THE WOMAN
“ Ah, Bukan. Apa aku harus memanggilmu Cha Seoyeon?” Myungsoo bertanya semakin menyudutkan wanita muda di depannya. Sementara itu, wanita tersebut hanya menunduk tanpa mengatakan sepatah kata pun. Pada akhirnya, dirinya telah kehilangan kata-kata untuk menyangkal semua ucapannya.
Sesaat kemudian, wanita itu tertawa. Dia mendongak menatap Myungsoo, menantang.
“ Hahaha—, daebak (hebat)! Tak kusangka aku bisa dibodohi seperti ini.” katanya sinis. “Ah! Padahal ku kira penyamaranku ini sangat sempurna, lho!”
Ia kembali berdiri lantas berjalan menuju jendela yang tertutup rapat oleh gordyn tebal. Disibaknya tirai untuk mengintip sesuatu di luar sana. “ Hei, apa ada seseorang diluar sana yang menguping?”
“ Kau sangat berhati-hati rupanya.”
Wanita bernama Cha Seoyeon itu hanya tersenyum tipis. “ Aku memang harus selalu waspada. Kau tahu bagaimana rasanya mengetahui bahwa satu-satunya nyawamu selalu diincar? Aku telah merasakannya selama 20 tahun.”
“ Entahlah. Lagipula, tak masalah, kan? Mereka teman-teman ku.” sahut Myungsoo dengan tenang. Setelahnya, ia berjalan menuju salah satu kursi disana lalu kembali menghadap Seoyeon yang masih berdiri di dekat jendela. “ Sekarang bisa kau ceritakan alasanmu menyamar sebagai Daniela Park dan maksud dari orang yang mengincar nyawamu itu?”
Wanita itu tak langsung menyahut. Ia masih menatap kaca jendela yang memantulkan bayangannya. Ekspresinya dingin, namun air mukanya berubah sesaat setelah Myungsoo bicara. Keteguhannya sedikit bergejolak, rasa takut itu tetap ada meski dengan sekuat apapun ia mencoba menghindar dan melarikan diri hingga ke seluruh pelosok dunia sekalipun. Bahkan sangat sulit baginya untuk mempercayai seseorang. Tak terkecuali Myungsoo.
“ Hei, apa kau tak ingin mengatakannya?” Myungsoo kembali bersuara.
Irene melangkah maju. “ Seoyeon-ah, kau bisa mempercayai kami.”
“ Aku tak bisa percaya pada siapapun!!” tandas Seoyeon tegas. Tatapan matanya berubah kuat dan tajam. Wanita itu berbalik, menatap Myungsoo dan Irene secara bergantian. “ Sebelumnya bisa kalian katakan bagaimana kalian tahu tentang ku dan penyamaran ku ini?”
Myungsoo menatapnya sejenak. Namun sesaat kemudian, dia kembali bicara, memulai ceritanya, “ Lee Jeongwook. Dia adalah salah satu polisi yang menyelidiki sebuah kasus, secara misterius meninggal karena kecelakaan atau tabrak lari. Tepat dihari itu, seluruh rumahnya terbakar hingga menewaskan istri, sementara anak kembarnya yang masih bayi, Lee Yerim dan Lee Mirae selamat dan dibesarkan di salah satu panti asuhan dengan nama Cha Sunmi dan Cha Seoyeon. Saat mereka berumur 6 tahun, Cha Sunmi atau Lee Yerim diadopsi oleh sebuah keluarga kaya dan dibesarkan dengan nama Daniela Park. Dari semua informasi itu kami mengetahui adalah Cha Seoyeon adalah salah satu anak kembar dari Lee Jeongwook.
“ Kau adalah kembaran dari Daniela Park yang diadopsi dari Panti Asuhan. Saat kalian bertemu di Inggris, kalian merencanakan pertukaran identitas ini. Kau melakukan operasi plastik dan berpura-pura hilang ingatan agar setiap orang dirumah ini tidak curiga terhadapmu sehingga kau dapat diam-diam menyelidiki tentang Han Group.” jelas Myungsoo panjang lebar. Dia kembali menatap Seoyeon dengan mata elangnya. “ Apa penjelasanku salah?”
Wanita itu bertepuk tangan seolah terpukau dengan semua penjelasan Myungsoo.
Ia menyeringai dan berkata, “ Majayo (kau benar). Tapi ada satu yang salah.”
Myungsoo hanya menaikkan alisnya tanpa bertanya.
