa sakit, marah dan putus asa. Tapi dunia terus berlanjut dan kita harus berhenti untuk terluka. Sebab, tidak ada salahnya berbahagia.”
Aku terdiam, tertunduk. “Suatu hari, aku akan mencobanya; mengambil resiko demi kebahagiaan.”
Suatu hari.
Bertahun-tahun yang lalu, Aku berusaha makan dengan baik, aku mencoba berkonsentrasi dengan gitarku, aku berusaha untuk tidak merindukanmu, aku menulis lagu di hari-hari hujan yang memilukan, aku bernafas seolah semua baik-baik saja.
—aku mencoba hidup. Meski tanpamu.
Dan aku mencoba bahagia. Sebab melanjutkan hidup bukanlah kesalahan. Meski itu tanpamu.
Dan kuharap, suatu hari nanti. Hari yang entah kapan. Kita masih bernapas. Kita masih bisa berbicara dan berjalan. Kita berani pada dunia. Kita ingin mencapai kebahagiaan.
*******
LEE JONG HYUN
Jonghyun dan Hyemi. Mereka hanyalah dua orang remaja SMA yang saling jatuh cinta. Dilihat dari mata telanjang, mereka berbeda. Tapi, apa pun alasannya, mereka tetap menggenggam tangan satu sama lain. Tidak ada janji. Tidak ada yang berani berjanji. Karena menurut mereka ‘Janji’ terlalu rumit. Jadi, 3 Musim yang berlalu dengan seragam SMA mereka, mereka hanya mengenggam, dan menggenggam dan menggenggam. Meski mereka tahu, akan tiba saat genggaman tangan mereka melemah karena ambisi mereka, karena mimpi mereka. Karena hormon muda mereka. Meski mereka tahu genggaman tangan mereka pasti dipandang sebelah mata oleh dunia ini. Tapi mereka terus menggenggam karena mereka hanyalah remaja SMA yang dimabuk cinta juga tidak lupa membangun mimpi ~Hyemi dengan kertas kertas penuh rumus dan Jonghyun dengan Gitar tuanya.
Itu tahun terakhir mereka memakai seragam SMA kebanggaan.
“Kautahu kan, kita berbeda. Kau tidak menyukai apa yang kusukai dan begitu juga aku. Mimpi kita berbeda, dunia kita berbeda. Dunia tahu itu.” Hyemi berbisik lemah, masih menggenggam tangan Jonghyun, meskipun tak seerat biasanya.
“Kita berbeda. Jalan yang kita tempuh sejak awal sudah berbeda, aku tidak akan mampu membiasakan diri dengan kehidupanmu. Begitu juga denganmu yang mungkin bisa gila dengan duniaku. Kita tidak akan pernah bisa bertahan. Tidak lagi, Jonghyun.”
Hyemi meremas pelan jemari Jonghyun, lalu melepasnya perlahan. Hatinya bergetar, tapi dia pura-pura tegar. Mungkin akan ada penyesalan, karena yang telah di tarik tidak bisa disentuhkan lagi. Tapi Hyemi tahu apa yang ia lakukan.
“Pergilah.” Jonghyun berkata padanya, bukan, lebih tepatnya berbisik lemah.
Hyemi mengangguk pelan dan meninggalkannya sendirian.
“Aku akan merindukanmu,” Jonghyun berusaha jujur.
“Sampai jumpa.” Hyemi membalas dengan suara senormal mungkin. Tidak ada kata ‘aku juga akan merindukanmu. tidak ada pelukan, tidak ada janji untuk menunggu satu sama lain.
******
KANG MIN HYUK
Aku tak mau menyesali apa yang sudah aku lewatkan. Aku berusaha menerima diriku yang sekarang, dan semua yang aku miliki.
Jika ada pertanyaan “Apa kau pernah ditinggalkan?”
Pasti aku tertawa dan bilang , “Tidak, tidak pernah”
Karena sebenarnya akulah yang membiarkannya pergi. Melepaskannya.
