Gemrisik suara daun yang bergesekan terdengar samar-samar dari ujung taman. Gadis itu melongok keluar dari dalam semak-semak tersebut. Ia memicingkan matanya, berharap sinar bulan bisa membantunya mencari ‘Hayoung’ di tengah malam yang cukup gelap ini. Tapi sinar itu tidak membantunya sedikitpun, buktinya kucing berbulu coklat itu masih belum ia temukan.
“Hayoung.” Bisik nya pelan, sepelan yang ia bisa. Ia kemudian bertiarap, melihat mungkin ada tanda-tanda keberadaan Hayoung. Namun gadis itu tetap tidak menemukan tanda-tanda keberadaan mahluk itu. Padahal ia hanya meninggalkan Hayoung beberapa saat untuk mengambil kan makanan untuk Hayoung tapi kucing berbulu lebat itu sudah lari entah kemana. Benar-benar kucing yang merepotkan, sama seperti pemiliknya, nona muda Lee Ki Yoon.
“Hayoungie sayang.” Bisik nya lagi, kini lebih menaikkan volume suaranya. Kalau sampai ia tidak menemukan mahluk berbulu itu, bisa-bisa kakinya dicambuk ribuan kali oleh nona mudanya. Itupun jika ia bernasib mujur. Setidaknya hukuman itu lebih baik daripada dipenjara di bawah tanah yang sangat pengap. Mengingatnya saja sudah membuatnya bergidik ngeri. Well, sebenarnya ia belum pernah dihukum jika omelan nonstop nona muda Lee Ki Yoon tidak dihitung.
“Hayoungie, kemarilah sayang.” Bisiknya lagi, masih dengan posisi tiarap. Kalau benar gadis itu tidak menemukannya, matilah ia. Sungguh naas nasibnya, hanya karna seekor kucing saja membuat nyawanya terancam. Itulah resiko yang harus kau terima saat kau ditakdirkan menjadi seorang budak.
“Ah, benar-benar. Dimana kau Hayoung.” Ujar nya dengan kesal sambil menegakkan tubuhnya tanpa melihat diatas ada sebuah ranting pohon yang sudah menunggu untuk menghantam punggungnya.
“Ah, appo.” Jeritnya sambil memegangi punggungnya dengan hati dongkol.
“Kau bisa membangunkan seisi rumah dengan jeritanmu itu.” Ujar sebuah suara didepannya. Ia mendongak dan mendepati Lee Ki Kwang, tuan mudanya, berdiri di depannya. Spontan ia berlutut lalu menundukkan kepalanya dalam, tidak berani melihat kearah Ki Kwang sedikitpun.
“Kalau menunduk seperti itu, mana bisa kau melihat apa yang ku bawa?” Ujarnya lagi. Kemudian seolah menjawab pertanyaan yang kini melintasi benak gadis itu, Hayoung mengeong dengan keras. Ia terperanjat kaget, serta merta wajah nya langsung sumringah melihat Hayoung berada di dalam dekapan Lee Ki Kwang, tanpa cacat sedikitpun.
“Ya tuhan, Hayoung. Aku sudah mencarimu di setiap sudut rumah ini.” Katanya dengan senang. Ia langsung mengambil Hayoung dari dekapan Ki Kwang. Hayoung yang sebenarnya dasarnya penurut, menurut saja saat gadis itu memindahkannya dari dekapan Ki Kwang ke dalam dekapannya. Ki Kwang tertawa pelan melihat wajah budak didepannya yang langsung berubah sumringah hanya karna melihat seekor kucing.
“Te-terimakasih, tuan muda.” Ia membungkuk 90 derajat berkali-kali hingga tiba-tiba Ki Kwang memegang pundaknya. Gadis itu terlalu terkejut sekaligus gugup hingga tanpa sadar menepis tangan Ki Kwang dan mundur beberapa langkah. Sedetik kemudian ia merutuki kelakuan tidak sopannya tadi.
“Ah, maaf.” Ujar Ki Kwang sambil mengusap tengkuknya, canggung.
Gadis itu terperangah sebentar kemudian berujar pelan “Sa-saya yang seharusnya minta maaf karna berkelakuan tidak sopan kepada tuan.” Kemudian ia membungkuk lagi.
“Berhenti meminta maaf dan membungkuk. Sudahlah tidak apa-apa. Lagipula, ini sudah malam. Lebih baik kau masuk, aku tahu adikku suka menyusahkanmu bahkan saat pagipun. Jadi kurasa kau membutuhkan banyak energi untuk besok.” Ujar Ki Kwang sambil tersenyum lebar, menampakkan mata lebarnya yang menyipit. Gadis itu mendongak dan ia bisa merasakan jantungnya berdegup tak normal saat melihat wajah Ki Kwang yang rupawan.
“Baik, tuan.” Ia membungkuk lagi, untuk terakhirnya kalinya lalu berbalik untuk kembali ke kamarnya. Namun langkah nya terhenti kemudian dengan ragu berujar pelan “Se-selamat malam, tuan muda.”
Entah kenapa ia bisa merasakan Ki Kwang kembali tersenyum ke arahnya. “Selamat malam juga, ung.. siapa nama mu?”
Sebetulnya ia ragu untuk menjawab, tapi mulut nya seakan bergerak sendiri, memberontak keinginannya yang ingin cepat-cepat kabur dari taman belakang istana.
“Yoo Ra, tuan. Han Yoo Ra.”
