Letter to Zayn
“Zayn … aku tahu, saat ini kau sedang marah. Bahkan kau tidak akan bisa memaafkan aku. Aku hanya ingin kau tahu apa yang aku pikirkan. Aku masih ingin kau mengingat saat itu. Aku masih belum percaya kau secepat itu berubah. Kau bukan lagi Zayn Malik yang aku kenal dulu. Pandai melukis, bersuara indah dan pemalu. Kau yang pernah membuat aku merasa terbela karena apa yang aku miliki. Bahkan saat itu kau bukanlah satu-satunya orang yang dekat denganku. Aku punya banyak teman laki-laki. Dan hanya kau yang membuatku tertarik. Karena kau jugalah, satu-satunya orang yang pernah melukis wajahku di atas kanvas. Dan kau menyimpannya dengan rapi. Lalu kau buatkan aku satu figura dengan kreasimu sendiri. Dan kau lukiskan kembali wajahku disana bersamamu.
Kau tahu, Zayn? Aku masih menyimpannya. Menyimpan semua yang pernah kita punya dulu. Sebelum kau berdiri di panggung itu. Aku tidak bisa menuntut banyak darimu. Kau akan tetap ada disana, sampai akhirnya kau lelah dan ingin duduk memantau generasi barumu. Kau melukiskan sejarah bersama teman-temanmu. Menarik perhatian seluruh remaja. Sampai kau bisa mengenal seseorang yang baru. Dan ia mengisi hatimu. Lupakan saja.
Aku hanya ingin kau ingat masa itu. Tapi sia-sia. Bahkan kedatanganku, seolah sama sekali tidak berpengaruh bagimu. Aku memang bukan mereka yang punya kelebihan dalam menguasai duniamu. Dan kau sendiri yang mengatakan, ‘be yourself’. Dan aku lakukan itu. Aku memang bukan mereka yang pernah mengisi hatimu. Aku bahkan sangat senang sekalipun kau hanya membangun altar untukku. Dan memintaku mendudukinya, sekalipun tanpa kau disana. Kau mewujudkan diriku sebagai Ratu, tanpa seorang Raja di sampingnya. Dan aku menerimanya.
Zayn, apa kau memikirkanku selama kau jauh dariku? Apa yang kau rasakan ketika kau memikirkanku? Apakah kau masih mengingat kebersamaan kita? Zayn … saat ini aku adalah kertas yang penuh dengan cerita-cerita saat kita bersama. Dan rasanya hanya tinggal beberapa lembar lagi, halamannya akan habis. Namun aku sama sekali tidak bisa menemukan jawabannya. Bahkan ceritanya pun tak berujung. Karena kau tidak mempedulikan kedatanganku hari itu.
Kau justru mengusirku, karena aku dengan lancang masuk ke dalam kamar hotelmu. Aku tahu itu salahku. Aku hanya memastikan, bahwa kau bisa ku temui. Kau masih mengingatku. Sekalipun hanya nama. Dan tak berusaha mengingat siapa aku dan mengapa kau mengenalku. Jika penggemarmu bisa merasakan pelukanmu, aku hanya minta satu hal. Bisakah kau anggap aku penggemarmu dan peluklah aku sampai akhirnya nafasku hilang dalam pelukanmu? Aku tidak memaksamu untuk ingat masa itu, Zayn. Karena terlalu berat untuk mengulangnya. Dan kau tidak akan punya banyak waktu.
Zayn … Kau harus tahu satu hal. Aku mencintaimu. Kau tidak pernah ungkapkan itu, sekalipun dulu kita begitu dekat. Dan harusnya tanpa ku katakan, kau sudah tahu apa maksud hatiku … Untuk terakhir kalinya, bisakah kau temui aku Los Angeles Metropolitan Med Center, Hawtrone Campus… Aku sudah lama menunggumu datang ke L.A. Dan jika memang ini terakhir aku bertemu denganmu, aku harap kau tidak menceritakan aku kepada kekasih barumu.
Rebecca Hersant.