Tapi terkadang ada pertanyaan, “Apa kau ingin semua yang pernah hilang darimu, kembali padamu?”
Aku pasti akan diam membeku, menutup mataku, menarik nafas dalam dan mulai membayangkan. Semua yang hilang kembali padaku, semua yang kurelakan akan kembali jadi milikku.Waktu berputar terbalik, mengembalikan waktuku yang hilang, waktu berjalan mundur.Menawarkan lagi kesempatan yang sama yang tak aku gunakan dengan baik. Membawa dia kembali kesampingku, membuatnya sama lagi.Membawa jutaan keberanian kepadaku dan mengaku ,”Maukah kau tetap disini menungguku?”
Dia ada di suatu tempat yang aku tak tahu dimana, mungkin ia dekat atau mungkin jauh. Mungkin ia sedang tersenyum, atau menangis. Mungkin ia masih ingat aku, atau mungkin sudah lupa sama sekali. Banyak kemungkinan.
Biarlah, aku membiarkan penyesalanku menguap. Seperti dia yang aku biarkan mulai menguap dari pikiran dan hatiku Jadi biarlah semuanya seperti ini saja, tidak ada yang harus diubah. Semua yang hilang tak perlu lagi kembali.Semua yang aku relakan pergi akan tetap aku relakan. Membiarkan waktu berjalan maju seperti seharusnya
********
LEE JUNG SHIN
“Jungshin-ah…Aku sedang bertanya-tanya.”
“Tentang apa?”
“Bagaimana jika aku meninggalkanmu, apakah kau akan terluka?” gadis itu berkata tenang, berbanding terbalik dengan jantungnya yang hampir pecah, tapi bibirnya cukup baik untuk membuat sebuah senyum sederhana.
“Mungkin.”
“Jadi, bagaimana jika kita melakukan sebuah perpisahan?”
“Untuk apa?”
Mata gadis itu berkedip sayu, “Agar kita bisa melihat kebenarannya. Apakah kau terluka atau tidak.”
“Haruskah begitu?”
“Ya, agar kita bisa melihat seberapa pentingkah aku di duniamu.” Genggaman tangan mereka mengendur, tapi mereka belum siap untuk saling melepaskan.
“Apakah kau benar-benar akan meninggalkanku?”
“Ya, Jungshin-ah.” Gadis itu membagi senyumnya, melihat sinar mata lelaki itu yang tidak pernah bisa dia baca. “Jadi… inilah perpisahan,” senyumnya tidak luntur, tetapi satu per satu jari-jarinya menjauh dari jari-jari besar Jungshin.
“Terima kasih,” setelah tidak ada kontak tubuh lagi, gadis itu kembali mengucapkan sesuatu. “Aku ingin kau bahagia, Jungshin. Dengan mimpimu.”
“Lalu, bagaimana denganmu?” dia bertanya-tanya, apakah gadis ini juga akan bahagia jika dia telah menemukan kebahagiaannya suatu hari nanti?
“Suatu hari, kita akan bertemu lagi. Dan ketika hari itu tiba, maka yang akan kuperlihatkan padamu adalah kebahagiaan yang telah kudapat. Percayalah, kita—kau dan aku akan menemukan kebahagiaan kita masing-masing. Percayalah”
In Jung melepaskan Jungshin. Membiarkan apa yang dimilkinya terbang jauh dan menemukan kebahagiaan yang diinginkannya. In Jung tidak ingin semua hancur—untuk yang kesekian kalinya. Dia tidak ingin jika pada akhirnya Jungshin juga akan hancur. Jadi dia memilih untuk berhenti dan mencari jalan yang lain. Dia akan terus berjalan setelah ini,. Yang dia lakukan hanyalah berjalan agar bisa menemukan kebahagiaannya. Agar suatu hari jika dia kembali bertemu Jungshin, dia tidak akan sabar menunjukkan kebahagiaannya.
