Aku menatap lagi layar ponselku, membaca lagi pesan terakhirku yang kukirim kepada nomor yang tidak kusimpan itu—tidak ingin kusimpan. Aku ada kencan dengan Seungyoon, begitu isi pesannya. Kini pukul 11.26, hampir satu setengah jam berlalu sejak aku meninggalkan rumah. Waktu berlalu begitu cepat. Atau… tidak?
Langkahku terhenti, sebuah pesan masuk ke ponselku. Dari nomor itu, dimana?
Pandanganku teralih pada sosok lima meter jauhnya di sana. Dia baru saja keluar dari rumah kecil yang cukup familiar untukku, lalu memakai tudung jaket hitamnya, kamudian menatap ponselnya sampai dia menyadari keberadaanku. Dia berhenti di tempatnya. Mata kami bertemu lama.
“Bagus kau sudah pulang,” ucapnya terdengar menyebalkan. Aku tidak membalas apapun, tapi aku melangkah mendekat, dan memeluknya.
“Wae-wae??” dia memundurkan tubuhnya—menghindariku—tapi aku tetap bersikeras memeluknya.
“Sebentar,” gumamku. “Hanya sebentar saja,” pintaku. “Aku-,” ucapanku terputus, tenggorokanku tercekat, dan detik selanjutnya isakku lepas.
“Aku menyukaimu,” kalimat itu terngiang lagi di kepalaku. “Aku tahu aku terlambat, sangat-sangat terlambat. Tapi setidaknya kau harus tahu itu, aku tidak pernah keberatan kau selalu mengikutiku, aku tidak pernah terganggu dengan kehadiranmu. Dan aku tidak pernah memiliki perasaan pada Soojung, dia hanya teman kecilku, tidak lebih,” suasana di café itu tergambar kembali di pikiranku. “Ini salahku, aku tidak pernah menyatakannya padamu, aku terlalu… pengecut.” Dan kencan pertamaku dengan cowok yang kusukai malam ini berakhir dengan berbagai penyesalan di antara kami berdua.
Siapa yang lebih pengecut? Aku atau Seungyoon? Apa aku terlalu cepat memutuskan untuk melepas Seungyoon dan move on darinya? Apa aku terlalu tergesa-gesa mengambil keputusanku begitu aku dijodohkan? Apa aku terlalu pasrah? Apa aku mengambil keputusan yang salah?
“Apa yang terjadi?” cowok itu bertanya. Tangannya mengelus punggungku pelan. Aku hanya menjawab dengan gelengan kepalaku, entah dia menyadarinya atau tidak.
“Bagaimana hidup barumu selama hampir satu minggu ini? Apa anak itu mengurusimu dengan baik? Apa dia selalu mengingatkanmu makan? Apa dia bisa kau andalkan? Apa dia pernah marah padamu? Apa dia suami idamanmu? Kudengar dia bisa bermain gitar, apa dia pernah bernyanyi untukmu? Apa hal yang kau sukai darinya? Apa yang tidak kau sukai darinya?” kejadian tadi lagi-lagi terulang di pikiranku. Aku tidak bisa menjawab semua pertanyaannya tentang Woozi. Aku benar-benar bungkam.
Hidup baruku? Tidak menyenangkan sama sekali, tapi kurang lebih sama dengan hidupku sebelumnya.
Ya, dia mengurusiku, tapi tidak dengan baik.
Dia tidak pernah bilang ‘jangan lupa makan’ atau ‘apa kau sudah makan?’ tapi berupa sindiran ‘kau tidak ingin makan?’ dan itu menyebalkan. Dia selalu menyebalkan.
Ya, dia sepertinya bisa kuandalkan. Dia perfeksionis. Terlalu perfeksionis.
Ya, dia selalu marah padaku, hampir setiap saat.
Tidak, dia bukan suami idamanku. Jelas bukan!!
Dia tidak pernah bernyanyi untukku secara langsung, tapi aku sering mendengarnya bernyanyi dengan gitarnya dan menyindirku tentang kesalahan dan kekuranganku.
Hal yang kusukai darinya? Pass!!
Hal yang tidak kusukai darinya? Dia selalu membuatku bingung. Dia membuatku berpikir setiap hari apa aku menyukainya atau tidak. Dia selalu membuat hatiku ambigu. Aku tidak tahu apa aku mencintainya atau membencinya. Dan aku tidak bisa membedakannya, apa karena aku banyak mendengar kalau cinta dan benci berbeda tipis?
