Awan hitam menggeliat padat, bergelung menutup langit yang menghitam, mendung dan semakin mendung. Hanya salju yang menghiasi, dengan jutaan lampu kerlap-kerlip berwarna warni, sebenarnya malam ini cukup indah. Pendaran cahaya yang saling memantul membuat keramaian di hampir seluruh sudut kota Seoul terlihat fantastis. Tak hanya itu, bahkan sebagian besar toko-toko dan pusat perbelanjaan telah memasang segala ornament tahun baru di etalase-etalase tokonya, sudah sangat tampak suasana akhir tahun di sepanjang jalan ini. Begitu meriah, hangat dan penuh keantusiasan.
Setidaknya, itu hanya terlihat dimataku, bukan kurasakan dengan hatiku.
Ya, di tempat yang ramai ini, nyatanya aku semakin kesepian. Mengapa? Entahlah. Aku tak akan pernah membahasnya lagi. Malam bersalju ini memang terasa dingin, namun hatiku jauh lebih beku hingga diriku sama sekali tak merasakan kehangatan. Sama sekali.
Mataku kembali menyusuri jalan di depan café tempat ku berada kini. Mungkin, hanya ini yang dapat menghibur diriku, menatap pemandangan kristal salju yang turun di Ibukota ini, memandangi segala kesibukan diluar sana, bahkan menyusuri setiap detail-detailnya, merekam segalanya di ingatan dengan memori tak terbatas ini. Hanya inilah saat terbaik yang menenangkan perasaanku. Suasana yang seolah mengajak diriku untuk berdamai dengan keadaan.
Ku telungkupkan kepalaku di atas meja sembari menutup mata. Bukan tertidur, hanya ingin menenangkan sejenak pikiran yang menggangguku akhir-akhir ini. Rasanya tak ada pilihan yang tepat dimataku. Membuat hidupku yang sulit semakin rumit, hampir membuatku ingin muntah. Resah, sesak, menyakitkan, hanya perasaan itulah yang muncul dibenak ku ketika teringat dengan wajah dan sosoknya. Rasa kecewa itu telah membuat hatiku mengeras, beku sedingin es.
Dan pada akhirnya, membuatku salah arah.
Jalan yang kupilih, nyatanya meremukkan dinding-dinding hatiku.
***
Aku hanya berdiri dalam diam menatap nanar suasana dibawah sana dari ruangan di lantai 26 ini. Gordyn putih bergoyang perlahan mengusap lembut pipiku. Aku sama sekali tak terganggu, pikiranku masih asyik memikirkan berbagai macam hal yang berkecamuk di dadaku.
“ Woori-yah…”
Terdengar suara seseorang memanggil namaku.
Aku tetap tak bergeming, masih pada posisiku.
“ Woori-yah…” Dia kembali memanggil. Aku tak perlu menoleh untuk tahu siapa dirinya. Dia kakak perempuanku. Hwang Shinhye. Sudah seminggu ini dia berada di tempat ini, setia menunggui diriku. Entah apa yang dipikirkannya hingga bersusah payah menghiburku. Dia telah memiliki keluarga kecil, dan untuk apa dia malah menyibukkan dirinya mengurus adik manja seperti ku.
“ Woori, kau harus makan.”
“ Shiro!” Sahutku tajam, menolak tegas. “ Aku tidak ingin makan!”
“ K-keundae—“
“ Shiro! Shiro!! Shiro!!!” Aku berseru keras meluapkan kekesalanku. Kepalaku masih tidak tertoleh, tubuhku masih membelakanginya, namun aku tahu betapa takutnya dia menghadapiku. Adik yang dulu ceria dan selalu bersemangat, kini menghilang tak berbekas. Sifatku berganti menyebalkan dan pemurung. Sejak kejadian itu.
Ya, sejak kejadian itu…
Kubalikkan tubuhku kemudian berjalan melewatinya begitu saja.
“ Aku ingin mencari udara segar…” Kataku pada akhirnya.
Segera, ia meletakkan nampan ditangannya di meja lalu berlari menghampiriku. Tepat saat dirinya berada di ambang pintu, ia berseru, “ Woori, hajima ( Jangan) !!!
Lagi-lagi aku tak menghiraukannya, aku tetap acuh dan tetap melangkah menyusuri koridor rumah sakit dengan langkah yang ragu.
