"Lihat lihat! Park Jinyoung duduk sendirian." Vivian berbisik. Matanya tertuju pada satu arah. Kafetaria hari ini tumben sekali tidak terlalu ramai. Park Jinyoung si anak baru di kelasku tengah makan sendirian.
"Ayo, ayo!" Sora menyuruhku mengangkat nampan mengikuti langkah Vivian dan Julia. Kami berjalan menuju tempat Jinyoung.
"Anyyeong Jinyoung-ssi!" Julia menyapa duluan. Yang disapa mengangkat wajahnya, melihat kami berempat satu-persatu.
"Jinyoung-ssi, boleh kami bergabung?" tanya Sora. Jinyoung mengangguk. Aku merasa kasihan dengan si anak baru ini, harusnya dia bisa menikmati makan siangnya sendirian dengan damai.
"Jinyoung-ssi, bagaimana hari keduamu di sini?" Vivian bertanya lebih dulu setelah kami (para pengganggu) duduk.
"Aku suka di sini." Jinyoung menjawabnya sambil tersenyum hingga membuat mata ketiga temanku berbinar, terutama Vivian. Dari awal Vivian memang sudah menunjukkan ketertarikannya pada Jinyoung. Maklum, sekolah kami jarang kedatangan siswa baru dari kota besar seperti Seoul, apalagi yang setampan Jinyoung.
"Apa sudah ada yang kau taksir di sini?" aku benci pertanyaan Julia.
"Huh? Sepertinya belum." Jinyoung menjawab agak tersipu, dia menundukkan pandangannya. Tiba-tiba Vivian menyikut lenganku, matanya berkedip memberi kode; menyuruhku bertanya apa saja pada si anak baru karena sejak tadi hanya aku yang bungkam.
"Jinyoung-ssi, kau sudah dapat seragam olahraga? Besok jadwal pertama kelas kita praktek di lapangan." maaf, aku payah dalam hal basa-basi.
)(
"Kalian mau ikut ke pantai tidak?" Jaebum, ketua kelas kami memberikan selembar kertas padaku.
"Tolong sekalian tulis nama anak-anak yang ikut." pintanya. Aku mengangguk mengiyakan.
"Aku akan tanya Jinyoung, dia pasti akan ikut kalau aku yang memintanya." Vivian terlalu percaya diri, tapi aku diam-diam mengamini ucapannya. Dari jauh aku bersama Sora dan Julia mengawasi Vivian yang tengah merayu si anak baru. Aku jadi waswas, bagaimana kalau Jinyoung menolak ajakan Vivian?
"Guys, Jinyoung mau ikut." bisik Vivian setelah ia kembali ke tempat duduk. Ketiga temanku ber-high five. Sebelum menulis namanya ke dalam daftar, aku menoleh sebentar ke tempat Jinyoung, dia melihatku yang tengah menatapnya. Perutku mendadak mulas. Aku segera berpaling. Aku senang dia ikut.
)(
Aku tidak terlalu suka pergi dengan banyak orang ke tempat-tempat ramai, tapi sadar bahwa Jinyoung ikut bergabung, aku jadi tidak sabar menantikan hari Sabtu.
Kami menyewa empat buah mobil van, semua biaya sewa ditanggung Mark, anak paling kaya di kelas kami. Aku berada dalam satu van dengan Jaebum, Youngjae, Vivian, Julia, Sora, dengan bonus si anak baru. Vivian duduk di jok belakang, di anatara aku dengan Jinyoung. Tidak ada yang seru, suasana sangat tenang. Sesekali Youngjae dan Jaebum mengobrol lalu menyanyi random. Sora dan Julia memilih tidur, sedangkan Vivian terlihat kesal memainkan ponselnya, Jinyoung sepertinya mencoba membatasi diri dengan sibuk membaca. Lalu aku, pemandangan di luar sayang sekali untuk dilewatkan; hutan, pegunungan, hijau. Menyejukkan mata.