“Wajahku ini belum pernah tersentuh dengan pisau operasi. Aku hanya melakukan make-up untuk sedikit merubah struktur wajahku dan memakai kacamata ini.” Katanya sambil melepaskan kacamata persegi dari matanya. “ Kakak yang sebelumnya melakukan operasi plastik karena bekas luka bakar saat itu, memang beruntung. Mereka tidak akan mengenali bahwa dia juga anak dari Lee Jeongwook Mungkin mereka juga menyangka kakak sudah tewas saat kebakaran itu.”
“ Dimana dia sekarang?”
Seoyeon menoleh. “ Dia aman. Sekarang dia berada di Jepang.” jawabnya. “ Jadi, apa yang kalian inginkan dariku?”
Myungsoo tak langsung menjawab. Ia balik manatap wanita di depannya dengan kedua matanya yang tajam.
“ Ini tentang suatu informasi.” Jawab pria itu singkat.
***
FLASHBACK
20 tahun yang lalu
Markas besar tampak sibuk seperti biasa. Setiap orang disana bekerja dengan keras mengidentifikasi satu per satu bukti maupun data yang sampai di meja kerjanya. Jam telah menunjukkan pukul 12 malam, namun mereka masih tetap terjaga dan berusaha semalaman mencari satu kebenaran dari berkas-berkas yang bertumpuk tinggi memenuhi meja. Seolah waktu tak dapat menurunkan semangat mereka.
Seorang pria berjalan masuk ke ruangan dimana kesibukan itu bertumpuk. Dengan segelas kopi, lagi-lagi ia harus lembur meninggalkan sejenak keluarga kecilnya dirumah.
“ Wah, Jeongwook-ah!” Seru seorang rekannya yang tak sengaja lewat di depan meja kerjanya. “ Hari ini kau tidak pulang lagi?”
Pria itu mendongak. Hwang Jimin ternyata.
Jeongwook hanya tersenyum tipis lantas kembali menunduk, fokus pada pekerjaannya. “ Aku tidak bisa meninggalkan pekerjaan ini.” Ucapnya dengan nada putus asa. Sesaat dia terdiam, namun kemudian kepalanya kembali terdongak. “ Tunggu, apa kau sudah mendapatkan detail percakapan dan nomor-nomor yang dihubungi presdir Han Group itu?”
Jimin langsung menyerahkan beberapa lembar kertas pada pria itu lantas mengatakan, “ Ini semua nomor-nomor yang dia hubungi selama sekitar satu minggu sebelum kejadian kebakaran di gedung Jianshin Electronic yang membakar semua data-datanya. Sementara detail tentang perusahaan Han Group dan Jianshin Electronic masih berada di ruang data. Ada empat kardus penuh jika kau ingin membaca semuanya.”
Pria itu hanya menghela nafasnya berat. Dilepaskan kacamata bacanya lalu meremas rambutnya dengan frustasi. “ Ah! Ini benar-benar membuat kepalaku hampir meledak!” keluhnya kesal. “ YA!! Apa mereka tak ingin menyerah saja dan mengakui semuanya!!? Huh! Seharusnya aku mendengarkan kata-kata ibuku untuk menjadi guru atau wiraswasta saja daripada terjebak di dalam kasus yang memusingkan ini!!” Cerocosnya sambil membanting kacamata miliknya dengan kasar.
Pria bernama Jimin itu lantas tertawa terbahak.
“ Hei, bung! Jika semua penjahat menyerahkan diri, kita pasti yang akan menganggur! Yang perlu kau khawatirkan adalah keluargamu. Mereka pasti memikirkanmu dan ingin kau segera pulang. Anak-anak mu kan masih 1 tahun, pasti istrimu kerepotan sekali.” katanya. Ia kembali berjalan dan duduk di kursi yang tak jauh dari meja pria itu. “ Sementara untuk penjahat-penjahat itu, biarlah mereka sejenak menghirup udara segar sebelum mendekam dan merasakan dinginnya jeruji besi. Toh, tak ada kejahatan yang berlangsung sempurna!”
Pria itu hanya menggaruk kepalanya dan kembali sibuk dengan pekerjaan di depannya lagi. Sesungguhnya, dia pun tak tahu sampai kapan semua ini berakhir.