Seperti sebuah benang sari yang terbawa angin
Lalu terjatuh tanpa sengaja di atas sebuah putik
Mereka tanpa sengaja menyatu
Membentuk sebuah ikatan yang tidak terpisahkan
*
Sebentar lagi musim gugur usai kemudian berganti dengan musim dingin. Meski begitu Han Yoo Ra tidak memiliki sebuah baju hangat barang sebuah pun. Ia hampir menjerit kegirangan saat melihat tumpukan gulungan wol yang diberikan Lee Ki Yoon pagi ini. Ternyata nona muda nya itu bisa bersikap baik. Ia jadi tidak menyesal menjadi salah satu dari beberapa budak nona Lee yang terkenal sangat manja tersebut.
Dan disinilah ia sekarang, berdiam di sudut kamar dengan pandangan fokus kearah tangan kanannya yang memegang jarum yang terhubung dengan gulungan wol. Ngomong-ngomong, ia harus berterimakasih lagi pada nona nya itu sekali lagi karna memberinya waktu libur 1 hari. Yoo Ra berencana memakai 1 hari nya tersebut dengan membuat beberapa sarung tangan dan kaus kaki untuk menutupi bagian tubuhnya yang kerap menggigil saat musim dingin.
“Han Yoo Ra.” Sebuah suara mengaget kan nya. Tanpa sengaja ia menusuk jarinya sendiri dengan jarum. Ia menjerit tertahan saat melihat kucuran darah yang mengalir dari jarinya. Ki Kwang, orang yang memanggil nya dari ambang pintu tadi langsung tergopoh menghampirinya. Ia melihat wajah pucat Yoo Ra dengan khawatir dan sedikit ketakutan melihat wajah gadis itu yang benar-benar putih pucat.
“Yo- Yoo Ra-ssi? Ah, apa yang harus ku lakukan.” Ujar Ki Kwang pada dirinya sendiri dengan penuh kebingungan. Pandangannya kemudian jatuh kearah kotak kecil tanpa tutup diatas meja, di dalam nya terdapat beberapa obat-obatan.
Dengan tergopoh-gopoh ia mengambil beberapa obat-obatan yang ia rasa bisa mengobati luka Yoo Ra. Kemudian dengan telaten ia mengobatinya, tak sepenuhnya memperhatikan raut wajah terkejut gadis itu.
“Tu-tuan. Tidak usah.” Ujar nya setelah mengatasi keterkagetannya. Ia berusaha menarik tangannya dari genggaman Ki Kwang. Namun Ki Kwang terus menahan tangannya tetap berada di tempatnya dan membuat usaha gadis itu sia-sia.
“Sssstt. Diamlah. Aku yang membuat mu begini, jadi aku juga harus bertanggung jawab.”
“Tapi, tuan.”
“Sst.. Sebentar lagi selesai.” Ia menarik tangan Yoo Ra lebih mendekat ke arahnya. Gadis itu membatu, tidak bisa berbuat apa-apa selain melihat tangan Ki Kwang yang mengobati tangannya dengan cekatan. Sama sekali tidak berani menatap wajah tuan muda nya itu.
“Kenapa kau bisa sepucat itu, tadi? Aku hampir mati ketakutan melihat wajahmu yang benar-benar putih.” Ujar Ki Kwang, memecah keheningan.
Gadis itu tersenyum kecil lalu menjawab “Aku takut dengan darah. Jika aku melihatnya, wajahku bisa memucat.”
“Oh, begitu? Nah, selesai.” Ujar Ki Kwang, tersenyum puas melihat hasil ‘karya’ nya. Yoo Ra terkekeh kecil, senang dengan perhatian tuan muda nya itu meski merasa sedikit kecewa karna setelah itu Ki Kwang lebih memilih duduk di ujung ranjangnya ketimbang disebelah Yoo Ra. Tapi apa yang bisa ia harapkan? Ia hanya seorang budak.
“Tuan, apa ada keperluan?” Tanya nya, setelah berhasil menangkan kegugupannya.
“Ah, oh iya.” Ki Kwang menggaruk kepalanya, kembali teringat tentang niat nya memanggil Yoo Ra tadi. “Aku bingung tidak melihatmu seharian ini, lalu aku bertanya pada Ki Yoon. Katanya ia memberimu libur sehari. Kupikir perjanjian kita tentang kau yang membuat kan ku coklat hangat masih berlaku, Tapi ini sudah pukul 5 dan aku belum melihat cairan berwarna coklat itu.”
Ia menepuk dahi nya karna penyakit pikunnya yang kelewat parah itu. Sudah beberapa minggu ini Ki Kwang memang kerap kali meminta nya membuat kan coklat hangat karna udara dingin musim gugur. Awalnya Yoo Ra sedikit kesal karna otomatis pekerjaannya bertambah lagipula Ki Kwang bisa memintanya pada budaknya sendiri. Namun lama-lama, ia menikmati pekerjaannya itu karna biasanya setelah menaruh coklat hangat di kamar Ki Kwang, tuan mudanya itu mengajaknya mengobrol.
“Mi-mianheyo, tuan muda. Aku akan membuatkannya segera.” Namun belum sempat ia berdiri untuk menuju dapur, tangannya sudah ditahan Ki Kwang.
“Tidak usah. Ku lihat kau sibuk dengan wol mu.” Ki Kwang tersenyum lebar lagi, menampakkan mata lebar nya yang sedikit menyipit. Yoo Ra bisa merasakan jantungnya kembali berdetak kelewat normal. Sambil memegangi dadanya, gadis itu bertanya-tanya, apa ia memiliki penyakit jantung?
“Tapi aku tetap menghukummu.” Tambah Ki Kwang dengan nada dingin, berbanding terbalik dengan senyumnya beberapa saat tadi. Namun meski begitu jantung Yoo Ra tetap tidak mau berhenti. Bukan rasa takut, tapi seperti rasa senang yang kelewat lebih.
