Tempat itu sudah sepi sejak dua jam yang lalu. Tidak ada siapa-siapa disana, kecuali gadis itu. Sandara Park duduk bersandar di kursi dengan kedua tangan dilipat di depan dada. Keningnya berkerut dan matanya menyipit menatap lekat-lekat ponsel yang terletak di meja kerjanya. Ia menggigit bibir dan tidak habis pikir kenapa ponsel imut dengan hiasan gantung itu tidak berdering, tidak bergetar, tidak melakukan apapun!
Langit sudah gelap. Ia melirik jam tangan dan mendesah. Jam delapan.
"Kemana saja kau?" desis Dara sambil memelototi ponselnya yang berwarna putih.
"Bicara dengan ponsel lagi, Park?”
Dara mengangkat wajah dan menoleh. Lee Chaerin baru masuk ke ruangan tersenyum kepadanya. Chaerin manis yang berambut pirang lurus, bermata sipit dan bertubuh sexy itu berusia 25tahun, beberapa tahun lebih muda dari Dara. Meskipun begitu, ia tetap memanggilnya Park. Bukan Unnie atau pun Dara. Ia mengatakan nama Dara terlalu unik. Hanya Dara seorang yang memiliki nama tiga suku kata. Jadi ia memutuskan untuk memanggil Dara ‘Park’ seperti yang lainnya.
“Aigoo, berapa kali harus kukatakan berhenti memanggilku, Park. Kau itu lebih muda beberapa tahun dariku. Di mana sopan santunmu?” lagi-lagi Dara menggerutu. Walaupun ia tahu sampai kapanpun ‘Park’ akan sulit menjadi ‘Dara’.
“Hohohoho.” Chaerin hanya terkekek kecil. “Tapi aku lebih suka ‘Park’” lanjutnya.
“Cih. Apa laporanmu sudah selesai?” tanya Dara ringan sambil mencondongkan tubuh ke depan, menumpukan kedua siku di meja dan bertopang dagu.
Chaerin mengangguk dan berjalan ke meja kerjanya yang persis di depan meja Dara. “Bukankah, Kau sudah menyelesaikan laporan Tn. Yang sejak…,” ia melirik jam dinding, “Dua jam setengah yang lalu?” tanya Chaerin dengan alis terangkat.
Dara mendesah. “Uhm,” jawabnya lemas. Ia menunduk dan menyandarkan kening di meja, lalu mendesah keras sekali lagi.
“Wae? Kenapa terlihat lesu sekali?” tanya Chaerin sambil mengetuk-ngetuk pelan meja Dara dengan bolpoin. “Bukankah biasanya kau paling suka awal akhir pekan?" tanya Chaerin
Dara mengangkat kepala dan tersenyum muram. Awal akhir pekan adalah hari yang paling ditunggu-tunggu Dara. Tapi hari ini jadi pengecualian. Ia sedang tidak gembira atau bersemangat.
“Oke, Aratseo,” kata Chaerin tiba-tiba dan tersenyum. “Belum menelpon ternyata.”
Dara menggigit bibir dan mengangguk lemah. Ia kembali melirik ponselnya. Lalu seakan sudah membulatkan tekad, ia mendengus dan meraih ponsel itu. “Lupakan saja,” katanya tegas, lebih kepada dirinya sendiri. Dengan gerakan acuh tak acuh ia melemparkan ponselnya ke dalam tas sandang dan berdiri dari kursi.
“Chaerin, kaja, kita pulang sekarang,” kata Dara. “Duduk mengasihani diri sendiri juga tidak ada gunanya.”
“Yang mengasihani diri sendiri itu siapa?” tanya Chaerin yang menatap Dara dengan bingung.
•
Sepuluh menit kemudian, Dara dan Chaerin sudah berada dalam lift kaca yang membawa mereka turun ke lantai dasar. Dara berdiri membelakangi pintu lift dan menikmati pemandangan malam kota Seoul yang terbentang di depan mata.
Bunyi denting halus membuyarkan lamunan Dara. Mereka sudah tiba di lantai dasar. Dara keluar dari lift dan melambaikan tangan kepada Chaerin. Dara memarkirkan mobilnya di lapangan parkir di luar gedung sementara mobil Chaerin sendiri di parkir di basement.
Dara menunggu sampai pintu lift menutup dan membalikkan badan. Dara baru saja akan melangkah ketika melihat seorang namja berdiri di dekat meja resepsionis di lobi gedung. Langkah kakinya terhenti dan menahan napas, tapi hanya sesaat. Ia lalu memutuskan mengabaikan orang itu dan kembali melangkah.