Pantai yang kami tujuan kami telah di depan mata. Begitu kami turun dari van, angin pantai musim dingin langsung menampar wajah kami. Gila! Dingin sekali, aku buru-buru merapatkan jaketku. Tidak terlalu banyak pengunjung di sini, memangnya orang gila mana yang main ke pantai saat pertengahan musin dingin begini?
Anak-anak langsung berhamburan, entah berfoto, bermain ombak atau pasir, memancing, atau hanya sekedar jala-jalan di sepanjang tepi pantai. Aku memilih diam sejenak mengamati, mengabaikan panggilan Vivian dan dua temanku lainnya.
"Kau tidak ikut mereka?" suara seseorang di sampingku mengalihkan perhatianku. Suara Jinyoung rendah hampir tertelan ombak tapi aku masih sanggup menangkapnya.
"Tidak, aku di sini saja. Terlalu dingin, aku jadi malas bergerak." jawabku. Jinyoung mengangguk, dia menoleh padaku sebentar sebelum bertanya lagi.
"Mau ikut denganku?"
Kami mendaki bebatuan karang besar, meninggalkan rombongan di bawah sana. Jinyoung beberapa langkah di depanku, sesekali dia berhenti, melihatku yang kepayahan mengejarnya, lalu dia akan tersenyum kecil. Kami sampai di batu yang paling puncak, bagian atasnya rata jadi bisa kami mendudukinya. Terengah-engah, aku senang bisa melihat pemandangan dari atas sini, memandangi lautan dan langit tak berbatas.
"Musik apa yang kau dengar?" tersadar akan pertanyaan dari Jinyoung, aku segera melepas earphone yang masih menyumpal telingaku.
"Coldplay. Aku suka lagu-lagu mereka." kataku. Aku berbalik melihat buku yang dipegangnya Jinyoung, buku yang dibawa sepanjang perjalanan tadi.
"Kau suka membaca?"
"Ya, sangat."
"Bacaan apa yang sering kau baca?"
"Novel." Jinyoung menunjukkan bukunya. The Fault In Our Star. Aku benci judul itu.
"Kau mau membacanya?" aku menolak mentah-mentah tawaran Jinyoung.
"Aku tidak suka cerita sedih." Jinyoung memandangku dengan alis terangkat.
"Kau sudah pernah membaca ini? Atau menonton filmnya?"
"Belum, tidak akan pernah. Aku hanya mendengar dari cerita teman-temanku." Jinyoung terkekeh pelan, matanya melirikku, lalu berpaling menatap lautan di hadapan kami. Rambut hitamnya bergoyang tertiup angin. Aku tergiur untuk menyentuhnya, apakah selembut kelihatannya?
"Dari caramu berkata, kau seperti orang yang mengalami trauma." aku mengernyit, Jinyoung kembali menatapku. Aku tersinggung dari cara matanya menatapku, apalagi nadanya berbicara terdengar sok tahu.
"Tidak. Aku hanya sedikit sensitif."
"Sensitif?"
"Ma-maksudku aku mudah sekali terbawa perasaan. Aku mudah menangis setiap mendengar, membaca, atau melihat cerita-cerita sedih." Jinyoung lagi-lagi terkekeh, kali ini agak keras, suaranya renyah seperti biskuit cokelat favoritku. Jinyoung melepas jaket denimnya, di balik jaket itu dia mengenakan kaos putih polos tanpa kerah berlengan panjang, tidak longgar tidak sempit, pas di badannya.
"Kau tidak kedinginan?" tanyaku. Dia menggeleng.
"Kau kedinginan? Mau pakai jaketku?" aku langsung menggeleng. Baru sadar aku terpesona dengan caranya melepas jaket, anggun sekali. Aku memalingkat wajah, merona begitu aku sadar aku telah memujinya diam-diam.