“Kau besok harus menyediakan dua cangkir coklat panas, Yoo Ra-ssi.” Tambah Ki Kwang, ia kemudian tertawa terbahak melihat bagaimana wajah Yoo Ra yang tadi tiba-tiba memucat. Tuan muda itu kemudian berbalik, berniat untuk meninggalkan kamar Yoo Ra sebelum beberapa budak kembali dan mengira ia telah melakukan hal yang tidak-tidak dikamar gadis itu.
Namun kemudian Ki Kwang berbalik, menatap Yoo Ra dengan tajam dan berkata dengan nada serius “Aku tidak mengijinkan kau melanjutkan merajut jika kau tidak berhati-hati.” Kemudian menambahkan “Ini perintah, Han Yoo Ra.”
Meski dengan nada serius, Ki Kwang melanjutkan langkahnya dengan tawa lebar. Meninggalkan seorang gadis yang masih termenung menatap pintu yang sudah tertutup sambil memegangi dadanya yang sedari tadi diketuk-ketuk oleh dentuman jantungnya yang kelewat normal.
“Ya tuhan, apa aku menyukai tuan muda?”
*
“Aku melihatnya.” Ujar gadis itu dingin saat melihat Ki Kwang memasuki kamarnya. Tangannya bersidekap di depan dada, terlihat kesal karna kakaknya itu sama sekali tidak mendengarkan nya. Ki Kwang hanya menghela nafas berat saat melihat keberadaan adiknya itu di dalam kamar nya.
“Nona muda, kau tahu kan, kalau masuk ke kamar laki-laki tanpa permsi itu tidak baik.” Ujarnya degan lelah pada Ki Yoon, adik semata wayangnya.
“Lalu bagaimana dengan menemui seorang budak di kamar budak itu sendiri?” Ujarnya menekankan kata budak. Ki Kwang yang sedikit terganggu dengan nada biacara adiknya, memilih untuk tidak meladeni emosinya. Ia lebih memilih meringkuk diatas kasur dengan selimut sampai menutupi telinga.
“Oppa.” Ujarnya Ki Yoon dengan kesal sambil mencoba menarik selimut yang menyelimuti Ki Kwang.
“Aku sedang tidak ingin berdebat, Ki Yoon.” Jawab Ki Kwang dengan dingin.
“Aku hanya tidak ingin oppa nanti di hukum appa.” Ia melirik kakaknya yang tidak bergerak sedikitpun dari tempatnya meringkuk. “Baiklah. Aku akan beribicara. Terserah oppa mau mendengarku atau tidak.” Ujarnya seolah itu adalah keputusan final.
Ia kemudian menarik nafas dan mulai bercerita “Oppa tahu Kim In Young? Putri dari kerajaan sebelah. Ternyata ia menyukaimu. Aku mendengar Appa berbicara dengan tuan Kim kemarin. Aku juga sebenarnya kesal karna gadis agresif itu memintamu menjadi suaminya. Memang siapa dia?” Omelnya. Ia melirik lagi kea rah kakaknya yang masih bergeming.
“In Young eunni cantik hanya saja sepertinya ia tidak benar-benar mencintaimu, ia hanya suka wajah mu yang tempan. Ah ya, tentu saja, adiknya kan juga cantik.” Pujinya pada dirinya sendiri. Ia menyenggol tangan kakaknya, memastikan kalau kakaknya itu sudah benar-benar tidur atau belum. Karna tidak bergerak sama sekali, maka gadis itu mengira kakaknya sudah tidur.
Ki Yoon kemudian menggosok lengannya, hal yang dilakukannya saat ia gugup. “Aku sebenarnya malu mengakui ini. Tapi aku setuju oppa dengan Han Yoo Ra itu. Gadis itu baik, lagipula aku sudah mengenalnya sejak aku masih kecil. Yoo Ra selalu ada di sampingku, melayani ku dengan telaten. Meski aku tahu ia pasti menyumpahi ku saat aku tidak ada. Tapi gadis itu baik, ia hanya kesal karna memang kadang-kadang aku keterlaluan.”
Ki Yoon menarik nafas lagi, seolah kalimat tadi adalah hal terberat yang pernah ia lakukan. “Yang terpenting, kau menyukai gadis itu, kan? Tapi appa tidak akan menyukainya, oppa. Aku takut ia menghukummu.” Ki Yoon bisa membayangkan bagaimana wajah marah ayahnya. Appa nya bisa melakukan apapun pada siapapun jika ia sedang marah. Ia tidak memandang bulu sekalipun itu anaknya sendiri.
Ia kemudian menangis sesenggukan membayangkan kakaknya yang mungkin saja bisa dihukum mati jika menolak perjodohan itu. Ia hanya punya kakaknya selain ibu nya di dunia ini. Hanya mereka yang bisa menyayangi Ki Yoon dengan seluruh sifat menjengkelkannya. Mungkin Han Yoo Ra juga tapi Ki Yoon terlalu takut untuk berfikir seperti itu karna jika gadis itu tidak, maka ia akan sangat kecewa karna selama ini Ki Yoon selalu menganggap Yoo Ra kakak perempuannya meski Ki Yoon suka berbuat semena-mena terhadapnya.
Tanpa berkata apa-apa, Ki Yoon meninggalkan kamar Ki Kwang dengan berlinang air mata.
Sementara itu Ki Kwang terus bergelut dengan pikirannya. Ia sebenarnya tidak tidur, hanya pura-pura tidur. Pangeran kerajaan Gayong itu sebenarnya mendengar apa yang adiknya bicarakan, seluruhnya. Ia merutuki sifat ayahnya yang suka seenaknya sendiri dan haus kekuasaan. Seluruh hidupnya selalu diatur oleh ayahnya. Dengan siapa ia berteman, dimana ia sekolah, ilmu apa yang harus dipelajarinya, hingga bagaimana sikap yang harus ia lakukan di depan orang lain.