Namja itu melihat Dara berjalan terburu-buru ke arah pintu utama. Ia tersenyum dan melambai, tapi Dara mengabaikannya dan mempercepat langkah.
"Park."
Dara mendengar panggilan namja itu,tapi pura-pura lebih tidak mendengar. Ia keluar dari gedung dan melangkah cepat ke tempat mobilnya diparkir, berusaha keras mengabaikan bunyi langkah kaki yang menyusulnya.
"Park, tunggu aku."
Ketika ia hampir sampai ditempat parkir Ranger Rover putih miliknya, Dara mengeluarkan kunci mobil. Terdengar bunyi bip dua kali, dan ia cepat-cepat masuk. Ia baru akan menutup pintu ketika gerakkannya tertahan.
"Bisa tunggu dulu, Park?" tanya namja itu sambil menahan pintu mobil. "Kenapa kau terburu-buru?"
"Dara, Sandara. Mau apa?" tanya Dara dengan nada yang sama sekali tidak terdengar ramah. Ia menatap lawan bicaranya dengan tatapan yang dia harap berkesan tajam dan menusuk.
Namja itu terkekeh pelan dan menunduk. Rambut yang terpotong rapi itu jatuh menutupi dahinya. "Oke Dara, Aku sedang bertanya-tanya apakah kau mau menemaniku makan malam?"
Dasar lelaki! Dara menggerutu dalam hati. Ia mendengus kesal dan melirik orang di sampingnya. Namja itu sedang bertengger di mobil Dara dan seulas senyum penuh percaya diri terus tersungging di bibirnya. Seakan Dara akan menerima ajakannya.
"Aku yang traktir, tentu saja. Kau boleh memilih restorannya," tambah namja itu karena Dara tidak menjawabnya.
Dara berusaha tidak peduli, tapi akhirnya ia sudah tidak tahan lagi. "Brengsek kau, Kwon Jiyong! Kemana saja kau beberapa hari ini? Kenapa kau tidak menghubungiku sama sekali?"
Senyum dari bibir Kwon Jiyong melebar, sama sekali tidak terpengaruh dengan omelan Dara.
"Aku mau makan nanipon! (makanan Filipina)" kata Dara ketus. Ia bersedekap dan menatap lurus ke mata Jiyong.
Dara dan Jiyong sudah berteman sejak Dara kembali dari Fillipina delapan tahun yang lalu. Mereka bertemu untuk pertama kalinya ketika Jiyong diajak menghadiri pesta pembukaan restoran baru ayah Dara. Pada awalnya Jiyong tidak terlalu peduli pada Dara karena menganggap gadis itu orang asing yang belum bisa berbahasa Korea. Tapi ia salah, setelah menegenal Dara ia langsung merasa cocok, dan sekarang ia sudah menganggap Dara seperti saudaranya sendiri.
•0•Forbidden Love•0•
Di Korea ini ada satu restoran kecil tidak terkenal yang menjadi favorite Dara karena mereka menyajikan masakan Filipina, khususnya nanipon, kesukaannya. Restoran ini terletak di sebuah jalan kecil yang agak sepi dan lumayan jauh dari pusat kota. Selain ibunya, satu-satunya yang dirindukan Dara dari Filipina adalah makanannya. Lain hal dengan Jiyong, Namja itu tidak menyukai masakan Filipina. Tapi kali ini ia mengalah. Ia lebih suka melihat Sandara Park yang sibuk memakan nanipon dengan gembira dari pada Sandara Park yang pura-pura tidak mengenalnya.
"Jadi, kemana saja kau selama beberapa hari terakhir ini? Tidak membalas pesanku, tidak mengangkat telpon. Sama sekali tidak menghubungiku?"
Jiyong tidak segera menjawab. Ia menahan senyum dan berusaha meyakinkan dirinya sendiri sekali lagi bahwa ia lebih menyukai Dara yang cerewet daripada Dara yang pura-pura tidak mengenalnya.
"Aku tahu apa yang kau pikirkan. Jangan coba-coba mengataiku cerewet," ancam Dara sambil menatap Jiyong dengan mata disipitkan.
"Hallo? Apa kau mau mulai menjelaskannya sekarang?"
Jiyong mengangkat wajah dan mendapati Dara sedang menatapnya dengan alis terangkat.