“Kau selesai?” dia memecah lamunanku. Tangisku sudah berhenti. Dia—Woozi—melepas pelukanku. “Aku tidak akan bertanya lagi apa alasanmu menangis,” dia mengelap pipiku dengan lengan jaketnya. Aku bisa mencium parfumnya sekilas dari jaketnya. “Aku tidak akan bertanya apa yang terjadi di antara kau dan teman-,” dia berhenti, “pacarmu itu,” ralatnya. “Tapi, setidaknya…” dia berhenti lagi, pendangannya beralih pada objek lain. “Ah, lupakan! Sebaiknya kita masuk.”
“Woozi-ssi,” tanganku menahannya untuk pergi.
“Hm?” perasaanku saja atau dia lebih lunak dari biasanya.
“Apa kau menyesal menikahiku?”
Dia diam sesaat, kemudian dahinya berkerut, “ne,” jawabnya. “Aku seharusnya tidak menyetujui perjodohannya, aku seharunya tahu aku secara tidak langsung bisa menyakiti perasaanmu dengan kata-kata sindiranku. Aku menyebalkan, aku tahu. Tapi…” dia berhenti. Lagi.
“Apa?” tanyaku.
“Sebaiknya kita masuk,” dia melepas tanganku yang tadi memegangi jaketnya dan pergi. Tapi setelah lima langkah, dia kembali padaku, menjulurkan tangannya padaku. “Kau ingin tetap di sini?” sindirnya. “Apa kau belum puas dengan kencanmu?”
“Jangan sebut soal kencan itu,” aku meraih tangannya dan berjalan beriringan dengannya menuju rumah kecil kami.
“Maaf,” ucapnya. Genggamannya mengerat.
“Tidak apa-apa, aku tahu kau tidak bermaksud begitu.”
“Bukan hanya soal barusan, tapi aku minta maaf untuk semuanya, kalau ucapanku mungkin menyakitimu.”
“Aku sudah terbiasa dengan itu,” jawabku. Benar, aku seperti sudah terbiasa dengannya. Terbiasa dengan sikapnya yang menyebalkan.
“Apa itu sindiran? Kalau aku terlalu sering bersikap buruk padamu, jadi kau sudah terbiasa dengan itu?”
“Entahlah,” jawabku. Mungkin begitu.
“Siapa yang muncul di kepalamu setiap kau bangun pagi belakangan ini?” pertanyaan Seungyoon terbesit di kepalaku.
“Woozi…” panggilku.
“Hm?” dia tengah sibuk membuka pintu.
“Siapa yang muncul pertama kali di kepalamu saat kau bangun pagi?” pertanyaan itu keluar dari mulutku. Derit pintu menjadi suara terakhir di antara kami sebelum semuanya hening. Kami bertukar pandang dalam waktu cukup lama.
“Mwo?” tanyanya kemudian membuatku menghela napasku panjang. Tapi tunggu, apa aku baru saja menahan napasku?!
“Siapa yang-,” ucapanku terputus, genggamannya mengerat lagi, dia menarikku untuk menghadapnya. Lalu dia mengucap sesuatu tanpa suara. Aku terdiam. Dia melepas tanganku dan pergi masuk ke dalam rumah—meninggalkanku sendiri.
‘Kau,’ katanya. Mungkin aku salah lihat, mungkin aku terlalu berharap itu jawabannya, aku tidak tahu perkiraanku benar atau tidak, tapi aku tidak bisa meredakan panas di wajahku, perutku yang tiba-tiba geli, dan jantungku yang sedikit berdebar lebih cepat dari biasanya.
“Woozi,” jawabku ragu. Ragu apa itu benar-benar jawabanku. “Entahlah,” aku mengendikkan bahuku, “apa dia bangun lebih pagi dariku? Apa dia akan marah karena aku bangun lebih siang darinya lagi? Apa dia akan mengomeliku lagi karena aku tidak bisa menyiapkannya sarapan? Apa dia akan menyindirku soal bagaimana buruknya aku dalam memasak? Pikiran seperti itu,” tambahku.
Seungyoon terkekeh pelan. Terdengar begitu menyebalkan di telingaku. “Aku tidak pernah berpikir kau akan bersikap seperti itu. Kau dulu sering melawan, ratu sindiran, sensitif, menyebalkan. Woozi bahkan dua tahun lebih muda darimu, Han Jiho.”
“Aku benar-benar berubah 180 derajat. Aku sendiri tidak mengerti bagaimana aku bisa begini.”
