Dalam kesendiriannya di sebuah ruangan kaca yang dapat memperlihatkan gerakannya dari berbagai sudut pandang, gadis penggila Song Joong Ki ini terus memaksa kakinya agar seirama dengan gerakan balet yang terpasang di laptopnya. “Hmm…” Bora menghela napas. “Ayo Bora…Figthing!” Jeritnya dalam hati. “Pfff…tujuh..delap…aaaw” Bora terjatuh karena tak sanggup lagi menopang badannya dengan kakinya yang telah letih. “Bora yaaa!…” suara yang tak asing ini memanggil Bora dari balik pintu yang tadinya tertutup rapat.“Sshh..” Bora meringis.
“Bora ya, kenapa kamu masih disini? Apa yang terjadi? Kamu baik-baik saja?” pertanyaan yang diajukan gurunya ini seperti tabrakan yang beruntun di jalan raya. “Ne, aku baik-baik saja. Tentu saja aku berlatih disini, semakin sering berlatih maka semakin cepat aku menjadi Pro dan aku bisa siap untuk audisi, iya kan bu? hehehe” jawab Bora seraya berdiri dan merangkul lengan gurunya. “Yoon Bo-ra…” tegas gurunya yang kemudian melangkah mundur dan membungkuk ingin melihat keadaan kaki Bora. “Aku benar-benar tidak terluka, hanya kaget dan terjatuh” jawab Bora sambil menarik tangan gurunya agar bangkit dan tidak menghiraukan kakinya. “Pulanglah bu, aku akan merapikan studio dan menguncinya. Suami mu pasti menunggu dengan khawatir karena sudah hampir jam 9 malam tapi istrinya yang cantik belum dirumah ” Bora berusaha terus berbicara untuk mengalihkan perhatian gurunya.“Aigo…aku yang khawatir denganmu sekarang…” Gurunya menatap Bora dengan tatapan yang dalam. “Aku bahkan pernah terjatuh jungkir balik dari panggung dan kau menertawakanku, sekarang aku hanya kaget dan tersandung lalu kau khawatir?” Bora melirik gurunya sambil menjauh untuk mematikan laptop dan merapikannya. “Bukan karena…ah sudahlah, aku turun duluan, rapikan semuanya dan aku menunggumu di bawah. Kita keluar bersama” gurunya melangkah keluar dan menutup pintu.“Ye..” jawab Bora singkat.
-----
Angin malam ini hampir mengintip rok selutut berwarna pink muda milik Bora, namun nyatanya hanya meniup lembut telapak kaki Bora yang menggunakan sandal ungu dengan dua tali yang terhubung dan dijepit diantara ibu jari dan telunjuk kakinya. Bukan karena akan naik bus Bora menggunakan sandal ruangan kesayangannya, tapi karena tidak ada pilihan lain selain membiarkan tumitnya yang tadi memar mendapatkan udara sejuk tanpa tertutup sepatu.
Kalau Ibu Yoon tahu bahwa kakiku memar pasti besok aku harus mengistirahatkan si tulang lemah ini…isshh. Keluhnya dalam hati dan tanpa sengaja membenturkan memarnya ke tiang halte. “Ouch..aaaa…”serunya tiba-tiba. “Tumitku mianhe…Bora yaa, kau harus lebih hati-hati. Huft” Bora berusaha menenangkan dirinya. Bus pun datang.
Di dalam bus Bora Nampak gelisah. Bukan karena memarnya membuatnya susah berjalan tanpa meringis, sama sekali bukan. Bora bukan perempuan yang akan mengeluh karena memarnya harus bertambah memar karena kecerobohannya sendiri, jelas bukan. Bora justru tidak ingin orang tahu bahwa dia memar, memar karena kegigihannya, memar karena obsesinya, memar karena cita-citanya yang tidak pernah mendapatkan persetujuan ayahnya. Dia justru tidak akan pernah mau bertemu ayah dan ibunya dalam keadaan memar seperti ini.