***
Ya, dia kehilangan tunangannya saat kecelakaan, dan malangnya, jari jemarinya harus terluka hingga membuatnya berhenti menjadi seorang pianis. Kau tahukan, Hwang Woori, dia pianis hebat yang tengah naik daun akhir-akhir ini… Sayang, nasib buruk menimpanya…
Aku tak lagi terguncang mendengar kasak-kusuk di rumah sakit ini. Sudah banyak perawat yang membicarakan tentang diriku, dan aku tak merasa terganggu lagi jika setiap orang membicarakannya sepanjang waktu, setiap hari, selama seminggu saat aku berada disini
Kutatap jemari tanganku yang masih berbalut perban, perlahan, kuhembuskan nafasku berat. Nyatanya menerima semua ini sama sekali tak mudah untukku.
Aku kembali melangkah, keluar rumah sakit yang membuatku selalu ingin muntah karena bau antiseptiknya. Masih dengan pakaian lengkap khas pasien, aku menyusuri taman rumah sakit yang lumayan ramai di pagi ini. Aku cukup menggigil. Udara masih dingin , bekas salju yang turun kemarin malam. Spontan, Kugenggam tangan ku yang masih berbalut perban, cuaca seperti ini, memang tak baik untuk kesembuhan lukaku…
Namun, tiba-tiba, kurasakan selembar kain tebal tersampir di punggungku. Jas hitam tebal itu seketika menghangatkanku. Seseorang yang mengalungkannya untukku, menjagaku dari kedinginan yang membekukan tubuh juga hatiku.
Aku menoleh cepat, melihat sosok yang sudah berada di belakangku itu.
“ Sudah kubilang, jangan berkeliaran di luar sebelum makan dan minum obat, kan!?”
Mataku terpaku menatap pria disana, namun sedetik kemudian, kualihkan pandanganku cepat. Kim Myungsoo, dialah orang yang saat ini tak ingin kutemui. Sama sekali tidak ingin!
“ Gomawo (Terima kasih)…” Kataku pendek.
Aku kembali melangkah menuju bangku taman yang terletak tepat di bawah pohon yang kini hanya tinggal rantingnya. Dia juga berjalan mengikutiku, dan duduk disampingku.
“ Untuk apa kemari?” Tanyaku dingin.
Sesaat ia terdiam, namun tak lama setelahnya, ia menjawab. “ Aku ingin melihatmu…”
“ Kau bercanda!? Kau sama sekali tak berubah, ya!” Kataku menyeringai. “ Kau sangat berbeda dengan—“
Spontan, aku menghentikan ucapanku. Tiba-tiba lidahku kelu, aku tak mampu melanjutkannya lagi. Kata-kata itu menyangkut ditenggorokan, seolah akan membuatku tersedak, kehabisan nafas. Ahhh!! Aku benar-benar ingin melupakannya. Melupakan semua tentangnya!!
“ Nugu? Kau berkata aku berbeda dengan siapa?” Myungsoo kembali menyahut. Kata-katanya terdengar lebih serius.
Aku berdiri cepat. Ku katakan kata-kataku dengan tegas, “ Pulanglah!”
Aku ingin berjalan, namun dengan cepat, pria itu segera meraih tanganku, menghentikan langkahku. Aku meronta keras, mencoba melepaskan tangannya yang erat menggenggamku.
“ Lepaskan! Lepas!!”
“ Hei…” Panggilnya.
Aku mendongak, sambil terus meronta. Namun, gerakanku semakin lama melambat dan melemah. Kedua mata yang menatapku lekat itulah yang membuatku lemah. Pada akhirnya, kubiarkan saja ia menggenggamku erat.
“ Apakah dengan menatapku saja sangat berat untukmu?” Ucapnya lirih.
Aku terdiam seketika. Membisu, tak mempu berkata-kata.
Berat? Ya, menatapnya hanya akan menorehkan luka di hatinya.
***
Memang bukan salahnya memiliki wajah yang sangat mirip dengan pria itu. Tapi, mengapa aku terus menyalahkannya? Menghindarinya? Mendorongnya untuk pergi menjauh dari pandanganku juga hidupku!? Sungguh, pertanyaan-demi pertanyaan itu selalu menghantui pikiranku, membuat otakku ingin meledak memikirkan semuanya meski ingin kudapatkan jawabannya.