Ia sebenarnya ingin memberontak kali ini jika perjodohan itu memang benar-benar sudah direncanakan. Tapi mengingat Yoo Ra mungkin bisa ikut terserat dan dijatuhi hukuman bersamanya, ia merenungkan kembali keputusannya. Mungkin kali ini ia harus menuruti sifat egois ayahnya lagi.
*
Ia duduk bersila di taman samping rumah. Istana mereka memang besar, didalamnya terdapat beberapa rumah yang punya fungsi tersendiri. Para penghuni istana juga tinggal dirumah yang berbeda-beda. Hanya saja Lee Ki Yoon lebih memilih tinggal bersama dirumah kakaknya, karna gadis itu tidak suka sendirian.
Anak bungsu raja Lee Ki Young itu kini sedang menikmati aktivitas para pekerja istana dengan ditemani segelas minuman segar dan Han Yoo Ra, budak terdekatnya.
“Nona, apakah perlu sesuatu lagi?” Tanya Yoo Ra.
Ki Yoon mengangguk kemudian tersenyum kecil “Eunni temani aku disini.” Ujarnya dengan riang. Yoo Ra mengangkat alisnya lagi, entah kenapa akhir-akhir ini nona muda nya itu memperlakukannya menjadi jauh jauh labih baik. Meski ragu, ia menuruti perintah Ki Yoon, dan duduk disebelah gadis itu.
“Eunni..”
“No-nona, jangan memanggil saya begitu.” Potong Yoo Ra, merasa tidak enak. Ia takut orang-orang mendengarnya dan mengira Yoo Ra mendapat perlakuan khusus dari Ki Yoon. Padahal peraturannya, budak tidak boleh menerima perlakuan khusus apapun dalam bentuk apapun dan dengan alasan apapun dari keturunan langsung raja.
“Kenapa? Bukankah eunni lebih tua dua tahun dariku?”
“Ah, nde. Tapi saya ..”
“Ini perintah, Yoo Ra eunni.” Potong gadis itu dengan nada memerintah. Kalau Ki Yoon sudah bilang begitu, tidak ada yang bisa diperbuat Yoo Ra selain menuruti keinginan nona muda nya itu.
“Oh, oppa. Kemari!” Teriak gadis itu ketika melihat Ki Kwang baru saja ingin membuka pintu rumah.
Ki Yoon kemudian melirik kea rah Yoo Ra penuh arti. Sementara itu Yoo Ra hanya bisa menunduk dalam ketika Ki Kwang berjalan mendekat kearah mereka. Sudah beberapa hari ini gadis itu menghindari Ki Kwang, karna memang tampaknya tuan muda nya itu juga tidak ingin diganggu olehnya. Berbalik dengan Ki Yoon, sikap Ki Kwang berubah menjadi dingin dan ketus padanya, bahkan ia berkata coklat hangatnya pahit sehingga ia tidak mau lagi gadis itu mengantarkan coklat hangat ke kamarnya lagi.
“Wae?” Tanya Ki Kwang dengan ketus.
“Oppa temani aku disini.” Ujar Ki Yoon manja. Spontan Yoo Ra menoleh kearah Ki Yoon yang kini sedang tersenyum manis ke arahnya. Sementara itu Ki Kwang melirik kearah Yoo Ra secara tak kentara.
“Ku lihat kau sudah ada teman.” Jawab Ki Kwang. Yoo Ra kembali menunduk dalam, menahan debaran jantungnya yang tiba-tiba saja berdetak tak karuan.
“Ani. Oppa-“
“Sudahlah, kalau kau mau berusaha mendekatkanku dengannya, maka jawabannya.” Ki Kwang menelan ludahnya dan menarik nafas panjang, mengusir rasa sesaknya “Tidak.” Sahut nya tajam, kemudian ia berbalik dan berjalan menjauhi mereka.
Sementara itu gadis yang kini duduk disebelah Ki Yoon mati-matian menahan air matanya yang jatuh meski pada akhirnya usahanya itu sia-sia. Butiran bening itu akhirnya jatuh meski tidak dikehendaki, menyebabkan bunyi berdenting karna beradu dengan nampan aluminium yang sedari tadi digenggamnya.
Sontak Ki Yoon yang masih terperangah dengan jawaban kakaknya itu langsung menoleh kearah Yoo Ra yang kini bahkan sudah terisak. Yoo Ra menutupi mukanya dengan tangannya kemudian berlalu pergi meninggalkan Ki Yoon yang kini tengah menatap kepergiannya dengan penuh rasa bersalah.
“Mianheyo, eunni. Harus nya aku tidak memberi tahu oppa.”
*
Perdebatan seru terjadi di ruang tamu rumah utama istana. Jeritan tertahan dan bunyi barang pecah belah kerap kali terdengar di dalam sana. Ki Yoon berulang kali mengusap air mata nya yang tidak mau berhenti mengalir sementara itu ibunya, Lee Hye Ra, terus berusaha menenangkan emosi suami nya itu. Namun nampaknya emosi Lee Ki Young terlalu tinggi meski ia sudah melampiaskannya pada Ki Kwang dengan mencambuk putranya itu 500 kali.
“Apaa, geumanheyo!” Jerit Ki Yoon, tak tahan melihat kakaknya yang terus mengatupkan matanya, menahan rasa sakit yang menjaliri betis nya. Namun appa nya itu tidak menghentikan aktifitasnya meski kaki Ki Kwang sudah mulai berdarah. Raut wajahnya pun menyiratkan penuh rasa sakit meski ia daritadi tidak mengeluh kesakitan.
“Kau anak brengsek! Beraninya menolak perjodohan? Mau taruh mana muka appa.” Katanya tanpa menghentikan hukuman cambuknya pada Ki Kwang, tidak menghiraukan Ki Yoon yang makin histeris melihat darah yang makin mengucur deras dari kaki kakaknya.