)(
Sepulang dari piknik ke pantai hari itu, aku jadi punya hobi baru; diam-diam memparhatikan Jinyoung. Di tengah-tengah pelajaran, saat jam olahraga, saat istirahat, atau saat jam pulang sekolah sebelum aku meninggalkan sekolah. Aku suka ekspresinya saat sedang berkonsentrasi, atau caranya tertawa, matanya melenkung indah, dahinya berkerut lucu, bibirnya yang melengkung ke bawah. Satu kata, indah.
)(
"Ken, nanti cepat menyusul ya?" aku mengangguk pada Vivian sambil terus menyelesaikan catatanku. Kelas sudah sepi, semua anak keluar, tinggal aku dan satu orang lagi, Park Jinyoung masih di tempatnya sedang membaca buku. Twilight, dia sedang membaca Twilight. Aku memberanikan diri mendekati Jinyoung dulu sebelum menyusul teman-temanku ke kafetaria.
"Kau suka Twilight juga?" Jinyoung mengesampingkan bukunya begitu aku sudah di samping mejanya.
"Tidak terlalu, tapi aku suka Bellanya." kalau aku, aku suka Edwardnya.
"Kenapa?" sepertinya aku terlalu bersemangat sampai Jinyoung sedikit berjengit.
"Karena dia sangat memuja Edwardnya." ucapan Jinyoung terdengar seperti menggodaku, aku bagaikan sepotong es krim yang meleleh terkena pancaran sinar matanya. Oh, kenapa Park Jinyoung tampan sekali?
"Apa yang sedang kau pikirkan? Dahimu berkerut, kau baik-baik saja?" aku mengalihkan pandanganku dari matanya. Malu sendiri seolah dia telah menangkap basahku yang sedang memikirkan hal-hal mesum tentangnya.
"Ya, tentu. Aku baik," kataku sambil menatap lantai kelas. Aku malu sekali.
"Aku ke kafetaria dulu. Teman-temanku sudah menunggu." aku melambai kecil padanya, menghindari kontak mata dengannya karena masih malu sekaligus gugup. Di perjalanan menuju kafetaria aku mengutuk kelakuanku yang super norak tadi, lalu teringat caranya Jinyoung menatapku tadi, rasanya jadi ingin mencelupkan wajahku ke air es.
)(
Aku berharap tugas kali ini aku bisa berpasangan dengan Park Jinyoung, tapi inner-ku menolak, mengejekku bahwa aku terlalu pengecut untuk bertindak agresif. Aku tidak seberani Vivian.
"Kau mau mengerjakan tugas ini di rumahku atau di rumamu?" kata 'kita' yang keluar dari mulut Jinyoung membuatku merona.
"Terserah." aku berusaha keras bersikap biasa saja. Menahan rasa bahagia dan gugup yang bercumbu jadi satu.
"Rumahmu saja, aku akan datang jam 3 sore nanti." ini seolah kami akan berkencan. Setelah Jinyoung pergi, aku membuat pengingat kecil di kepalaku; membersihkan rumah begitu sampai di rumah.
)(
Aku mengajak Jinyoung ke ruang tengah begitu dia tiba di rumah. Ruang tengah adalah daerah kekuasaan ayah. Sebagian besar ayah menghabiskan waktunya di sini, entah membaca, menonton berita di TV, atau hanya sekedar duduk-duduk santai saja, ada rak buku kecil di sudut ruangan tempat ayah menyimpan buku-bukunya.
"Kau suka membaca juga rupanya?" tanya Jinyoung. Arah pandangnya ke rak buku ayah.
"Itu punya ayahku."
"Ayahmu membaca Twilight juga?" Jinyoung menatapku penuh selidik.