“Itu bagus,” dia tersenyum. “Kurasa dia benar-benar bisa mengontrolmu, mengambil hatimu, seperti yang kuharapkan.”
Aku diam, berpikir keras apa aku harus setuju dengan perkataannya atau tidak.
Aku mengambil ponselku, mengetik pesan pada Seungyoon dan seseorang lainnya. Pandanganku masih terfokus pada ponselku sampai sebuah decakan seseorang mengagetkanku. Cowok itu membuka sedikit pintu di depanku.
“Apa aku harus mengingatkanmu kalau sekarang hampir tengah malam, Han Jiho-ssi?” sindirnya.
“Apa aku harus mengingatkanmu kalau aku cukup legal bahkan untuk minum soju dan pulang saat subuh nanti?” aku menyimpan ponselku dan membuka pintu kian lebar. Wajah cowok itu sedikit tidak enak dipandang setelah mendengar jawabanku barusan.
“Apa aku harus mengingatkanmu kalau aku berhak melarangmu untuk keluar malam dan bahkan kencan dengan pria lain?” dia melipat kedua tangannya di depan dadanya.
“Kau cemburu?” aku mencubit pipinya yang seketika ditepisnya.
“Ne,” jawabnya nyaris tidak kudengar. Ponselnya berbunyi, cowok itu kemudian sibuk dengan benda kecil itu, lalu melirikku, “kau salah kirim?” tanyanya.
“Ti-tidak,” jawabku.
“Hmp,” dia menarik senyum datarnya. “Kupikir kau punya pacar,” katanya.
“Seungyoon bukan pacarku.”
“Itu bagus,” dia berjalan mendekat, menutup pintu di belakangku, dan pergi ke kamarnya. Lalu sebuah pesan masuk ke ponselku. Pesan singkat dari nomor yang telah kusimpan sebagai ‘Woozi’.
나두.
Dan pesan di atasnya dariku, 사랑해.
Aku menutup chat pesanku dan sekilas aku melihat pesan terakhirku pada Seungyoon yang barusan kukirim. Mungkin secara tidak sadar aku sudah melupakanmu, mungkin secara tidak sadar aku menyukai anak itu, mungkin aku mencintainya.
Kurang lebih satu minggu lalu, statusku bukan lagi seorang single—tidak—bahkan status pernikahanku bukan lagi ‘belum menikah’. Aku menikah dengan anak teman ibuku, simpelnya dijodohkan, dan aku tidak mengerti aku tidak menolaknya sama sekali. Lee Woozi, kesan pertamaku tentangnya, menyebalkan. Kesan keduaku, dia lebih menyebalkan.
Apa aku menyesal menikahinya? Tentu saja, aku menyesal. Aku bisa menikahi cowok yang lebih baik darinya. Tapi aku tidak bisa begitu saja bercerai dengannya. Terlalu konyol.
“Hey!!!” suara itu memecah lamunanku. “Kau masih di sana?” tanya cowok itu. Dia duduk di sofa dengan gitar di tangannya.
“Jangan bilang kau ingin bernyanyi dan menyindirku tentang kencanku yang gagal,” aku menghampirinya.
“Bukan,” dia mengulas senyumnya. Senyum yang tidak bisa kusebut senyuman karena bibirnya tidak melengkung, tapi kedua matanya menyipit. “Aku membuat lagu, tapi bukan untukmu!!” dia menunggu reaksiku. “Tapi kau bisa menganggapnya ini untukmu,” dia mengendikkan bahunya. “Duduklah!” suruhnya kemudian.
Tapi aku tidak duduk, malah menghambur memeluknya.
“Hey! Apa yang kau lakukan!!” serunya kesal. “YA!!! Gitarku!!! JIHO, GITARKU!!!” dia mendorongku untuk melepas pelukanku. Dan aku menyerah. “Ada apa denganmu hari ini?!!” protesnya.
Aku mengucap satu kata nyaris tanpa suara. Lalu cowok itu tersenyum, kali ini dia melengkungkan ujung bibirnya.
“Saranghae?” dia mengulangnya. “Jangan katakan itu lagi! Sekali saja cukup!” wajahnya serius kembali. Oh, menyebalkan!
--------------
THE END
Maaf kalo ada typo><
and... sekuel anyone?
I'm (really) in love with that guy named Woozi. He's such a cutie ><
Kalau ada rekues ff mungkin boleh ditaro di komen, mungkin bisa menambah ide-ideku......
Thanks for reading, and comments..... and all..... i love you<3