Aku baik-baik saja, yang ibu harus tau bahwa aku baik-baik saja. Ibu harus tau bahwa aku akan berjuang dan tidak pernah menyesal memilih ini. Memilih untuk mencapai cita-cita ibuku. “Agassi, apa kau mau turun disini? Apa kau lapar? Kau terus memandangi restoran Kimchi itu” supir bus bertanya pada Bora. “Ye..? Ah, tidak Ahjussi. Tujuanku masih beberapa halte lagi. Joseonghamnida” jawab Bora.
Hmm aku memang lapar, tapi aku tidak akan makan di restoran ibu dan membiarkan ibu melihatku begini. Lagipula bagaimana jika ayah juga disana? Tidak, aku akan makan di warung gimbap dekat apartement saja. Bora menghela napas panjang.
-----
Bora berjalan santai menyusuri pinggir jalanan. Hanya beberapa langkah lagi dia bisa merebahkan tubuh dan memanjakan tumit memarnya. “krucuk..krucuk..” panggilan tak terjawab dari perut Bora. “Ah..iya aku sangat lapar. Beberapa potong gimbap mungkin cukup menjawab panggilan perutku” kata Bora sambil tersenyum membayangkan potongan gimbap. Warung gimbap masih belum tutup, Bora beruntung. “Permisi, ahjumma aku pesan gimbap satu porsi” teriak Bora riang.
Suara itu tidak hanya terdengar dari Bora. Ada suara lain yang mengucapkan kalimat yang sama dengannya. “Permisi, ahjumma aku pesan gimbap satu porsi” tegas seorang laki-laki tinggi yang menutupi kepalanya dengan topi dan wajahnya dengan masker untuk yang kedua kalinya. Bora duduk dan laki-laki itu pun duduk tepat di seberang meja Bora. Saling acuh. “Permisi, maaf…kalian pesan gimbap?” tanya ibu penjaga warung. “Ye?” jawab Bora dan lelaki itu bersamaan. Mereka kemudian saling bertatapan heran kemudian mengarahkan pandangan pada ibu penjaga warung. “Ahjumma aku pesan gimbap yang seperti biasa” jawab Bora sambil mengedipkan sebelah matanya.“Begini nona, duh bagaimana ini? gimbap nya hanya tinggal untuk satu porsi” kata ibu penjaga warung ragu-ragu. “Ye?” sahut Bora dan laki-laki itu bersamaan yang kemudian menghampiri ibu penjaga warung. “Wah daebak! Kau sudah bekerja keras hari ini, setelah aku makan kau segeralah pulang ahjumma.” Bora mengacungkan jempolnya dan membuka mantelnya, kemudian duduk ke posisi semula dengan nyaman.
“Ough…situasi apa ini, benar-benar…jeogiyo, nona? Apa kau mengalami gangguan pendengaran?” laki-laki tersebut menghampiri Bora. “Ne?” jawab Bora. Bora menunjuk bahunya sendiri untuk memberi isyarat apakah laki-laki itu bertanya padanya. “Iya, kau. Disini hanya ada kita berdua. Maksudku pelanggan disini hanya kita berdua. Tentu saja aku bicara padamu” lelaki itu mulai menaikan nada suaranya. “Pendengaranku baik-baik saja, bahkan terlalu baik sehingga aku bisa mendengar teriakanmu ini meskipun jika aku berada sepuluh blok dari sini.” jawab Bora ketus sambil menunjuk telinganya sendiri. “Kalau begitu apa kau tidak dengar yang dikatakan ahjumma kalau hanya tinggal satu porsi gimbap? Dan aku juga sangat lapar. Jadi bagaimana kita menyelesaikan ini?” kata lelaki itu dengan semakin jauh dari nada yang sopan.
“Yaaaa… Aku datang dari arah sana dan memesan makanan. Aku tidak tahu kau datang dari lubang mana, tiba-tiba ingin merebut gimbapku!” kata Bora berteriak sambil mengayunkan telapak tangan kirinya yang terbuka keatas menunjuk arah kedatangannya dan mengangkat kedua tangannya sambil mengangkat bahu. “Gadis ini benar-benar…” gerutu laki-laki itu sambil membuka maskernya.“Kau kan laki-laki, pergilah keluar dari jalan ini lalu cari tempat makan lain” lanjut Bora.“Kenapa sekarang ini Korea semakin kekurangan gadis lemah lembut yang mudah diajak berbicara…?!” keluh laki-laki itu.“Mwo?” bentak Bora.