Kim Hyunsoo dan Kim Myungsoo. Dua saudara kembar itu selalu memenuhi hidupku sejak diriku masih berumur lima tahun. Namun, entah sejak kapan, Hyunsoo, yang kalem dan sangat perhatian itu mampu menarik hatiku, merubah semua status dan sekaligus hubungan kami. Dan, pada akhirnya satu tahun yang lalu kami memutuskan untuk bertunangan. Mengaitkan seuntai benang fiktif yang mengikat kami untuk bersatu dan berharap tak akan pernah ada yang memutuskannya.
Namun, apa yang bisa kuperbuat jika benang itu sangat tipis dan lemah hingga dengan mudahnya terenggut memisahkan kami. Kecelakaan dimalam itu, merenggut kebahagiaanku seketika. Membuatku trauma hingga berubah 180 drajat. Hatiku terlanjur beku seiring mengerasnya salju yang turun di malam itu.
Dan kini, sosoknya kembali hadir didekatku. Kali ini dengan sosok yang berbeda.
Kim Myungsoo, mianhae. Menatap wajahmu, membuatku kembali teringat dengan dirinya. Kembali teringat dengan kecelakaan yang merenggut tak hanya dirinya, namun juga impianku. Juga teringat kata-kata terakhirnya sesaat sebelum menutup mata untuk selama-lamanya. Sebuah mantra yang seolah menghipnotisku dan tak akan pernah bisa berpaling darinya.
“ Woori-yah…Saranghaeyo ( Aku mencintaimu)…”
Myungsoo-yah, aku tak ingin memandang dirimu sebagai dirinya. Aku tak ingin menyakitimu…
***
“ Woori-yah!!! Kemari!!” Myungsoo berseru menatap hamparan air di depannya.
Sungai Han sudah tampak dimata kami.
Aku berjalan menghampirinya. “ Kenapa kemari?”
“ Bukankah ini tempat terbaik untuk meredakan stress?”
Aku menatapnya jengkel lantas memukul lengannya keras. “ Kau pikir aku gila!!?”
“ Appa (sakit)!” Ia mengaduh. aku hanya diam, mengacuhkannya. Sambil terus mengusap lengannya, ia kembali mengatakan, “ Kau ini wanita, mengapa kasar sekali, sih!?”
“ Kalau begitu, bukan Woori namanya…” Sahutku sekenanya.
Myungsoo hanya tertawa kecil kemudian mencubit pipiku gemas.
“ Kau ini temperamental sekali!!”
“ Aish!!” Aku kembali memukulnya, dan dia kembali mengaduh.
“ Seenaknya bicara!” Kataku kesal.
Sesaat kemudian, hening untuk beberapa saat. Kami terdiam dengan berbagai hal yang berkecamuk di pikiran masing-masing. Kupandang air yang sesekali bergelombang. Benar, kata Myungsoo, tempat ini memang cocok untuk menenangkan diri. Pemandangan airnya juga sayup-sayup suara yang terdengar dari percakapan orang disana, sunggung membuatku nyaman dan sedikit melupakan sebagian masalah yang akhir-akhir ini menggangguku.
“ Kau tahu mengapa aku mengajakmu kesini?”
Aku mengangkat kedua bahuku. “ Entahlah…”
“ Bukankah Hyunsoo mengungkapkan perasaannya tepat di tempat ini?”
Aku menoleh cepat. Mataku menyipit, menatapnya sedikit terheran. “ Kau mengetahuinya?”
“ Aku selalu mengetahui apapun tentangmu…”
Segera kubalikkan tubuhku. Aku kembali melangkah menjauh dari sana. Mengapa Myungsoo malah kembali mengatakannya disaat hatiku kembali tenang!? Sungguh, ingin kubuang semua memoriku tentangnya saat ini juga, di sungai itu dan membiarkan air mengalirkannya ke tempat yang tak akan pernah kutemui.
“ Aku ingin kembali ke Rumah Sakit!”
“ Woori-yah…” Ia memanggil namaku lantas berjalan menghampiriku. “ Kau tak menyukainya?”
“ Aku hanya ingin pulang!!”
Ia kembali menarik tanganku, membuatku berhenti.
“ Bukankah ini yang kau inginkan!?”
“ Mworago ( Apa katamu) ?”
Myungsoo menarik nafasnya lantas menghembuskannya berat. Sesaat kemudian, ia menjawab, “ Bertemu kembali dengan Hyunsoo…”
“ Mwo (Apa) ?” Tanyaku tak mengerti.