"Kecuali Twilight, itu punyaku." aku memang tidak terlalu suka membaca, tapi kalau ada yang bertanya buku apa yang ku suka, aku akan menjawabnya Twilight. Aku suka bagaimana Bella begitu memuja keindahan Edward, suka bagaimana interaksi mereka di awal-awal pertemuan dua mahkluk itu. Vampir dan manusia? Tidak masuk akal tapi unik. Aku sering membayangkan bagaimana kalau aku menjadi Bella, ada beberapa hal darinya yang mirip denganku, lalu Edwardnya adalah... tunggu! Kenapa wajah Jinyoung yang muncul?
Jinyoung lama mengamati rak buku ayah. Melihat penampilan Jinyoung yang rapi dari belakang, aku jadi teringat obrolanku dengan ayah beberapa hari yang lalu. Ayah bilang, sebelumnya Jinyoung tinggal di Seoul bersama ayahnya, baru-baru ini ayahnya ditangkap polisi lalu dipenjara karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Bukan keinginan Jinyoung pindah ke sini, pamannya yang seorang konglomerat di daerah tempatku tinggal memboyongnya ke sini. Ayah berpesan agar aku menyimpan rahasia ini atau Jinyoung akan malu kalau semua teman-teman di sekolah tahu tentang asal-usulnya.
"Jinyoung, ada toko buku baru di dekat batas kota, aku akan ke sana besok, kau mau ikut?"
)(
Sebelum aku dan Jinyoung sempat masuk ke dalam toko buku, seseorang memanggil namaku, aku kenal suara itu, sial!
"Kenya!" Vivian langsung menarik tanganku menjauh dari Jinyoung.
"Kau pacaran ya dengan si anak baru itu?" tanya Vivian. Matanya berbinar-binar menatapku penasaran.
"Tidak, Vi. Sungguh!"
"Aisssshh! Jujur saja tidak apa-apa! Jadi, kau akan mengajaknya ke prom night yang dibuat Bambam kan? Aku sudah membeli gaun, aku akan ke sana bersama Jackson, jadi kau juga harus datang bersama pacar barumu, Park Jinyoung." belum sempat aku menjelaskan, Vivian sudah kabur duluan bersama Julia dan Sora. Sialan!
Setelah membeli beberapa koleksi baru, kami memutuskan langsung pulang saja. Jinyoung awalnya mengajakku makan siang dulu, tapi aku menolaknya. Ibuku di rumah, dia pasti sudah menyiapkan makanan untuk kami.
"Kau akan pergi ke prom night?" tanyaku mencoba basa-basi.
"Aku tidak tahu, mungkin tidak." Jinyoung menjawab tanpa mengalihkan fokusnya dari jalanan. Aku tidak suka pesta, tapi aku ingin sekali pergi ke sana, tentu saja dengan Jinyoung.
"Kau akan pergi?" dia balik bertanya.
"A-aku tidak punya pasangan, mungkin tidak juga." lalu Jinyoung terkekeh. Aku menatapnya bingung, bertanya-tanya apanya yang lucu dari ucapanku, sedetik kemudian aku sadar. Oh semoga dia tidak salah paham, aku sungguh tidak bermaksud memberinya kode.
Kami hammpir sampai. Menyadari kalau sebentar lagi aku akan berpisah dengannya membuat perutku mulas. Aku enggan berpisah jujur saja. Aku menghirup nafas banyak-banyak, menyimpan aroma Jinyoung di dalam ingatanku.
"Kau tidak mau mampir? Ibuku sudah memasak, dia memintaku mengajakmu makan siang bersama." Jinyoung tersenyum sebentar sebelum melepas seatbelt-ku.
"Lain kali saja, aku belum siap bertemu dengan orang tuamu, mungkin saat prom night besok. Aku akan menjemputmu jam 8, jangan lupa." apa ini? Dia mengajakku?
Gila! Pelutku langsung bergejolak mulas setelah mobil Jiyoung menjauh.