Zany sedikit berkerut membaca surat yang baru saja ia dapat dari resepsionis. Ia melipatnya seolah ingin mengacuhkan apa yang baru saja ia baca.
“Gadis itu lagi?” tanya Jonah saat keluar dari kamar mandi.
“Yeah …” jawab Zayn dengan menghela nafas.
“Dia dengan lancang masuk ke kamar ini dan duduk santai di atas tempat tidurmu. Seperti wanita panggilan,” keluh Jonah.
“Jaga bicaramu, Jonah,” kata Zayn ketus tanpa menatap Jonah.
“Mengapa kau marah? Kau mengenalnya? Atau dia fan beratmu saat kau masih di 1D?” tanya Jonah selidik.
“Bukan. Dan aku rasa aku perlu menemuinya,” kata Zayn serius.
“Tapi untuk apa?”
“Kau tidak tahu apa-apa, Jonah. Ini urusanku. Kau tetaplah disini. Dan aku akan segera kembali. Jangan khawatirkan aku, aku bisa pergi sendiri,” kata Zayn sambil meraih jaketnya dan segera keluar dari kamar hotelnya.
***
Ruang ICU sangat mencekam. Beberapa selang tersambung dengan tubuh seorang gadis muda. Ia memperjuangkan hidupnya sambil berserah. Ia berkali-kali menitikkan air mata. Ia tidak bisa mengeyahkan apa yang terjadi. Ini sudah titik akhir. Bahkan rasanya sangat berat ketika beberapa kali Dokter memeriksa keadaannya. Keluarganya hanya bisa menangis dan berdoa.
“Bisakah dia bertahan satu jam lagi, Dok?” tanya Ayahnya.
“Berdoalah, ia bisa kembali sembuh. Bukan hanya bertahan satu jam,” kata Dokter sambil menepuk bahu pria separuh baya yang sejak kemarin khawatir dengan kondisi putrinya.
Ia menatap layar monitor deteksi jantung yang menghadap ke jendela. Rasanya tidak sanggup jika harus menanti kematian anaknya. Tidak ada seorang ayah yang ingin kehilangan anaknya. Bahkan hari ini sepertinya ingin menggantikan posisinya.
“Becca …” katanya sambil membelai kepala anaknya.
“Lepaskan, nak … kau tidak boleh menyiksa dirimu sendiri …” bisik Ibunya sambil menangis.
Ia melihat selembar surat untuk Zayn disana. Dan ia tahu, anaknya sedang menunggu Zayn. Pemuda itu tak juga datang. Sampai akhirnya Becca, harus melaksanakan operasi terakhir. Livernya tidak bisa diselamatkan lagi. Becca terlalu lelah menyibukkan diri dengan fotografernya. Sampai akhirnya mengabaikan kesehatan dan memperjuangkan hobinya sebagai lapangan kerjanya. Dan berharap suatu hari, Zayn menjadi objek modelnya.
Bibir Becca bergerak membisikkan sesuatu kepada ibunya. Lalu menatap surat yang ia tinggalkan di meja. Matanya menangis. Ia tidak akan bisa melihat Zayn lagi. Ia tidak akan pernah datang menemuinya. Becca melepaskan diri dari penderitaannya. Ia menutup matanya dan meninggalkan dunia fana.
“Becca …” kata Ibunya di sela-sela tangisnya.
***
Zayn menyusuri koridor Rumah Sakit setelah mendapat informasi dari resepsionis dimana ruang rawat Becca. Ia berjalan dengan sedikit ragu. Dari ujung ruang ICU terlihat sebuah brankar didorong keluar dan orang tua Becca menangis mengiringinya. Zayn menghentikan langkahnya. Ia menatap beberapa petugas Rumah Sakit yang sedang mendorong brankar itu.
“Sorry, can you show me, who’s behind the blanket?” tanya Zayn menghentikan langkah petugas itu.
“Women. Her name Rebecca Hersant,” katanya sambil membuka selimut yang menutupi wajahnya.