“ Untuk satu hari ini hingga malam tiba, anggaplah aku Kim Hyunsoo, orang yang kau cintai itu. Aku akan melakukan apapun seperti yang dilakukan Hyunsoo untukmu…”
“ Micheosseo ( Kau gila) !? Hentikan candaanmu itu! Itu sama sekali tidak lucu!”
“ Aku tidak bercanda. Aku serius…”
Kualihkan pandangaku kearah lain. Untuk sekarang ini, aku sama sekali tidak dapat berpikir. Hanya pertanyaan yang melintas dikepalaku? Bertanya-tanya untuk mencerna apa yang sedang terjadi padaku dan pada pria bernama Kim Myungsoo ini.
Aku tahu ucapannya tidak bercanda, matanya menatapku serius. Lalu, bagaimana denganku? Apa aku akan setuju dengan rencana konyolnya itu!? Entahlah aku tak akan bisa berpikir jernih lagi, dan itu membuatku perutku mulas.
Ah! Ia bahkan lupa dirinya sama sekali belum sarapan sejak pagi tadi…
“ Kruyukkk…”
Myungsoo hanya tertawa kecil. “ Kau lapar?”
Aku tak menjawab. Bukankah dia sudah mendengar jawabannya?
***
Kami makan di sebuah café yang tak jauh dari sungai Han. Dari sana pula, kami masih bisa melihat keindahan pemandangan di sekitar sungai Han. Memang tak heran jika tempat itu menjadi salah satu destinasi wisata yang menarik di Korea.
“ Kami pesan Jajangmyun juga Kimbab.”
Aku menoleh kearah Myungsoo. Bagaimana dia tahu menu kesukaanku di tempat ini?
“ Ah, juga Lemon tea hangat dengan perasan jeruk nipis dan sedikit gula…”
Keningku berkerut. Menatapnya semakin heran. “ Hei, darimana kau tahu semua itu!?”
“ Kau pikir aku tak akan bisa memerankan tokoh Hyunsoo. Aku aktor yang hebat, benarkan?”
“ Ani (Tidak), bukan begitu, tapi kenapa kau mau melakukannya!?”
Ia tak menjawab. Hanya senyuman misterius yang dia berikan.
***
Hari itu sungguh seperti mimpi. Kami berjalan-jalan mengelilingi kota Seoul berdua. Hanya berdua. Dan aku, seolah kembali merasakan Hyunsoo kembali bersamaku. Berjalan disampingku, terus berada didekatku. Sepanjang hari, kami mengunjungi tempat-tempat dimana Hyunsoo dan aku pernah kami kunjungi. Kami berdua kembali membangun memori baru. Dia memperlakukanku seperti Hyunsoo memperlakukanku namun dengan caranya sendiri. Dan entah mengapa, untuk pertama kalinya, aku merasakan kenyamanan yang berbeda bersamanya. Pertama kali perasaan tenang hinggap di hatiku semenjak seminggu terakhir aku terus merasakan frustasi perubahan nasibku. Perasaan tenang karena Kim Myungsoo, bukan Kim Hyunsoo…
Namun, waktu terlalu cepat berlalu seperti desingan peluru.
Hingga Malam pun perlahan menjelang. Saat-saat dimana kita harus mengakhiri drama ini…
Dia menarik tanganku menaiki tangga panjang, seperti tak berujung. Namun, pada akhirnya kami sampai di puncak dari tempat yang sangat indah di Kota Seoul. Sebuah bangunan yang terkenal akan keromantisannya, Namsan Tower.
Dia melepaskan genggamannya dan berjalan menuju beranda tempat ribuan gembok dikaitkan. Aku melangkah mengikutinya dan berhenti tepat disampingnya. Kuusap dengan lembut gembok-gembok dihadapanku dengan takzim. Sesaat kemudian, aku mendongak, menatap takjub kota Seoul yang berbalut salju dari atas. Tak pernah kuperhatikan, kota ini sungguh indah dan menakjubkan.
“ Bagaimana perasaanmu? Lebih baik?” Sahut Myungsoo membuka percakapan.
Aku melirik kearahnya, lantas mengangguk pelan. “ Ne ( Ya ). Gomawo…” Jawabku.
Dia hanya tersenyum tipis. Pandangannya masih mengarah kedepan sana.
