Jika kebanyakan orang bangun karena mendengar suara alarm, aku tidak. Aku bangun dengan suara barang-barang berbahan kaca yang pecah karena dilempar. Jika kebanyakan orang bangun di atas ranjang yang empuk, aku bangun di atas ranjang tipis yang dingin. Jika kebanyakan orang bangun lalu sarapan dengan makanan bergizi, aku harus berjalan beberapa langkah untuk membeli roti yang tidak seberapa rasanya.
“Yah! Kau pikir aku aku betah tinggal denganmu!” suara ibuku terdengar nyaring. “Aku bosan hidup miskin denganmu, asal kau tahu!”
Aku menghembuskan nafas sambil menyisir rambut dan merapikan seragam sekolahku.
“Aku sudah tidak tahan tinggal di rumah ini deganmu!” sekarang suara ayahku terdengar, mungkin dua kali lebih nyaring.
Jika kebanyakan orang bangun di pagi hari dan mendengarkan musik, entah pop, klasik atau jazz, maka teriakan dan bentakan kedua orang tuaku lah yang kudengar sebagai musik pagi hari.
Aku keluar dan berjalan melewati kedua orang tuaku yang masih sibuk bertengkar, sama sekali tidak menyadari atau memang tidak mau melihat keberadaanku. Aku berjalan ke dapur dan menuangkan segelas air mineral.
“Lihat anak perempuanmu itu!” ayahku berseru.
Aku tersedak seketika, untuk pertama kalinya aku disangkut pautkan.
“Dia hanya bisa pergi pagi hari dan pulang malam hari tanpa membawa apa-apa, hanya bisa bergosip di sekolah dengan teman-teman perempuannya tapi di rumah mendadak dia tidak punya otak!” ayahku menaikkan nadanya. “Ini gara-gara kamu!” dia menunjuk ibuku. “Kau melahirkan anak perempuan yang sama bodohnya deganmu!”
“Aku juga menyesal melahirkan anak perempuan yang tidak ada apa-apanya seperti dia!” ibuku berkata.
Nafasku tersengal-sengal, air mataku mengalir membasahi pipi dan aku merasa kesabaranku sudah habis. Selama hampir delapan belas tahun aku tidak pernah mendapat kasih sayang dan perlakuan yang baik dari kedua orang tuaku. Aku berbalik badan dan menatap kedua orang tuaku.
Kemudian aku berlari keluar rumah dan memutuskan untuk segera menuju sekolah.
Sekolah adalah tempat paling nyaman untukku, di sekolah aku bisa melakukan apapun yang aku mau, aku bisa tertawa dan bercanda dengan teman-temanku sesuka hatiku, di sekolah aku menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya.
Beberapa jam sudah kulewati di sekolah dan saatnya pulang ke rumah, ke neraka kecil berlantai dua yang tidak ada apa-apanya. Di perjalanan pulang, aku melihat seorang laki-laki memakai seragam sama sepertiku, dia duduk di depan teras rumah orang lain. “Jaemin?” aku bergumam.
Aku berjalan mendekatinya dan benar saja, dia Lee Jaemin, teman satu kelasku.
“Jaemin?” aku memanggilnya ketika berdiri di hadapannya.
Dia mendongak dan tersenyum ke arahku.
Aku tersenyum dan duduk di sebelahnya. “Kau belum pulang?”
Dia menggeleng.
“Kenapa?”
Dia menghela nafas. “Aku sedang tidak ingin pulang.”
“Apa kau ada masalah dengan keluargamu?” Aku tidak dekat dengan Jaemin tapi aku tahu betul tentang dia. Jaemin adalah anak tunggal dan keluarganya termasuk keluarga yang kaya. Entah apa pekerjaan kedua orang tuanya namun yang kutahu mereka adalah keluarga konglomerat. Dan yang kutahu, ayah dan ibu Jaemin sangat dekat dengannya, Jaemin sering mem-post fotonya bersama kedua orang tuanya, entah sedang di rumah atau tengah berlibur.
Jaemin menggeleng. “Semua baik-baik saja.”
Tidak, semua tidak baik-baik saja, Jaemin menyimpan sesuatu dan aku tahu betul.
“Nan gwaenchana (Aku baik-baik saja),” dia berkata seolah membaca pikiranku. Dia menatapku. “Semua baik-baik saja.”
“Jaemin!” suara seorang gadis terdengar dan kami sama-sama menoleh ke depan. Seorang gadis berambut panjang sepunggung, memakai seragam sekolah yang berbeda dengan kami, berdiri tidak jauh dari kami dan melambai tangan ke arah Jaemin. Gadis itu tersenyum pada Jaemin dan ketika aku melirik Jaemin, aku melihat senyuman di bibirnya, sama seperti gadis itu.
“Aku harus pergi,” Jaemin berujar padaku. “Ini pertama kalinya aku berkencan.”
“Kalian pacaran?” aku tersenyum seolah mendapat kabar gembira.
Jaemin mengangguk sambil berdiri. “Yup! Aku pergi dulu, hati-hati di jalan, oke?”