******
Ini bukan kisah dalam novel atau cerita fiksi yang memuakkan
Ini tentang perjalanan hidup empat orang remaja yang mempunyai mimpi yang sama.
Empat orang remaja yang mencintai hal yang sama.
Empat orang remaja yang melangkah, berjalan, dan bertahan bersama.
Disini, dibawah langit Jepang empat tahun yang lalu. Diantara berjuta insan yang bernafas dan berjuang mewujudkan mimpi mereka masing- masing. Mereka, Jung Yonghwa, Lee Jonghyun , Kang Minhyuk, dan Lee Jungshin, berjuang untuk mengenalkan dirinya.
BUKAN.
Berjuang untuk mengenalkan MUSIK mereka.
Mereka terus membicarakan musik setiap kali bertemu, hingga terbentuklah band kecil yang kemudian menamakan dir mereka CNBLUE. Sebuah band indie yang tidak begitu dikenal publik. Mereka tidak mengharapkan popularitas, bayaran mahal atau pun teriakan gadis-gadis cantik. Karena yang mereka tahu, mereka bertahan di band dengan alasan; mereka hidup untuk dan karena musik.
Mereka terus memainkan musik mereka. Di jalan – jalanan Tokyo. Di stasiun stasiun kereta. Bersamaan dengan musim yang terus berganti. Summer, Autumn, Winter, dan Spring. Mereka masih bertahan, meski hanya ada dua pasang mata yang melihat mereka. Meski hanya ada dua kepala yang bersedia meluangkan waktu untuk mendengarkan musik mereka.
Di lain hari di waktu yang sama, mereka terus bermimpi
Di lain hari di waktu yang sama bereka terus bermain musik dan terus berharap
Hingga satu tahun kemudian band indie mereka mulai dikenal masyarakat, tampil di kafe-kafe kecil, situs penggemar yang mulai menyebar di internet dan tawaran manggung di acara-acara amal. Yang paling mengejutkan adalah, mereka ditawari kontrak dengan perusahaan rekaman besar, di sebuah musim dingin.
“BLUEMOON” itulah album pertama mereka. Mereka yang menciptakan musik mereka sendiri. Mereka yang menyanyikan musik mereka. Untuk mengekspresikan perasaan mereka.
Dan “BLUEMOON WORLD TOUR” itulah konser pertama mereka yang menjadi saksi langkah awal mereka untuk mengenalkan musik mereka pada dunia. Untuk memberitahu dunia, bahwa ada 4 orang remaja di bawah langit jepang yang mempunyai mimpi untuk bermusik.
Maka itulah titik awal saat semua sakit karena ditinggalkan dan meninggalkan terbayar. Saat sebuah penantian membuahkan rasa manis yang tidak hanya dirasakan oleh raga mereka. Saat mimpi baru atau harapan lama yang mulai mereka rangkai kembali.
Dalam sekejap, hal-hal yang tidak pernah mereka impikan, terjadi dan telah mengunci mereka di dalamnya. Popularitas, bayaran mahal, gadis-gadis cantik dan lain-lain.
Meskipun Tuhan banyak mengambil apa yang telah dimiliki mereka, mereka yakin, dengan kesabaran, usaha dan seiring berjalannya waktu, semua itu akan terbayarkan. Seperti kuncup bunga yang akan mekar di musim semi, seperti pelangi yang muncul dengan indah sehabis hujan badai, dan seperti bintang terang yang akan mucul setelah tersapunya awan hitam di langit malam. Juga seperti ‘Bluemoon’ yang datang setelah semua hal menyakitkan
Meski dunia berusaha menarik mereka ke pusaran kehilangan untuk yang kesekian kalinya, mereka tidak akan pernah takut. Karena mereka tidak akan pernah saling meninggalkan.
In the future, just like what we are right now, we’ll build up good memories and we’ll look forward to the day when we will not only be known in Korea but also as the world’s leading band ~ Lee Jong Hyun
~ END ~