Hongdae, 6 Maret 2016
Jeon Jungkook. batin Dani dalam hati seraya melihat pria di hadapannya dengan tatapan nanar dan tak percaya.
Untuk apa pria itu datang ke sini? Apakah ia ingin memamerkan kesuksesannya kepadaku? Ya, mungkin ia ingin menegaskan kalau sekarang ini, dirinya – yang sempat kutolak dulu – adalah seorang idola sukses yang memiliki banyak penggemar dan uang. Sedangkan aku – yang sempat menolaknya dulu – hanyalah seseorang yang setiap harinya menghabiskan waktu untuk menggambar wajah orang asing di jalanan dan memungut bayaran yang tidak seberapa dibandingkan dengan harga topi yang dipakainya saat ini. Lanjut Dani, masih dalam hati.
Apa yang ia harapkan dariku sekarang? Berteriak senang dan histeris seperti gadis-gadis yang ada di kelilingnya saat ini? Menangis tersedu-sedu dan mengungkapkan penyesalan terbesarku? Menggambar wajahnya dan bertindak seolah-olah tidak terjadi apa-apa? Oh baiklah, aku hanya akan menggambar wajahnya dan bertindak seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Seolah-olah ia hanyalah satu dari beberapa “pelanggan”-ku saat ini. Seorang asing yang tidak pernah kulihat dan kukenal sebelumnya. Seseorang yang tidak menghabiskan masa kecil dan remaja-nya bersamaku. Seseorang yang tidak pernah menawarkan pundaknya untukku di kala aku sedang sedih. Seseorang…yang tidak pernah mengecup kening-ku ketika aku hendak meninggalkannya seorang diri di Negeri ini.
Dani mulai menggambar wajah Jungkook pada selembar kertas A4 di hadapannya. Matanya menyusuri lekuk wajah sempurna Jungkook sementara jemarinya menuangkan apa yang dilihat oleh matanya.
Dani tersenyum pahit. Tanpa memerhatikan wajahnya sekarang pun ia dapat menggambar wajah Jungkook dengan sempurna di kertasnya. Ia masih ingat bagaimana bentuk mata pria itu. Bagaimana bentuk hidungnya, bentuk bibirnya, dan ekspresi wajahnya. Ia masih ingat semuanya.
Bagaimana mungkin aku bisa melupakan wajah pria yang pertama kali membuat hati-ku berdegup kencang.