“Hentikan, ia sudah menerima lebih dari 500 cambukan.” Kata Lee Hye Ra, berusaha melepaskan genggaman tangan suaminya dari tali cambukan yang dipegangnya. Dengan kasar Ki Young menampik tangan Hye Ra dan melanjutkan hukuman cambuk Ki Kwang. Padahal harusnya jika seorang pangeran melakukan kesalahan berat, hanya menerima 500 cambukan atau 1000 cambukan ringan tapi tampaknya cambukan Ki Kwang sudah memasuki angka 700 ditambah lagi luka-luka fisik yang disebabkan bogem mentah Ki Young tadi.
“Kau harusnya ku hukum mati, anak brengsek! Kerajaan bisa diserang, kau bodoh!” Teriak ayahnya, kemudian ia melemparkan tali cambuk itu ke lantai dan berlalu meninggalkan ruang tamu sambil melempar apapun barang pecah beling yang dilihatnya. Mereka semua hancur berkeping di lantai, membuat suasana ruang tamu makin keruh.
“Oppa!”
“Ki Kwang!”
Teriak Ki Yoon dan Hye Ra bersamaan ketika tubuh Ki Kwang limbung di lantai. Mereka menangis makin histeris ketika melihat darah yang dimuntahkan Ki Kwang, mungkin akibat dari pukulan yang dilayangkan Ki Young di perutnya tadi. Ki Kwang mendudukkan dirinya di lantai, merangkul kedua orang yang paling di sayanginya, berusaha menenangkan mereka.
“Gwenchana, eomma, dongsaeng.” Katanya sambil memaksakan senyum kesil, meski bibirnya sakit karna robek.
Sepasang sepatu yang tak seukuran
Tak bisa di pakai meski dipaksa
Sepasang manusia tak bisa dipaksa bersama
Karna hati tak bisa dipaksa
*
Seperti yang diperkirakan Ki Young, serangan mendadak datang dari arah timur perbatasan kerajaan Gayoung dengan Dongshin. Kerajaan Dongshin menyerang pos penjagaan kerajaan Gayoung melalui udara sementara itu mereka menerobos masuk kerajaan dengan jalur darat. Kerajaan Gayoung yang tidak siap dengan serangan musuh dengan mudahnya di buat mundur. Serangan demi serangan terus di lancarkan kerajaan Dongshin hingga serangan mereka sampai ke Istana kerajaan Gayoung.
Para penghuni istana kalang kabut dengan keadaan luar istana yang ricuh. Bunyi pedang yang beradu dan teriakan minta tolong mewarnai indra pendengaran mereka. Tak ada jalan keluar lagi. Seluruh istana sudah dikepung. Mereka yang ingin melarikan diri lewat pintu gerbang pada akhirnya terkena sabetan pedang atau tertusuk panah yang dilancarkan musuh secara bombardir.
Sementara itu di teras samping rumah utama, Ki Yoon termenung memandangi para pekerja yang sibuk menyelamatkan dirinya masing-masing. Mereka bahkan lupa dengan para penghuni rumah utama yang seharusnya mereka selamatkan terlebih dahulu. Tapi Ki Yoon tidak peduli. Ia sudah tahu mereka pasti tidak ada yang tulus mengabdikan diri. Tidak salah memang, karna keluarga nya memang suka semena-mena terhadap para pekerja.
Lagipula, ia juga tidak peduli jika ini adalah hari akhirnya. Ibunya baru saja menghembuskan nafas terakhir lantaran serangan jantung setelah mengetahui bahwa raja Kim yang murka dengan perlakuan Ki Kwang yang menurutnya lancang, memutuskan untuk menyerang kerajaan Gayoung yang selama ini selalu berhubungan baik dengan kerajaannya.
Appa nya, sudah hilang entah kemana. Sejak semalam Ki Young tidak terlihat. Mungkin melarikan diri dan menyelamatkan dirinya sendiri. Melupakan rakyatnya dan anak serta istrinya yang terancam terbunuh. Tipikal raja tidak bertanggung jawab dan egois. Tapi sekalilagi, Ki Yoon tidak perduli. Ia lebih baik mati sekarang daripada menjalani kehidupan tanpa ibunya, ditambah lagi kakaknya, Ki Kwang kini juga tengah mengomando para pasukan untuk menyerang balik musuh dan itu berarti kemungkinan besar Ki Kwang juga akan terbunuh. Lantas apa yang menjadi alasannya hidup jika tidak adalagi orang yang menyayanginya yang tersisa.
“Nona!” Teriak sebuah suara dari belakang. Ia sedikit terkejut, mendapati masih ada orang lain yang mengingat keberadaannya.
“Ya tuhan! Kenapa masih ada disini? Nona harus menyelamatkan diri.” Ujarnya dengan suara panik. Ki Yoon memejamkan matanya lalu menggeleng lemah. Seakan mengerti ada yang mengganggu pikiran nona muda nya itu, Yoo Ra mendekati Ki Yoon dan duduk bersila disebelahnya.
“Nona, kita benar-benar harus melarikan diri.” Bujuknya lagi.
“Kau saja. Aku disini.” Jawabnya.
“Saya tidak bisa meninggalkan nona disini.” Sanggahnya, sedikit menaikkan intonasi suaranya.
Ki Yoon menoleh dan memandang Yoo Ra dengan tajam “Kenapa tidak?” Tanyanya, sedikit berharap Yoo Ra akan berkata bahwa ia peduli terhadapnya.
“Tentu saja itu sudah menjadi tugas saya!” Jawab Yoo Ra. Ki Yoon kecewa dengan jawaban budaknya itu. Kalau ia bukan nona mudanya, apa Yoo Ra masih tetap ingin menyelamatkan Ki Yoon?