“ Keundae, Jimin-ah—“ Dia kembali menyahut. Tanpa memandang pria bernama Jimin itu, dirinya kembali mengatakan dengan mimik wajah yang serius dan bersungguh-sungguh. “ Kita tetap harus selalu waspada. Kita tidak akan pernah tahu sampai kapan mereka berbalik menyerang kita. Tanpa persiapan, satu atau lebih nyawa mungkin melayang.”
***
“ Jeongwook!”
Lee Jeongwook langsung menoleh dan melambai. Langkahnya tampak terburu-buru seperti dikejar waktu. Tanpa aba-aba lagi, Jimin langsung berjalan mengikutinya dan menjajari langkahnya.
“ Kau darimana?”
“ Dari ruang Data. Aku memeriksa file yang kau tunjukkan seminggu yang lalu itu..”
“ Oh ya? Jadi bagaimana? Apa kau menemukan sesuatu?”
Jeongwook menoleh. Diukirnya seulas senyum tipis namun misterius itu. Sesaat kemudian, dia kembali mengatakan, “ Nanti. Nanti pasti kuceritakan semuanya dengan detail.”
" Kau itu selalu saja begitu! Tenang saja, kujamin semuanya tak akan bocor!" kata Jimin memprotes. Ia melipat tangannya di dada sambil menggerutu pelan, " Kau sudah mengenalku, kan? Kenapa masih tak percaya!"
Jeongwook hanya tertawa kecil. " Aku mempercayaimu! Tapi semua ini harus kupastikan lebih dulu, arraseo ( kau paham)?"
" cih! Gure. Gure. Arraseo!" jawabnya menyerah. Ia kembali melanjutkan, "Bagaimana kalau malam nanti kita ke kedai seperti biasa. Aku yang akan mentraktirmu.”
“ Mian. Aku harus mengurusi sesuatu.”
“ Soal kebakaran itu lagi? Bukankah itu sudah dipastikan ketidaksengajaan?”
“ Hei! Siapa yang akan percaya sumber api berasal dari puntung rokok yang tiba-tiba entah dari mana berada di tempat itu dan membakar semua dokumen-dokumen tanpa tersisa selembar pun.”
“ Tapi memang tak ada bukti yang kuat.”
Mereka mengehentikan langkahnya tepat di depan pintu masuk kantor kepolisian. Sesaat Jimin melirik pria disampingnya yang tampak sibuk dengan ponsel serta memopad-nya. Dia kembali berkata sambil menepuk pelan pundak kawan lamanya serta rekan satu timnya itu.
“ Baiklah, berkerja keraslah! Lain kali akan kutraktir setelah kau berhasil menangkap penjahat itu.”
Sesaat, pria bernama Lee Jeongwook itu terdiam. Ia kembali mendongak dan menatap kawannya itu dengan pandangan serius, tajam dan memperingatkan. “ Jimin-ah, kalau semua perkiraan ku benar, ini bukan suatu kasus biasa. Ini hanya sebuah awal yang dapat mengantarkan kita pada suatu kasus yang sangat besar. Kasus yang dapat menyeret nama-nama penting di dunia.” katanya serius.
Seketika wajah pria itu berubah kaku. Ia memandang wajah kawannya itu dengan mata menyipit. “ YA! Kau bicara apa?”
“ Tak apa. Jangan pikirkan.” Ucap Jeongwook tersenyum tipis. Ia balas menepuk pundak Jimin lalu kembali melangkah, berlalu begitu saja dan menghilang diantara keramaian.
***
Hwang Jimin menatap orang-orang yang berjalan hilir mudik di depannya. Suasana malam kota Seoul memang terasa dingin. Ia tampak sendiri duduk di kedai tteobokki di tepi jalan itu. Sesekali ia menghela nafasnya, merasa bosan dan semakin mengantuk. Dirinya sempat menggerutu, mengapa disaat ada jam istirahat, ia malah sendiri disini? Semua rekannya tentu masih sibuk di kantor. Lagipula, setengah jam lagi dirinya juga harus kembali kesana.
“ Ahjumma (bibi), tambah lagi tteobokki-nya.” Katanya pada bibi penjual.
Wanita itu hanya mengangguk dan menambahkan kue beras pedas itu pada piringnya.
“ Silahkan.” katanya sambil mengulurkan satu porsi tteobokki pada Jimin.
Hwang Jimin menerimanya dan meletakkan di depannya sesaat sebelum dering teleponnya berbunyi. Segera dirogoh sakunya untuk menemukan ponsel lamanya itu dan langsung diangkatnya tanpa melihat ke layar.