“Sudahlah makan saja ini bersama, sudah terlalu malam untuk bertengkar. Kalian pasti lelah dan lapar, aku memberikan tambahan nasi dan bonus sup kimchi pedas untuk kalian.” Ibu warung memotong percakapan ganas kedua orang tersebut. “Berikan saja semua pada gadis besi ini, dia pasti butuh banyak makanan untuk mengajak berkelahi semua orang yang dia temui” kata lelaki itu yang kembali memasang maskernya. “SELAMAT MAKAN, AKU AKAN MAKAN DENGAN BAIK…!” teriak Bora penuh semangat. Lelaki itu memberi salam pada ibu penjaga warung dan dengan terburu-buru menghilang di balik tenda.
-----
“Onnie, kau sudah pulang?” Dasom menyambut Bora dengan pelukan hangat. “Onnie, kau terlihat sangat lelah.” kata Dasom lagi.“Oh.. begitu ya? Aku belum merasa low battery…Hehehe” sahut Bora.“Onnie memang tidak biasa, kau selalu tangguh!” Dasom mengangkat uda jempolnya untuk Bora. “Oh iya aku tahu kau pasti lapar dan tidak akan menghiraukan panggilan perutmu saat kau sedang sibuk berlatih, aku membelikanmu gimbap agar bisa kau makan dengan cepat dan segera istirahat” kata Dasom menuju kamarnya.
Sejenak Bora terdiam. Memikirkan betapa dia tidak pernah merasa sendiri meskipun tidak tinggal bersama kedua orang tua dan adiknya. Sejak Bora memutuskan tinggal sendiri, disaat itulah dia tidak benar-benar sendirian, karena Dasom selalu ada untuknya. Adik kelas yang selalu memberinya semangat, dukungan serta perhatian dan menjadi teman sekamarnya semenjak dua tahun lalu. Lamunan Bora terhenti.“Apa? Gimbap?” sadar Bora.
Bora berlari meninggalkan pintu rumah yang terbuka. Dia berlari menuju kearah warung gimbap pinggir jalan tempat dia makan tadi. Dia berharap orang itu masih ada. Orang itu masih disekitar supermarket dekat warung gimbap tadi. Iya saat pulang tadi aku melihatnya disana. Batin Bora. Sesampainya disana, warung tersebut telah tutup. Supermarket juga sepi, bahkan petugasnya saja mulai menjatuhkan wajahnya ke meja kasir karena mengantuk. “Kemana perginya...?” tanya Bora pada dirinya sendiri. Setelah lelah memutar kepala ke kanan dan kiri, Bora berlalu, kembali kerumah.
“Onnie, apa yang terjadi? Aku sangat terkejut melihat kau berlari bahkan tanpa menutup pintu.” kata Dasom heran dan menyodorkan segelas air putih untuk Bora. “Dan untuk apa kau pergi membawa bungkusan gimbap itu?” tanya dasom lagi. “Dasom ah…hahahahahahahahahahahaha” Bora tertawa sambil memegang perutnya dan hampir menumpahkan tubuhnya ke lantai. “Waeyo onnie?” tanya Dasom heran. Kemudian Bora menceritakan apa yang terjadi di warung gimbap kepada Dasom serta menceritakan untuk apa Bora berlari mambawa bungkusan gimbap itu. Mereka tertawa dan hampir membangunkan penghuni lain, mereka juga tidak tahu apa yang akan dilakukan dengan bungkusan gimbap itu sekarang.
-----
“Aish..kenapa aku harus terlalu sibuk mengurus ini itu sampai tidak ada waktu membeli bahan makanan, memesan makan malam pun aku lupa.” Hee Chul berbicara pada dirinya sendiri dengan kesal. Hee Chul duduk dibelakang kemudi mobilnya, menundukan kepala. Merasa lapar tentunya. Hee Chul bukan tipe lelaki yang sok sibuk, tapi kali ini dia benar-benar sibuk mengurus perabotan rumah, urusan imigrasi dan lain-lain. Kepindahannya dari Amerika ke Korea tanpa keluarganya membuat dia harus mengurus semua sendiri. Sempat terpikir kenapa dia harus meninggalkan Korea jika pada akhirnya dia kembali lagi. Tapi setiap jalan yang dipilihnya bukan tanpa alasan yang penting.