“Kau. Pergi.” Ujarnya, kini dengan nada memerintah. Yoo Ra hanya memandang sekilas Ki Yoon kemudian pergi meninggalkan nya. Ki Yoon sedikit terperangah, tapi lagi-lagi ia meyakin kan dirinya bahwa ia tidak peduli.
Lantas kalau mereka tidak peduli
Kenapa aku harus?
*
Aksi balas kerajaan Gayoung mampu membuat kerajaan Dongshin mundur namun tidak berapa lama kemudian, kerajaan Dongshin menyerang kembali dengan membabi buta, hingga berhasil menerobos pagar utama istana. Mereka membunuh siapa saja rakyat kerajaan Gayoung yang bertemu wajah dengan mereka. Sementara itu Ki Yoon masih duduk bersila di teras, terlihat tidak perduli meski ada dua orang pembawa pedang dari kerajaan Dongshin yang memandangnya dengan wajah senyum licik. Ia tetap bergeming meski mereka makin berjalan mendekat dan bersiap untuk mengarahkan pedangnya.
Ki Yoon menutup matanya, sudah siap untuk bertemu ibunya disurga sana. Namun setelah menunggu beberapa lama, pedang panjang itu tak kunjung dirasakan indra perabaannya. Malah ia mendengar suara pedang yang beradu, karna terlalu malas untuk berfikir, ia membuka matanya dan mendapati dua orang disana sedang bertarung melawan seorang tentara kerajaan Dongshin.
Yoo Ra dan Ki Kwang.
Tangan Yoo Ra yang memegang pedang berlumuran dengan darah, sementara Ki Kwang sedikit tertatih saat melawan mereka. Kaki Ki Kwang memang belum sepenuhnya sembuh, tapi melihat adiknya tadi hendak di tebas kepalanya, rasa sakitnya seakan hilang digantikan rasa khawatir. Tanpa berfikir panjang, ia menusuk tentara tersebut. Temannya terbelalak kaget saat melihat Ki Kwang dengan sebuah pedang yang menancap di dalam tubuh partnernya. Ia kemudian mengambil pedangnya dan bersiap untuk menusukkan pedangnya sebelum tiba-tiba Yoo Ra menusuk lengan kanan tentara tersebut.
Tiba-tiba dari belakang Yoo Ra muncul seorang lagi, dengan gesit ia menghindar, sayangnya ia kurang cepat sehingga pedang menggores lengan kanannya dan mengakibatkan darah segar mengucur deras. Sontak wajah Yoo Ra memucat, ia sudah menahan dirinya untuk tidak pingsan saat melihat darah dari tadi tapi melihat darahnya sendiri, membuat tubuhnya gemetar. Bayangan tentang orangtuanya yang mati karna pertarungan berkelebat di benaknya. Ia memang takut darah karna hal itu, semenjak itu ia menjadi trauma karna darah selalu mengingatkannya pada kematian.
Namun dengan segenap kesadaran yang tersisa ia menusuk orang yang tadi menggores lengannya tepat di jantungnya. Setelah itu ia limbung ke tanah dengan wajah memutih. Ki Yoon yang sadar dari keterperangahannya segera menghampiri Yoo Ra dan berlutut disampingnya. Ia menggenggam tangan Yoo Ra dengan erat, seakan memberi kekuatan padanya.
“Eunni, kau harus bangun.” Teriaknya dengan histeris. Air mata tidak mau berhenti turun dari matanya. Tubuh Yoo Ra kini mulai menggigil. Ia sudah berusaha sekuat tenaga melawan rasa takut dan kelebatan memori masa lalunya, tapi mereka terlalu kuat merasuki kesadaran Yoo Ra. Bila ini akhirnya, biarlah semua menjadi seperti ini. Mati di medan perang bukan pilihan yang buruk. Belum sempat ia ingin menutup matanya, pandangannya menangkap seorang tentara sedang membawa panah sedang bersiap-siap untuk melesakkan panahnya ke arahnya. Kea rah Ki Yoon.
Yah, mungkin ini memang akhir nya, pikir Yoo Ra
Dengan sisa tenaganya, Yoo Ra mendorong tubuh Ki Yoon, hingga gadis itu terlempar. Namun bukan panah yang menyambut tubuhnya melainkan sebuah dekapan hangat Lee Ki Kwang yang sengaja membuat tubuhnya sendiri menjadi benteng agar tubuh gadis yang sangat dicintai nya itu tidak terluka lagi.
Yoo Ra mengedipkan matanya berkali-kali, seolah tidak percaya dengan wajah Ki Kwang yang kini berjarak beberapa sentimeter. Ia kemudian tersenyum kecil melihat Ki Kwang yang sedang memandang nya balik dengan senyum simpul.
“Lari…” Desis Ki Kwang, melepaskan pelukannya dan membaringkan tubuhnya di samping Yoo Ra, menghadapkan tubuhnya kea rah gadis itu.
Yoo Ra menggeleng lemah lalu tersenyum lagi. Ia kemudian melongok ke belakang tubuh Ki Kwang. Sudah tidak ada Ki Yoon. Seperti yang diharapkannya, nona mudanya itu akhirnya bersedia lari dari maut yang mengejar. Kalau ia harus mengganti nyawanya dengan Ki Yoon, tidak masalah. Nona nya itu sudah terlalu banyak merasakan penderitaan batin. Ia ingin Ki Yoon suatu saat bisa merasakan rasa bahagia yang sesungguhnya. Bukan bahagia karna harta dan berharap nona nya bisa mengerti makna dari hidup.
“Tuan.. kenapa membentengiku?” Ujarnya dengan parau, ia tambah memucat melihat dari dari punggung Ki Kwang. Yoo Ra kemudian memeluk Ki Kwang dan membuat pemuda itu tertegun sejenak.
