“Membiarkanku pergi? Apa ini yang ingin kau bicarakan?” Junhyeok tertawa pahit. “Ah, pantas saja kau memaksa untuk bertemu.”
Keheningan masih menguasai Elhin setelah lima menit berlalu. Jari jemarinya saling meremas. Sebelum akhirnya ia menarik dan mengembuskan napas dengan panjang. Ia mengerjapkan matanya dua kali kala air mata menusuk-nusuk kelopak matanya.
“Aku sudah menahanmu begitu lama. Tidak ada yang bisa kulakukan lagi untukmu. Jadi sekarang, aku harus melepaskanmu. Ini satu-satunya cara untuk membuatmu bahagia, Junhyeok.” Isakan itu pun keluar begitu saja. Bersusah payah menelan bongkahan pahit di tenggorokannya.
Pemuda itu masih bergeming. Bahkan senyuman itu tak memudar sedikit pun seiring dengan hatinya yang hancur. “Waktu kita bersama-sama–– Kenangan kita yang––”
“Biarkan semua kenangan itu juga pergi,” potong gadis itu dengan cepat. Melawan jeritan menolak di hatinya. “Hari-hari yang penuh tawa, kenangan yang begitu berharga. Lupakanlah,”
Pemuda itu mendongakkan kepala, menatap langit malam yang penuh dengan taburan bintang, sembari mengembuskan napas berat.
“Ini hanya nyeri sementara, Junhyeok. Suatu hari nanti kau akan bertemu seseorang yang bisa membuatmu lebih bahagia.”
Junhyeok menoleh cepat, menatap langsung ke sepasang manik sendu itu. Matanya memerah, tak dapat lagi membendung air mata yang terus mengancam keluar sedari tadi. Lantas gadis itu menunduk, menghindari tatapan itu.
“Aku tahu, aku akan berjuang untuk membuatmu keluar, dengan membiarkanmu pergi. Aku yakin, kau pasti bisa tersenyum suatu hari nanti, dengan cinta yang layak kau dapatkan.”
Sejemang kemudian, mereka hanya duduk diam, saling menatap, membiarkan air mata itu saling beradu. Sebelum akhirnya mengucapkan selamat tinggal.
..
end
..