--oOo—
“Seperti bunga yang kau petik, pada akhirnya akan layu dan tak akan seindah awalnya lagi”
Dia datang. Lagi. Aku tahu. Tapi aku tak mau melihatnya. Aku lebih memilih menikmati jatuhnya air dari langit. Ya, di luar sana sedang turun hujan. Aah, bukan hujan. Hanya gerimis lebat.
Kursi di seberangku bergerak. Aku tau dia duduk di situ. Aku tak peduli. Aku lebih peduli pada kaca yang mulai mengembun. Memburamkan pemandangan di luar sana. Sungguh, ini kacanya yang mengembun. Bukan mataku yang memburam karena lesakan air mata. Aku bukan wanita cengeng.
"Hai," akhirnya suara itu menyentuh pendengaranku. Aku tak peduli.
"Katakanlah sesuatu," Dengan berani ia menyentuh jari-jariku. Mengusapnya lembut. Tapi sayang, aku tak tersentuh.
Ia mendengus. Kesal? Entahlah.
Dari pantulan kaca yang buram, aku melihat ia melambaikan tangan ke arah seorang pelayan. Lalu memesan teh madu kesukaannya.
Dalam satu minggu terakhir, ini kali ketiga dia menemuiku. Dia tak bosan meski aku tak menjawabnya satu patah kata pun.
"Nae-ya, katakan sesuatu. Kalau kau ingin memaki, makilah aku. Tampar jika kau mau. Lakukanlah. Tapi kumohon, jangan mendiamiku begini."
Kali ini aku menengok. Ku tatap wajahnya. Mata kecil, hidung yang tinggi, dan garis rahang yang tegas miliknya masih sama. Tapi tak semenarik dulu lagi.
"Nae-ya, aku sungguh minta maaf. Aku tak akan mengulanginya lagi." Wajah itu memohon.
"Apa yang harus aku lakukan agar kau memaafkanku?"
"..."
Aku tak menjawab apapun. Aku lebih memilih mengitari tepian cangkir capucinoku.
Di luar sana mungkin ada banyak kasus pria yang berselingkuh. Dan mungkin tidak sedikit yang dimaafkan okeh gadisnya, lalu mereka kembali bersama. Tapi sayang, aku bukan termasuk golongan gadis-gadis seperti itu. Aku tidak bisa memaafkan dengan semudah itu.
Lee Hyukjae, dia lelakiku. Setidaknya sampai dua minggu yang lalu, sebelum aku menemukannya sedang bercumbu dengan sekretarisnya di kantor.
Aku tersenyum miris jika mengingatnya. Aku yang siang itu berencana memberi kejutan, tapi justru aku yang mendapat kejutan istimewa. Aku datang ke kantornya membawakan makan siang. Dan hari itu adalah pertama kali aku mengunjunginya di kantor sejak tujuh belas bulan masa resmi pacaran kami.
Sudah kukatakan bukan jika aku bukan wanita cengeng? Aku wanita dengan kemampuan kontrol diri yang cukup baik. Aku tidak meledak marah waktu itu. Aku juga tidak menangis. Aku hanya tersenyum, lalu meletakkan kotak bekal makan siang di meja sekretarisnya. Membungkuk sedikit sebagai tanda pamit. Lalu berbalik pergi.
Aku mendengar Hyukjae berteriak memanggil namaku. Memintaku menunggunya. Menunggu apa? Menunggu dia selesai bercumbu? Ciih..
"Nae-ya, aku sudah jelaskan semuanya padamu. Itu kali pertama aku termakan rayuan Johyun. Aku juga sudah memecatnya. Tidak bisakah kau memaafkanku? Kita mulai lagi dari awal. "
Ya , malam itu dia menjelaskan semuanya padaku. Memohon maafku, menyampaikan segudang penyesalannya. Aku juga sampaikan keputusanku. Aku ingin selesai. Aku yakin dia menolak. Tapi aku tak peduli.
Jika satu kesalahan saja, selingkuh, bisa melukaimu setengah mati. Maka kesalahannya yang kedua bisa membuatmu tiga perempat mati. Shin Johyun. Gadis yang bercumbu dengan Hyukjae itu adalah sahabatku. Dia gadis periang yang penuh perhatian. Dia cantik dan punya seribu ekspresi yang membuatnya mudah disukai banyak orang. Berbanding terbalik dengan katakterku. Aku mengenalnya dengan baik. Kami besar di panti asuhan yang sama, bahkan delapan tahun berbagi kamar. Dia sahabatku. Hingga tujuh tahun lalu keluarga Kim, pemilik cafe ini, mengadopsiku dan membawaku ke Seoul. Bahkan hingga dua minggu yang lalu gadis itu juga tetap sahabatku. Eonni, begitu aku menganggapnya.
Dan yang lebih menyakitkan adalah karena aku sendiri yang meminta Hyukjae untuk menerima Johyun sebagai sekretarisnya sejak setahun lalu. Saat itu aku memaksa kekasihku untuk menjadikan Johyun pegawai di kantornya. Agar Johyun bisa hidup lebih baik. Tidak sekadar menjadi pegawai di kafe orangtua angkatku.