"Baiklah, maaf. Aku minta maaf," kata Jiyong hati-hati dan menyunggingkan senyum seribu watt-nya. "Maaf karena tidak bisa mengangkat telponmu, juga tidak membalas pesanmu, bahkan tidak memberi kabar sama sekali."
“Kau kemana saja beberapa hari terakhir ini?”
“Jeju.”
Dara mengerjapkan mata. “Jeju? Pulau Jeju?”
Jiyong mengangguk. “Sebenarnya itu urusan kerja ayahku, tapi aku mendapat telepon yang mengabarkan ayahku tiba-tiba jatuh pingsan ditengah rapat.”
“Oh.”
Jiyong mengangkat tangan. “Jangan khawatir,” sela Jiyong cepat ketika melihat ekspressi wajah Dara berubah prihatin. “Dia hanya kelelahan dan jantungnya memang dari dulu sedikit bermasalah. Jadi aku langsung terbang ke sana untuk menggantikan ayahku. Karena ayahku harus berisitirahat beberapa hari di rumah sakit, aku yang harus melanjutkan pekerjaannya.”
“Di mana paman sekarang?”
“Dia sudah sehat dan kembali bekerja seperti biasa,” sahut Jiyong, lalu mengangkat bahu dan tersenyum lebar.
Dara mengangguk-anguk, lalu menunduk memandang makanannya. Ia agak menyesali sikap gegabahnya. Marah-marah sendiri sebelum tahu apa sebenarnya yang terjadi.
“Park?”
Dara mengangkat wajahnya, lalu tersenyum. “Maafkan aku, yang sudah marah-marah padamu.”
“Aeeii, gwaenchana. Hheu, aku tahu sahabatku seperti apa. Jadi aku sudah terbiasa.” Jiyong meneguk air putih dihadapannya.
“Cih, oiya, apa kau bertemu dengan gadis-gadis Jeju cantik disana?”
Jiyong menjetikkan jarinya. “Ah, benar. Aku hampir lupa memberitahumu.”
“Apa?” Dara mengerutkan kening dan langsung was-was. Tadi ia hanya sekedar bertanya, tidak sungguh-sungguh ingin mendengar kisah cinta Kwon Jiyong dengan gadis Jeju disana atau gadis manapun.
“Aku punya teman di sana,” Jiyong memulai. “Namanya Bang Sung joon,"
Bang Sungjoon? Okay, itu bukan nama perempuan pikir Dara.
“Dia juga arsitek dan dia bergabung dalam proyek pembangunan hotel di sana. Tapi ketika aku dan ayahku bermaksud untuk menemuinya di Jeju kami diberitahu dia sedang berada di Seoul. Aku berhasil menghubunginya dan berjanji akan menelponnya lagi jika aku sudah kembali ke Seoul.”
Dara menunggu kelanjutannya. Ia belum mengerti arah pembicaraan Jiyong.
“Jadi, tadi aku menelponnya dan memintanya datang ke sini,” kata Jiyong ringan.
Dara mengangkat alis. “Ke sini? Maksudmu sekarang?”
Jiyong mengangguk. “Oh. Kau tidak keberatankan, Park? Aku yakin kau pasti akan menyukainya. Dia orang yang menyenangkan.”
Keberatan? Tentu saja Dara keberatan dan ia akan mengatakannya langsung kepada Jiyong.
“Apa tidak ada hari esok? Atau hari lainnya? Hari ini aku sedang tidak ingin berkenalan dengan orang asing.”
Jiyong heran melihat Dara mendadak kesal. “Sungjoon orang yang baik dan juga menyenangkan. Kau tidak usah cemas.” tambah Jiyong yang salah mengerti alasan kekesalan Dara.
“Kau kira aku keberatan karna itu?” balas Dara jengkel.
“Geu....”
“Ah, sudahlah! Lupakan saja.” potong Dara cepat.
Jiyong menggaruk kepala bagian belakangnya yang tidak terasa gatal sama sekali dengan tatapan heran. Dara tahu Jiyong mengharapkan penjelasan Dara. Dan sebenarnya ia kesal karena Jiyong seenaknya mengajak temannya bergabung dengan mereka. Ia sudah lama tidak bertemu Jiyong dan hari ini Dara ingin mengobrol berdua saja dengan Jiyong.
“Geunde...” Jiyong baru akan menjelaskan ketika ponselnya berdering. “Yeoboseyo? Ah, Sungjoon-hyung. Kau sudah sampai?”