)(
Prom night yang dinanti telah tiba. Aku tidak memiliki waktu untuk persiapan jadi aku memakai gaun lamaku saja. Warnanya hitam, berbahan brokat, panjangnya selutut, bagian lengan panjangnya sesiku. Ayah bertanya-tanya kenapa aku tiba-tiba mau pergi ke prom night, tapi sebelum jawaban keluar dari mulutku, Jinyoung sudah berdiri di depan pintu rumah. Dia tampan, indah, memakai setelan tuxedo hitam bak mempelai pria. Aku menunduk, menyembunyikan rona pipiku malu.
"Kalian pacaran?" tanya ayah.
"Ti-"
"Ya paman Jung, Kenya pacarku. Jadi, boleh kah aku mengajaknya pergi ke pesta?" Jinyoung memandangku sebelum kembali lagi menatap ayah, tangannya yang besar dan agak kasar menggenggam taganku, mencoba meredakan kekacauan di kepalaku.
"Tentu, pergi lah. Jangan lupa, sebelum jam 12 malam kalian sudah harus di rumah."
"Tentu paman."
"Katakan! Katakan apa maksud ucapanmu tadi! Jangan membuat semuanya semakin rumit Jin, kedatanganmu ke sini saja sudah membuatku mengalami kerumitan yang cukup besar."
"Kau menyukaiku?"
"Kau sudah tentu tahu jawabannya." jawabku lirih. Aku langsung mengalihkan pandangan mataku ke luar jendela. Rasa marah dan kesal memenuhi hatiku entah apa penyebabnya. Aku takut ucapan Jinyoung pada ayahku tadi membuatku berharap lebih. Aku takut kecewa.
"Aku bukan Edward, si vampir tampan yang bisa membaca pikiran orang. Kalaupun bisa, Edward tidak dapat membaca pikiran Bellanya." tapi Jin, aku terlalu malu dan gengsi untuk mengakuinya. Kenapa dia tidak peka sih?
"Ken kau tidak tahu kalau aku punya mas-"
"Tidak! Aku tahu semuanya, aku tahu. Tidak Jin, ku mohon, aku sama sekali tidak perduli soal itu, kau orang baik, semuanya akan baik-baik saja, aku pandai menjaga rahasia, aku akan menjagamu." aku tidak perduli terlihat seperti pengemis, tapi aku benar-benar menyukainya. Dan Jinyoung menyukaiku, aku yakin itu.
"Aku tidak perduli kalau kau tidak pandai menjaga rahasia, tapi aku berharap kau benar-benar bisa menjaga dan melindungiku, aku akan melakukan itu untukmu juga." Jinyoung meraih tanganku, menggenggamnya erat dan aku melakukan hal yang sama pada tangannya.
"Terima kasih, Jung Kenya." suaranya saat memanggil namaku sangat lembut, merdu, indah sekali membuaiku. Jinyoung tersenyum, senyumannya menghangatkan hatiku, dan semua kekacauan di kepalaku perlahan mulai mereda.
"Sama-sama."
Teman-teman menyambut kedatangan kami dengan sorakan meriah. Ini pasti akan menjadi berita panas di sekolah besok. Aku yang jarang datang ke prom night lalu tiba-tiba muncul dengan seseorang, Park Jinyoung, si anak baru yang tampan. Dan dia adalah pacarku.
"Jinyoung-ah, tumben sekali Kenya mau datang ke prom, apa dia pacarmu?" Jinyoung tersenyum lucu memandangku sebelum menjawab.
"Ya, dia pacarku, tentu saja mau ikut."
Mungkin aku memang bukan Isabella Swan, mungkin aku tidak bisa mendapatkan seorang vampir tampan seperti Edward Cullen, mungkin Bella dan Edward hanyalah fiksi, tapi Park Jinyoung tetaplah Edward yang nyata di mataku, dia Edward versiku. Aku telah jatuh cinta padanya, dan aku mencintainya.
)(
a/n: aku menulis ini terinspirasi novel Twilight.