"Nae-yaa..." Suara itu membawaku kembali ke alam sadar.
"Ucapkan sesuatu. Jangan seperti ini."
"Oppa ingin aku mengatakan apa?" Akhirnya aku bersuara. Satu minggu melarikan diri darinya, dan kini satu minggu tak menggubrisnya membuatku cukup lelah.
"Katakan apa yang bisa membuatmu memaafkanku agar kita bisa bersatu lagi," ucapnya menggebu.
"Bersatu lagi?"
"Ne,"
"Apa yang akan terjadi jika kita bisa bersatu lagi? Apa Oppa akan menjamin semuanya akan lebih baik?"
"Ne, Oppa berjanji Nae."
Aku tersenyum.
"Apa kau memaafkanku?"
Aku tersenyum lagi. Lalu kuserahkan piring kecil, alas cangkirku padanya.
"Untuk apa?" Tanyanya ketika piring itu sudah ia pegang.
"Oppa menanyakan maafku bukan?"
"Eoh,"
"Sekarang coba jatuhkan piring itu ke lantai,"
"Ne? Tapi,"
"Jatuhkan saja,"
"Tapi kenapa?" Ia memandangku dengan raut bingung.
"Jatuhkan piring itu Oppa, maka kau akan tahu."
Kulihat ia bergerak ragu untuk menjatuhkan piring itu,
"Kenapa ragu? Apa waktu itu Oppa juga ragu ketika akan mencumbu Johyun?"
PYAARR
Ia menjatuhkannya tepat ketika aku menyebut nama Johyun. Membuat piring itu pecah menjadi beberapa bagian. Beberapa pengunjung menengok ke arah kami.
" Apa piring itu pecah Oppa?"
"Ne "
"Sekarang, mintalah maaf pada piring itu "
"Ne?" Dia memandangku dengan wajah tolol.
"Minta maaf," ujarku.
"Tapi..."
Ia tak melanjutakan kalimatnya. Ia memandangku dengan tatapan tak mengerti.
Lagi-lagi aku hanya menanggapi dengan tersenyum.
Ia mengalihkan pandangannya ke arah pecahan piring itu, "Mianhae,"
"Apa piring itu utuh lagi Oppa?"
"Yaak, kau bercanda? Itu tidak mungkin. Bagaimana bisa piring yang pecah bisa utuh lagi hanya dengan kuucapkan kata maaf? Aku bukan penyihir Nae."
Aku tertawa kecil mendengar jawabannya. Entah apanya yang lucu.
Dia melihat tawaku, "Jadi apa kau memaafkanku Nae?"
Aku berhenti tertawa.
"Oppa, jika piring saja tidak bisa utuh lagi meskipun kau telah meminta,maaf. Bagaimana dengan hatiku?"
"Aku tidak mengerti. "
"Hatiku, sama seperti piring itu.kau jatuhkan hingga pecah berkeping-keping. Lalu kau minta maaf. Tapi tetap saja piring atau hatiku bisa kembali seperti semula."
Dia masih berdiam diri memahami kalimatku.
"Oppa, sesuatu yang sudah remuk, meski bisa disatukan pasti hasilnya tak akan sama. Sama seperti dalam sebuah hubungan, seseorang yang telah kau sakiti, lalu pergi, dan jika akhirnya kembali, pasti rasanya tak akan sama. Pasti ada yang berbeda. "
"Jadi kau tak bisa memaafkanku? Dan hubungan kita benar-benar berakhir?"
Ia menatapku sendu. Kugenggam tangannya.
"Aku memaafkan Oppa. Tapi untuk kembali pada Oppa, aku tak yakin bisa."
Aku berdiri, bersiap meninggalkan laki-laki ini serta kepingan yang ia pecahkan.
Ia menahan lenganku, "Aku akan tetap berusaha membuatmu kembali padaku Nae,"
Dengan lembut kutarik lenganku dari genggamannya.
"Kalau begitu berusahalah Oppa. Dan biarkan Tuhan yang memberi keputusan. Aku permisi."
Aku meninggalkannya. Lagi. Sama seperti dua pertemua sebelumnya.
Aku mengambil payung. Gerimis sudah mulai reda. Tapi aku merasa setelah ini hujan akan turun lebih lebat.
Aku berjalan menyusuri pertokoan. Sama sekali tak menoleh ke belakang. Andai saja gadis itu bukan Johyun, sahabatku sendiri, mungkin aku tak akan seterluka ini. Kenapa harus Johyun? Kau bukan saja membuatku kehilanganmu, Oppa. Tapi kau juga membuatku kehilangan sahabatku satu-satunya. Kesalahan kalian membuatku kehilangan dua orang berharga sekaligus.
Kurasakan wajahku mulai basah. Sepertinya hujan benar-benar semakin deras.
—oOo—
Hanya ficlet picisan hasil imajinasi dangkal seorang aLeeyaa. Mohon reviewnya ya Chinggu.. Gomawo…^^