“Ting Tung…” ada pesan masuk baru di hp Hee Chul. Dia hanya mengangkat kepalanya, membuka hp nya dan membaca pesan tersebut, kemudian berniat menundukan kepalanya lagi yang akhirnya dia batalkan karena ada sesuatu yang menarik pandangannya, lebih menarik dari memandang kemudi yang keras atau pedal dibawah kemudinya. “Apa aku tidak salah lihat?” Hee Chul bergumam sambil mengusap matanya. “Iya benar, dia si gadis di warung gimbap itu” yakin Hee Chul. “Apa yang dia lakukan sendirian kebingungan dijalanan dan membawa bungkusan seperti itu?” Hee Chul sudah menegakkan kepala sepenuhnya.
Dia terlihat sangat berbeda dari sebelumnya. Wajahnya yang sekeras besi seakan melunak menjadi cairan yang goyang dalam sebuah wadah, terlihat kebingungan. “Ini kan sudah larut malam. Apa dia butuh bantuan? Apa aku harus menghampirinya?” Hee Chul bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Hingga…
“Oppa!” sapa seorang gadis yang muncul dibalik kaca depan mobil Hee Chul. “Ah aku sangat kaget..” pekik Hee Chul. “Mian..hehe. Oppa, aku akan masuk mobilmu” sahut si gadis itu. “Nde..” jawab Hee Chul. Si gadis gimbap menghilang dari jalanan tadi, padahal hanya sesaat terhalang orang tubuh mungil Taeyeon.
Gadis yang datang secara mengejutkan tadi itu Taeyeon. Sahabat Hee Chul bahkan sebelum Taeyeon dilahirkan, Hee Chul sudah menunggunya untuk menjadikan gadis itu sahabatnya, untuk melindungi gadis itu, untuk selalu ada saat gadis itu membutuhkannya. Bisa dikatakan, Taeyeon adalah adik perempuan yang diharapkan Hee Chul, gadis yang bisa menjadi adik, sahabat, sekaligus dunianya Hee Chul. Karena sungguh mereka sangat dekat. Hingga melindungi Taeyeon lah alasan kenapa Hee Chul harus rela pindah ke Amerika untuk sementara.
“Oppa, kau sudah menunggu lama? Kau pasti sangat lapar kan? Nih makanlah…” kata Taeyeon sambil menyerahkan roti lapis ke tangan Hee Chul. “Komawo, Taeyeon ah…” Hee Chul mengelus lembut kepala Taeyeon. “Aku sangat khawatir ketika kau mengirim pesan padaku kau belum makan dari tadi siang, tapi juga gembira akhirnya kita bertemu beberapa jam lebih awal dari yang kita rencanakan. Kalau tahu tidak perlu menunggu besok untuk bertemu, dari siang saja aku membantumu dirumah.” Taeyeon terlihat senang.“Oh...” Hee Chul hanya menggaguk.
“Enak kan? Aku khusus membuatnya untuk makan malammu hari ini dan sebagai hadiah kepulanganmu kesini.” Taeyeon menatap Hee Chul yang sedang menikmati roti lapisnya itu.“Oh.. aku sangat menyukainya. Untuk roti inilah aku pulang. Hehehehe” Jawab Hee Chul tanpa menatap Taeyeon. “Hmm…kau bahkan tidak berniat memuji penampilanku setelah sekian lama kita tidak bertemu.” ketus Taeyeon.
Justru aku tidak bisa melihatmu sekarang karena aku tahu kau semakin cantik, aku gugup dan tidak tahu apa yang harus aku katakan melihatmu semakin cantik seperti ini.
“Oppa, ish benar-benar…aku kalah pesona dengan roti itu” Taeyeon mulai menekuk wajahnya. “Oh, neol yeppeuda” jawab Hee Chul akhirnya. Taeyeon tersenyum. Dan mendekatkan wajahnya ke telinga Hee Chul, kemudian berbisik. “Oppa, aku sangat merindukanmu. Kau jangan pergi jauh lagi, awas kau.” bisik Taeyeon. Arraso.. Suara hati Hee Chul menjawab.