“ Ini, tempat favoritku…” Ucapnya. Kepalaku tertoleh. Kini kulihat wajahnya yang tampak serius namun begitu pedih. Matanya memandang nanar, seolah ada sesuatu yang membuatnya tertekan. Menyakitkan, perasaan itulah yang tampak dari kedua matanya.
“ Kenapa kau mengajakku kemari?”
“ Karena ini tempat favoritku, bukan tempat favorit Hyunsoo hyung…”
Aku menyentuh lengannya, mencoba menenangkannya. Bulir air matanya, perlahan jatuh membasahi pipinya. Kini aku sadar, bukan hanya diriku yang merana atas kepergian Hyunsoo. Seseorang mungkin lebih tertekan dan sedih. Seseorang itu Kim Myungsoo. Aku tahu mereka berdua memang yatim piatu sejak berumur dua belas tahun. Bagi Myungsoo, hyung-nya lah keluarga satu-satunya yang dimiliki.
Aku tahu, tapi mengapa aku tidak ingin mengerti!?
Diusapnya airmatanya. Ia kembali tersenyum menatapku, senyuman yang pilu. Kini dirogoh kantong celananya dan mengeluarkan sebuah gembok dari sana. Namun, yang membuatku terpaku menatapnya. Tepat di gembok itu, tergantung sebuah kertas bertuliskan dua buah nama yang menghiasinya.
Kim Hyunsoo & Hwang Woori…
Aku mendongak. “ Myungsoo-yah. Jebal (Tolong), keumanhae (hentikan)…”
Ia hanya tersenyum getir lalu berkata, “ Apa kau tahu makna gembok ini?”
“ Myungsoo-yah…”
“ Aku tak peduli dengan siapa namamu tertulis disini, namun, aku hanya ingin dirimu memandangku sebagai Kim Myungsoo. Hanya Kim Myungsoo…”
“ Aku tahu, separuh hatimu akan tetap milik Hyunsoo, Dia memang yang terbaik bagimu. Namun, kau harus merelakannya, jangan pernah menghancurkan hidupmu lebih lama lagi karena itu akan membuatku terluka. Meski teramat sulit, perlahan kau pasti akan melupakannya…”
Aku melepaskan tanganku dan menunduk.
“ Entahlah, aku tak yakin…”
Tiba-tiba saja, dia menggenggam kedua lenganku. Aku terdongak, menatapnya. Seketika, aku terdiam. Kedua mata itu memandangku lekat, membuat jantungku berdegup amat kencang.
“ Dan—“ Myungsoo kembali melanjutkan kata-katanya.
“ Dan, saat dirimu mampu merelakannya, dapatkah kau memandangku saat itu juga?”
Deg!
Kurasakan debaran itu semakin kencang. Aku tak mampu berkata-kata kembali, hanya diam tertunduk tak dapat menatapnya.
Bagaimana bisa aku menjawabnya!?
Udara dingin ini, seolah tak mempengaruhiku. Yang kurasakan, hanya panas menjalar dari pipiku. Oh, apakah kini pipiku memerah!?
“ Esok, saat Desember berakhir, yakinlah kau akan melupakannya dan mulai melihatku…” Katanya kembali. “ Apa kau bisa?”
Aku mendongak. Kini aku mengerti.
Hembusan angin lembut menerbangkan anak rambutku. Desauannya tedengar ditelingaku.
“ Arra ( Aku mengerti).” Jawabku. “ Karena aku selalu menganggapmu sebagai Kim Myungsoo…”
“ Gomawo, Woori-yah…”
Three…
Two…
One…
Dar…Dar…Dar…
Suara kembang api membuat kami mendongak. Berdua, kami menatap lecutan warna-warni kembang api yang meletus menghiasi langit malam. Aku menoleh kearahnya dan hanya tertawa kecil menatapnya, begitu juga dirinya yang balas tersenyum.
Sementara itu, tepat di layar bersar sana, tampak seorang reporter yang semangat melaporkan secara langsung momen-momen tahun baru yang dinantikannya…
Wow!! Tahun baru!! Tahun baru adalah suatu moment yang pas untuk beralih ke tahun berikutnya, membuka lembaran baru…
Apakah kalian siap menemukan hal-hal baru? Kehidupan baru, pekerjaan atau… kekasih misalnya. Hahaha… Sepertinya setiap orang tak sabar menantikan sesuatu yang menakjubkan berikutnya!!!