Ki Kwang memejamkan matanya saat Yoo Ra menarik panah yang menancap ditubuhnya. Perasaan lega langsung menjalarinya ketika benda yang terbuat dari besi itu tidak terasa lagi di dalam tubuhnya. Ia kemudian menangkap panah yang kini sedang dipandangi Yoo Ra tersebut, lalu melemparnya ke sembarang tempat.
“Lari.. Yoo Ra.” Desisnya, mengabaikan pertanyaan Yoo Ra tadi.
Yoo Ra menggeleng kemudian memejamkan matanya dan mengambil nafas panjang, merasakan bau anyir darah dan aroma tubuh Ki Kwang yang menjadi satu. Lengannya tiba-tiba terasa perih dan reflek ia mengangkatnya dari samping tubuhnya. Ki Kwang yang melihat darah masih merembes disana, dengan gemetar merobek bajunya sendiri kemudian mengikat lengan Yoo Ra agar darah gadis itu mau berhenti mengalir.
“Lari..” Desis nya lagi, kini dengan sedikit memaksa.
“Tuan.. apa yang terjadi jika matahari tanpa bumi?” Ujarnya tiba-tiba, membungkam Ki Kwang selama beberapa saat. Gadis itu kemudian tersenyum kecil lalu mengusap pipi Ki Kwang dengan lembut. Ki Kwang menangkap tangan gadis itu yang sudah sedingin es.
“Panahnya memang tidak sampai menembus kejantung. Tapi.. sempat merobek selaputnya. Itu.. sudah bisa membuat jantung tersebut bocor secara perlahan.” Kini matanya mulai basah dengan air mata. Ki Kwang mengeratkan pegangannya pada tangan Yoo Ra tapi gadis itu tidak berhenti menangis. Sementara itu Ki Kwang bingung harus menjawab apa, karna faktanya memang ia merasa kerja jantungnya mulai melambat.
“Seperti yang saya bilang. Saya.. tanpa tuan. Seperti bumi tanpa matahari. Bumi juga akan hilang jika matahari itu pergi.” Ia tersenyum lagi lalu menarik nafas panjang, merasakan aroma tubuh Ki Kwang yang sedikit anyir karna bercampur aroma darah. Tapi aroma yang mengadiksinya itu akan dikenangnya bahkan jika matanya sudah tertutup.
“Saya mencintai tuan. Sangat mencintai.” Setelah mengatakan itu, mata Han Yoo Ra tertutup.
“Yoo- Yoo Ra.”
Ki Kwang merasakan tangannya gemetar saat menyentuh wajah Han Yoo Ra yang sudah pucat pasi.
There are so many things i couldn’t say
You have never heard them before
Tangannya menelusuri wajah gadis itu, dari dahi nya yang sering di tepuknya karna lupa akan sesuatu. Kelopak matanya yang menyimpan sepasang mata bening yang kerap kali meneteskan air mata kala gadis itu melihat sesuatu yang menurutnya menyedihkan. Hidungnya yang suka berkedut lucu saat gadis itu kesal. Hingga pipinya yang suka merona kemerahan ketika Ki Kwang berada didekatnya.
Mengamatinya dari jauh memang sudah menjadi kebiasaan Ki Kwang. Kebiasaan yang baik, yang entah kenapa membuat hatinya tenang dan berdebar pada saat yang bersamaan.
I’m not someone
Who just loves anyone I see
Ki Kwang tidak pernah mengira akan jatuh cinta padanya. Gadis yang pertama kali ditemuinya di taman belakang. Ia hampir mengira melihat seorang dewi saat itu karna wajah gadis itu disinari cahaya rembulan yang seolah hanya menyorotnya.
Setelah malam itu, seberapapun ia mencoba untuk mengalihkan pandangannya dari gadis itu, ia selalu gagal dan berakhir dengan memandanginya secara diam-diam.
Because among the many people in this world
I could only see you
Ki Kwang memeriksa urat nadi gadis itu sekali lagi , memastikan bahwa gadis itu hanya berakting dan tidak benar-benar pergi dari dunia. Tapi nadinya tidak terasa, dan tubuhnya makin mendingin. Ki Kwang menangis tanpa suara. Rasa sakit karna melihat Han Yoo Ra pergi di depan matanya mengalahkan rasa sakit yang sedari tadi menjalarinya dan melupakan fakta bahwa jantungnya berdetak semakin lemah.
Though someday your name might become strange
My heart will remember all the memories
Even if a painful separation comes between us
Let’s not think about that today
Ia kemudian menggam tangan Yoo Ra
“Han Yoo Ra, aku juga mencintaimu, percayalah.” Ujarnya lirih meski tahu, Yoo Ra tidak bisa mendengarnya.
Because among the many people in this world
I could only see you
Ki Kwang akhirnya menutup mata nya dengan masih menggenggam tangan Yoo Ra dengan erat.
I am standing here as I only see you
After this love, I don’t really know what will happen
Closer - Taeyeon
*
Yoseob berlari kecil, mengitari taman yang konon dulu adalah taman belakang istana Gayoung yang menurut buku sejarah, kalah setelah diserang kerajaan Dongshin.
“Hyung!” Teriaknya, membuat beberapa wisatawan menoleh ke arahnya dengan pandangan bingung. Doo Joon yang berdiri dibelakangnya, menjitak kepala Yoseob karna ia sudah menyebabkan keributan.
“Bodoh, kalau orang-orang tahu identitas asli kita bagaimana, eoh?” Bisiknya tepat di samping telinga Yoseob. Yoseob mengusap kepalanya tadi dan merenggut kesal dan ketakutan pada saat yang bersamaan setelah mendengar nada penuh amarah dari Doo Joon.