Siapa yang tiba-tiba meneleponnya ditengah istirahatnya ini?
“ Yoboseyo?”
“ Pak Hwang! Gawat! Terjadi kebakaran di ruang data!” Seru orang tersebut dengan panik.
Seketika, Hwang Jimin langsung berdiri. Matanya membulat, amat terkejut dengan apa yang barus dikatakan seseorang disebrang sana.
“ MWORAGO!?” tanyanya tak bisa tenang. “ Bagaimana bisa!?”
“ Entahlah. Mungkin konsleting atau ada penyebab yang lainnya. Kami belum mengeceknya.”
“ SEGERA CEK PENYEBABNYA!” Serunya tidak sabar.
Teriakan itu sontak membuat setiap orang tak terkecuali bibi penjual menolehkearahnya. Tanpa aba-aba lagi, segera ditinggalkannya uang pembayaran dimeja dan langsung berjalan cepat kembali ke kantor.
“ Aku akan kesana.” Ucapnya langsung mematikan sambungan. Namun belum jauh ia melangkah, sebuah peristiwa terjadi tepat di depan matanya. Peristiwa yang tak dapat di hindarinya dan terjadi sangat tiba-tiba.
“ Jimin-ah!”
Ia segera menoleh keasal suara. Tepat saat itu juga, sebuah mobil melaju secepat kilat memecah keramaian dan menghantam keras seseorang yang melintas di jalan.
Kecelakaan itu tak dapat dicegah.
BRAKKK!!
Seketika kedua mata Jimin terbelalak kaget tepat saat tubuh itu melayang dan jatuh mencium aspal. Langkahnya terhenti menatap kengerian yang baru saja dilihatnya. Kakinya terasa lemas, ingin rasanya ia pingsan menatap sosok yang kini terkulai lemas di jalan dengan berlumuran darah, sementara mobil itu terus melaju hingga kehilangan jejaknya.
Dalam sekejap, orang-orang disana berkumpul, membentuk lingkaran mengelilingi sosok lemah itu. Suasana menjadi riuh dengan kepanikan orang-orang yang ada disana. Beberapa dari mereka segera memanggil ambulance dan polisi.
Perlahan ia melangkah, menyingkirkan gerombolan orang-orang disana dan melihat sosok itu lebih dekat.
Matanya kembali membulat melihat seseorang itu.
“ J-jeongwook!!” panggilnya berseru. Ia langsung berjongkok dan menutup luka di kepala Jeongwook yang masih mengucurkan banyak darah. Segera ia melakukan pertolongan pertama, mencoba mengembalikan detak jantungnya agar kembali normal.
“ Sadarlah, Jeongwook!! Jeongwook!!” Panggilnya terus berseru dan menekan dada Jeongwook berulang-ulang kali. Ia tak akan menyerah sebelum kawannya itu membuka mata dan berkata padanya. “ Jeongwook!! Bukalah matamu!!”
Jimin mundur begitu kedua kelopak mata Jeongwook perlahan terbuka.
Sambil meringis kesakitan, dengan sekuat tenaga, Jeongwook meraba saku jaketnya. Dikeluarkannya sebuah kertas kecil dari sana kemudian digenggamnya dengan kuat.
“ S-selamatkan keluargaku...” katanya mengulurkan kertas itu.
“ Jeongwook-ah! Bertahanlah!”
“Ph-Phantom...” ucapnya terbata. Nafasnya terengah-engah dan tak teratur lagi. Dengan sekuat tenaga, ia kembali mencoba membuka mulutnya. Urat-urat di lehernya semakin jelas terlihat, dan itu membuatnya merasakan rasa sakit yang teramat menyakitkan.
“ M-memory card— pada M-mirae. J-jebal ( kumohon) selamatkan keluargaku...”
Perlahan, mata itu kembali tertutup. Kepalanya tergolek lemah di tengah jalan dengan berlumuran darah. Sementara orang-orang disana hanya diam, tak tahu harus melakukan apa sebelum ambulance datang.
Jimin merangkak maju, kembali memeriksa denyut nadinya.
Hening.
Seketika, dia membulatkan matanya, menatap tubuh Jeongwook yang sudah lemas. Matanya menatap lekat, seolah tak percaya.
Sementara itu, dari kejauhan sana, suara sirine sayup-sayup terdengar di telinganya.
Namun, sungguh disayangkan, Jeongwook telah pergi tepat sebelum ambulance datang menjemputnya.
*** TO BE CONTINUE***