Sejenak Zayn terbengong. Ia seperti tidak lagi menginjak lantai. Matanya seakan sudah tidak dapat meihat lagi. Ia lemas. Pikirannya kacau. Rasa bersalah yang begitu besar menghampirinya. Becca sudah menunggunya sejak lama.
“Excusme, Sir …” kata petugas Rumah Sakit itu sambil meninggalkan Zayn.
Zany tidak menjawab. Ia hanya bisa berdiri dan terpaku. Sampai akhirnya sebuah tangan menyentuh bahunya.
“Zayn …” panggilnya menyadarkan Zayn.
“Uncle Bob,” katanya setelah menyadari Ayah Becca ada di sampingnya bersama Ibunya.
“Why you late?” tanya ayah Becca.
“I am sorry Uncle Bob. But I never know Becca will go soon. I am, I-I a-am so- sorry. But …” Zayn tidak bisa meneruskan kalimatnya.
Ia ingin berterus terang, dunia musik dan panggung telah mengubah semuanya. Zayn membangun karirnya demi masa depan. Dan mnegabaikan Becca yang masih berharap kepadanya.
“Becca waiting you since three days ago,” kata Ibunya sambil menyerahkan sebuah surat yang ditinggalkan Becca untuk Zayn.
“Kau mengabaikan kedatangannya saat ia menemuimu di hotel. Ia nekat melakukan itu karena ia tahu, kau terlalu sibuk, bahkan tidak akan mudah menemuimu yang selalu dikerumuni oleh bodyguardmu. Dia putri kami satu-satunya, Zayn. Yang selalu punya kemauan keras demi mewujudkan keinginannya. Termasuk menemuimu. Dan sekarang, semuanya selesai,” kata Ibu Becca sambil menahan tangisnya.
“I am sorry Aunty …” desis Zayn sedih.
***
Zany masih tetap berdiri di samping kuburan Becca yang baru saja sepi. Ia masih tidak percaya, Becca sudah tidak ada. Ia pergi sebelum Zayn berhasil memeluknya. Dan kini hanya selembar surat yang tertinggal sebagai pesan terakhirnya untuk Zayn.
“Zayn … aku mencintaimu. Sekali lagi ku katakan demikian, agar kau tau, aku sungguh-sungguh mencintaimu. Bahkan dalam kondisi yang tidak memungkinkan, aku tetap mendatangimu di hotel. Sulit untuk aku katakan, mengapa aku mencintaimu. Tapi rasa nyamanku saat bersamamu, membuat aku mencintaimu.
Aku selalu ingin memelukmu seperti dulu. Namun dalam keadaan yang berbeda. Kau bukan lagi orang lain. Tapi sebagai pendamping hidupku. Aku ingin menjadi penolongmu. Yang merawatmu saat kau sakit, menguatkan kau ketika kau lemah. Jika wanita diciptakan untuk memiliki dua sisi sikap yang berbeda, aku ingin menjadi penolongmu. Yang tidak akan membiarkanmu kehilangan arah. Sekalipun sekali waktu akan terjadi kejenuhan. Kau mungkin akan bosan denganku. Dan aku pun demikian. Tapi sadarilah, itu kehidupan. Aku ingin mewujudkan itu, jika aku masih bersamamu. Zayn … kau begitu menawan bagiku. Matamu adalah salah satu alasan, mengapa aku selalu menganggumimu. Aku selalu ingat tatapan genitmu saat menggodaku. Dan aku terlena, terbuai … sampai tak sadarkan diri …
Aku mencintaimu, Zayn …
Rebecca Hersant.
Zany terisak saat membaca surat terakhir Becca. Ia menyesal mengapa harus melakukan ini. Ia sama sekali tidak peduli akan kondisinya ketika datang. Dan membiarkan Jonah memarahinya. Lalu mengusirnya dengan kasar. Dan Zayn melihat mata sedihnya ketika ia berbalik meminta pembelaan dari Zayn.
“I am sorry Becca …” kata Zayn sambil menghapus air matanya. Sekalipun ia sadar, tangisnya tidak akan bisa membangunkan Becca dari tidur panjangnya.