Hujan begitu derasnya membasahi kota Seoul hari ini, entah kenapa akhir-akhir ini aku begitu menyukai hujan. Karena ia mengingatkan aku pada seorangwanita. Wanita itu, wanita cantik itu bernama victoria. Aku selalu bermain hujan bersama dia saat kecil dulu.
Dia adalah kawan kecilku. Hingga saat ini aku masih bersahabat baik dengannya. Namun entah kenapa, tiga tahun terakhir ini perasaanku berubah terhadapnya. Bukan perasaan sahabat lagi yang aku rasakan, tetapi perasaan cinta yang tumbuh begitu saja. Aku masih menunggu bus di halte bus yang tak jauh dari
universitas tempat aku belajar. Hari ini Victoria tak bisa pulang bersama denganku seperti hari-hari biasa, katanya ada hal yang harus ia kerjakan. Namun belum hilang pikiranku tentang dia, victoria sudah muncul di hadapanku dengan pakaian yang basah, ia berlari mendekatiku.
"Khunie-ya," ia duduk di sampingku. Aku refleks membuka Hodie yang sedari tadi aku kenakan.
"Wae?" kataku sembari memasangkan hoodie menutupi badannya. "sudah beres pekerjaanmu?"
"Hmmmm" ia mengangguk kecil. Aku memandang wajahnya yang basah. Ada yang aneh di wajahnya, ada aliran deras keluar dari matanya. "Nuna, wae(kenapa)? Mengapa kau menangis?"
Dia menceritakan semuanya. Ia menceritakan bahwa hari ini, tanpa alasan yang jelas, Ok Taecyeon meninggalkannya. Mereka sudah berpacaran selama setahun. Dan aku tahu perasaan nuna padanya. Ia begitu menyayangi cowok itu. " gwenchana nuna (Tidak apa-apa)." Aku merangkulnya. Ia menangis di pundakku. Ketika melihatnya menangis seperti ini, hatiku sakit. Ingin rasanya aku mengatakan bahwa aku menyayangi dia. Aku lebih menyayangi dia dari cowok-cowok yang pernah bersamanya. Tapi selalu saja ada perasaan ragu untuk aku mengatakannya. "Khunie-ya. Mengapa tak pernah ada seorang cowok yang benar-benar menyayangiku. Mengapa Khunie?" ia menangis lagi. Kali ini tersendu-sendu.
"Nuna, aku... aku... ingin... ingin mengatakan sesuatu" aku tersendat-sendat. Victoria memandangku
dan pandangan kami beradu. "Aku sebenarnya menyayangimu nuna. Sejak tiga tahun yang lalu, aku
memupuk perasaan ini dan tak bisa aku ungkapkan."
"Nichkhun-a, Apa kamu tak salah dengan kata- katamu?" ia menatapku lagi.
Aku menggelengkan kepala kecil. Tapi dia menangis lagi.
"Khunie-ya, sekarang bukan waktu yang tepat untuk
bercanda."
Tebakanku benar dia pasti menganggapku bercanda. Di tengah-tengah keseriusanku. Tiba-tiba bus yang aku tunggu datang. "lebih baik kita pulang Khunie" victoria masuk kedalam bus aku mengiktinya dari belakang.
Selama perjalanan kami tak mengatakan apa-apa. Ia hanya diam, memandang keluar jendela sembari melihat hujan. Bus berhenti. Aku dan victoria turun. Hujan belum juga reda. "Nichkhun-ssi, lebih baik kita pulang saja. Hujan sepertinya tak akan reda." Victoria mendahuluiku. Aku mengikutinya dari belakang. Ia sudah sampai di depan gerbang rumahnya. "Khunie-ya, aku masuk dulu ya. Cepatlah pulang" victoria hendak membuka gerbang.
"Nuna, aku serius dengan yang aku katakantadi." Ia terhenti di depan gerbang. "Jeongmal saranghae nuna (Aku benar-benar mencintaimu Nuna)" Ia berbalik.
"aku tak pernah sadar selama ini tentang perasaanmu padaku. Aku selalu menganggapnya sebagai pertemanan." Ia menghentikan perkataannya. "sebenarnya dari dulu aku juga menyimpan perasaan
itu, namun aku tak berani mengungkapkannya." Lagi-lagi kata-katanya terhenti. "Kamu ingat saat kita masih SMP, di bawah hujan seperti ini kamu bilang padaku, kamu sudah seperti kakak bagiku. Aku akan menjagamu dan akan terus bersamamu. Sejak saat itu, aku selalu berfikir bahwa kamu hanya ingin menjadi dongseng (adik) yang baik untukku. Namun semakin lama semakin besar pula perasaan ini tumbuh aku tak menyangkanya dan sekarang kamu mengatakannya padaku"
Victoria, apakah begitu perasaannya padaku? Kataku
dalam hati. "Namun kali ini aku benar-benar mengatakannya nuna. Jeongmal saranghae." Ia mendekatiku. Ia tersenyum. "Nado saranghae Khunie-ya" aku tak tahu harus bagaimana. "Sudah kau pulang saja sana. Ini sudah sore, nanti eomma (ibu) mencarimu." Ia berlari meninggalkanku dan hilang di pintu gerbang. "Nuna saranghae, jeongmal saranghae." Aku berteriak bahagia di depan gerbang.
Ia melambaikan tangan dari atas balkon rumahnya. Aku masih berdiri di bawah hujan yang menemani bahagiaku.