“Anak itu kemana? Sudah kubilang aku tidak mengijinkannya pergi sendirian. Bagaimana kalau dia diculik? Dia itu kan bodoh.” Gerutu Junhyung yang berdiri disamping Doo Joon. Hyunseung berjalan kea rah Yoseob dan menempatkan dirinya disamping Doo Joon dan Yoseob, berusaha membuat celah dari mereka agar tidak terjadi perdebatan mulut.
“Ah, itu dia! Bukankah itu Ki Kwang?” Tunjuk DongWoon yang kemudian disambut jitakan dari Doo Joon.
“Sudah kubilang kan, jangan berbicara terlalu keras.” Bisiknya sebelum meninggalkan DongWoon yang kini sedang menggerutu pelan sambil memegangi kepalanya. Yoseob pun terkekeh kecil karna bukan hanya dirinya yang mendapat amuk an dari leader mereka yang tampaknya sedang bad mood hari ini.
“Ayo, kalian ini kenapa masih disini? Kita harus ke sana sebelum.”
“Arasso Arasso.” Potong Dong Woon sebelum JunHyung sempat menyelesaikan kalimatnya. Ia kemudian berlari meninggal kan JunHyung yang masih mengomel karna kata-katanya tadi di potong Dong Woon.
“Hei, ayo cepat!” Teriak Dong Woon pada JunHyung.
“Ah, magnae satu itu.” Gerutunya lalu mengikuti arah yang DongWoon, Doo Joon, dan Yoseob tuju. Sementara itu Hyunseung hanya terkekeh kecil melihat teman se grup nya yang kerap kali memperdebatkan hal kecil. Ya, seperti tadi contohnya.
*
Ki Kwang POV
Sepertinya aku tak dapat menghapus, membuang, dan melupakannya
Aku mengedarkan pandangan ke jalan cukup lama
Kenangan yang kusukai saat melewati jalan ini terus menerus muncul hingga menghentikan langkah kaki ku
Entah kenapa aku selalu teringat sesuatu saat melewati jalan taman ini. Pandanganku tak bisa kualihkan dari jendela kaca tiap kali mobil kami tak sengaja melewati taman ini. Lalu kuputuskan untuk menyempatkan diri kemari setiap ada waktu luang karna seakan ada yang memanggilku untuk kemari setiap hari.
Seakan sekian lama hingga saat ada datang kemari saat ini
Aku merindukan saat itu, hingga tanpa sadar aku memikirkan kehidupan saat itu
Apa aku punya memori tersendiri di kehidupan ku yang sebelumnya? Mungkin aku dulu salah satu pekerja di istana Gayoung, atau sejenisnya. Yah, aku memang satu dari sedikit orang yang masih percaya dengan reinkarnasi.
Mungkin aku punya memori tersendiri dengan sudut taman ini karna kaki ku seakan berjalan sendiri tanpa diperintah dan seolah ada yang memaksaku duduk di sebuah kursi panjang dan memandangi sudut taman tersebut. Entah kenapa hatiku jadi hangat saat memandangnya.
Karena dirimu yang terus menerus melangkah dimataku
Kenangan saat-saat menghabiskan waktu bersama seperti bintang bertaburan, namun bagaimana dengan dirimu?
Namun entah kenapa semakin lama aku memandang taman ini semakin lama aku merasa ada sebuah tempat kosong yang seharusnya terisi oleh sesuatu. Apa aku pernah memiliki masa-masa pahit di taman ini? Ku tadahkan kepalaku, memandang matahari yang sedang menyiapkan diri bertukar dengan posisi bulan.
Bulan.
Tiba-tiba aku teringat sesuatu, tapi aku tidak tahu apa itu.
Hanya aku yang sepertinya dibiarkan sendiri, kesepian
Tak ada kepura-puraan, aku memikirkanmu
“Ki-Ki-Kwang –ssi.” Suara terbata-bata seorang gadis tiba-tiba terdengar. Aku menegakkan kepalaku dan mendapati seorang gadis tengah berdiri dihadapanku. Ia sedang menunduk dengan mengenggam sebuah kertas dan bolpoin. Kurasa ia seorang fans.
Ku rasa lain kali aku harus mengenakan penyamaran yang lebih dari ini.
“Ne?”
“Umm.. Boleh aku minta tanda tanganmu?” Tanyanya, kemudian ia mendongak dan tersenyum canggung. Sejenak aku terdiam. Jantungku berpacu cepat, dengan mulut sedikit terbuka. Ku rasa wajahku sangat konyol saat ini. Ia kemudian memanggil namaku lagi dan aku buru-buru mengangguk dan mengambil kertas serta bolpoin yang disodorkannya.
Tanganku gemetar saat mencoba menandatanganinya. Ada apa sebenarnya?
“Ki- ki kwang ssi , gwenchanayo?” Tanyanya. Raut wajahnya menyiratkan kekhawatiran. Aku mengangguk kemudian memberikan senyum terbaikku padanya, memberikan fan service.
“YA! Ki Kwang!” Teriak Doo Joon hyung yang kulihat sedang berlari ke arahku dengan raut wajah kesal. Aku membulatkan mataku melihatnya. Dengan tergesa aku menandatanganina.
“Nama- nama mu siapa?” Ujarku dengan buru-buru namun sebelum dia sempat menjawab nya , aku segera berlari meninggalkan nya dan menghindari Doo Joon hyung yang kini sedang mengejarku dengan raut wajah garang.
Namun tadi sempat kudengar ia meneriakkan namanya kearahku.
.
Dapatkah kau melihatku saat aku menantimu disini?
Dapatkah nantinya aku menyatakan perasaan ku?
Han Yoo Ra. Namanya Han Yoo Ra.