“Oke!” jawabku masih duduk di tempat dan melihat Jaemin menghampiri gadis itu. Melihat cara Jaemin dengan lembut mencium pipi gadis itu kemudian merangkulkan tangannya pada bahu gadis itu.
Aku tertawa sebentar dan menghela nafas. “Kurasa Jaemin tidak akan pernah tahu aku jatuh cinta padanya selama ini,” ujarku.
Kurasa Dewi Fortuna tidak akan pernah berpihak padaku.
Beberapa langkah sudah kulalui dan aku sampai di depan rumahku. Ketika aku hendak membuka pintu, pintu sudah terbuka, dibanting lebih tepatnya dan aku melihat ayahku sudah berdiri di sana, menatapku dengan penuh kebencian lebih tepatnya. Aku hendak masuk namun dia mencegahku.
“Appa, aku ingin tidur, aku mengantuk,” aku berujar.
“Kamu diusir dari rumah ini,” dia berkata dingin dan aku terkejut dibuatnya.
“Apa?” aku bertanya.
“Kau tuli, ya? Kami sudah tidak ingin menampung anak tidak berguna sepertimu di sini, aku sudah cukup menderita tinggal dengan ibumu yang tidak ada apa-apanya dan aku tidak ingin kamu menjadi beban keduaku,” dia berkata dengan satu tarikan nafas sekaligus.
“Lihat apa yang kutemukan,” suara ibuku terdengar.
Kemudian dia muncul dan berdiri di samping ayahku sambil membawa sejumlah uang. “Kau dapat uang sebanyak ini dari mana?”
Kedua mataku terbuka lebar ketika tahu jika mereka menemukan uang yang kutabung selama hampir dua tahun ini. “Kumohon, kembalikan,” aku mencoba mengambilnya namun ayahku mencegahku. “Itu uang tabunganku, aku butuh uang itu.”
“Enak saja, sekarang uang ini punya kami!” ibuku berseru.
Aku mulai terisak mengingat bahwa banyak hal yang ingin kubeli dan kuperbaiki dengan uang itu, dengan uang yang sengaja kusimpan selama hampir dua tahun ini. “Kembalikan, Eomma, kumohon, itu uangku,” aku memohon.
“Ini milikmu,” ayahku berujar sambil melempar tas yang cukup berat ke arahku hingga aku tersungkur di atas aspal.
“Pergi yang jauh dan jangan pernah kembali!” ayahku berseru lalu menutup pintu.
Aku menghela nafas sambil perlahan berdiri. Aku menangis lagi, entah apa salahku kenapa mereka sangatlah membenciku semenjak awal aku kecil. Aku berdiri sambil menangis hebat, sudah sering aku menangis namun kurasa tangisku yang kali ini adalah tangis yang paling keras. Sambil berjalan aku membuka tas dan kulihat beberapa pakaian ada di sini. Mereka benar-benar mengusirku.
Aku mulai berjalan namun entah ke mana. Kurasa aku sudah cukup bersabar dan kurasa aku sudah tidak kuat lagi. Aku pun tidak ingin kembali ke rumah itu, tidak pernah ada kebahagiaan di sana. Tapi aku pun tidak tahu aku harus ke mana sekarang. Aku terus berjalan, membiarkan langkahku membawaku meskipun entah ke mana. Aku masih memakai seragam sekolah dan kuharap tidak ada orang terlebih lagi kemanan yang beranggapan bahwa aku membolos sekolah atau berkeliaran hingga malam hari.
Namun kurasa keberuntungan memang tidak pernah berpihak padaku. Ketika melewati gang, aku melihat dua laki-laki berdiri di sana dan langsung bersiul. Mereka tertawa licik sambil melontarkan godaan dan aku teus berjalan melewati mereka. Jantungku berdegup kencang ketika mereka mulai mengikutiku dari belakang. Oke, ini sama sekali tidak bagus.
Aku mulai menangis dan mulai berlari, berlari tanpa arah. Aku mendengar dengan jelas derap langkah mereka, mereka terus mengejarku, terus menerus berteriak dan memintaku untuk berhenti. Untung saja nilai mata pelajaran olahragaku selalu sempurna dan aku termasuk pelari handal di sekolahku, jadi aku bisa berlari sekencang yang aku bisa dan mereka tertinggal di belakangku
Aku menangis lebih keras, jantungku berdegup semakin cepat ketika aku mendengar mereka semakin mendekat. Astaga, aku tidak ingin sesuatu terjadi padaku sekarang juga! Aku berlari tanpa arah sampai aku menyebrang jalan yang cukup sepi, sampai pada akhirnya aku masuk ke dalam hutan. Aku sama sekali tidak mempermasalahkan jika sekarang di sekelilingku tanaman liar, bekas taman ataupun hutan, aku hanya ingin bersembunyi dan selamat. Maka dari itu aku terus melihat ke depan dan berlari melewati dedaunan lebat, ranting dan semak-semak. Nafasku tersengal-sengal, tanpa arah tapi aku terus berlari, tanpa henti.
Aku terus berlari sampai langkahku membawaku ke dimensi lain.