Jiyong berpaling kearah pintu dan Dara dengan enggan mengikuti arah pandangnya. Ia melihat seorang namja memasuki restoran itu sambil memandang ke sekeliling ruangan. Jiyong melambaikan tangan. Namja itu melihatnya dan tersenyum.
“Aku akan berkenalan dengannya, tapi aku tidak akan lama,” kata Dara cepat. “Hari ini aku sedang tidak ingin berbasa-basi. Aku lelah.”
Jiyong tidak menjawab karena Sungjoon sudah tiba di meja mereka.
“Kwon Jiyong, apa kabar? Senang bertemu lagi.,” sapa Sungjoon gembira.
Jiyong berdiri, merangkul dan menepuk-nepuk punggung Sungjoon. “Aku juga senang bertemu denganmu lagi, Hyung”
Dara memperhatikan namja yang bernama Sungjoon itu dengan cermat. Namja itu dipanggil hyung oleh Jiyong, berarti umurnya satu atau dua tahun diatas Jiyong, wajahnya terlihat muda atau Jiyong yang terlihat tua? Dara menepis itu langsung. Namja itu bertubuh jangkung, rambutnya agak panjang belum termasuk gondrong. Syukurlah, karena Dara benci namja berambut gondrong. Matanya bulat, hidungnya mancung, rahangnya hampir tegas. Secara keseluruhan Sungjoon memiliki wajah yang menyenangkan. Dan menarik. Dara langsung memberi nilai delapan untuknya.
Tunggu! Ada sesuatu yang mengganggu. Dara mengerutkan kening. Namja itu seperti tidak asing. Tidak, Dara yakin ia tidak pernah bertemu namja itu sebelumnya, tapi ada sesuatu yang terasa tidak asing dari diri seorang Bang Sungjoon.
“Kenalkan, ini temanku....”
“Dara, Sandara. Park Sandara,” ucap Dara tegas, ia memotong dengan cepat ucapan Jiyong. Ia tahu Jiyong akan memperkenalkannya hanya ‘Park’ saja.
Dara mengalihkan pandangan dan mendapati Jiyong sedang menatapnya.
“Okay, dia Dara. Park Sandara. Park, ini Sungjoon, Bang Sungjoon,” Jiyong melanjutkan. “Teman baikku dari Jeju.”
Dara memaksakan seulas senyum dan menyambut uluran tangan Sungjoon. “Annyeonghaseyo,” sapa Dara pendek. Seperti yang sudah dikatakannya tadi, ia tidak berniat berbasa-basi.
“Panggil aku Sungjoon atau Joon saja,” kata Sungjoon. Ia tersenyum lebar, sambil sedikit membungkuk, sma sekali tidak menyadari suasana hati Dara. “Senang berkenalan denganmu, Dara. Oh iya aku harus memanggilmu Dara atau Sandara? Namamu terdengar unik, aku merasa baru kali ini ada nama orang Korea yang memiliki tiga suku kata.”
Alis Dara terangkat sedikit. Koreksi, nilai Sungjoon baru saja naik menjadi delapan setengah. Ia senang dengan pertanyaan ini, dari semua teman Jiyong atau Chaerin, tidak ada yang bertanya seperti ini jika mereka baru kenal. Mereka langsung mengikuti Chaerin dan Jiyong. Sekarang Namja yang berdiri dihadapannya ini tidak berniat memanggilnya ‘Park’ dan itu membuat Dara nyaman.
“Dara saja.” balas Dara.
Sementara Jiyong dan Sungjoon bertukar sapa, Dara terus memutar otak mencari tahu apa yang membuat Sungjoon terasa tidak asing, tapi tetap tidak mendapat jawaban. Dara tidak suka rasa penasaran. Ia tidak boleh penasaran karena rasa penasaran itu akan terus menggerogotinya seperti lubang pada gigi yang bisa membuat seluruh badan ikut sakit. Dan pada pertemuan pertama ini, SungJoon sudah membuat seorang Sandara Park penasaran setengah mati.
“Kuharap aku tidak mengganggu acara kalian,” kata Sungjoon, membuyarkan lamunan Dara.
“Ani,,Ani,” sahut Jiyong cepat, sebelum Dara sempat bereaksi. “Kau tidak tersesat kan? Restoran ini memang agak terpencil.”
Sungjoon menggeleng sambil tersenyum lebar.
“Duduklah. Kau sudah makan?” lanjut Jiyong. “Kuharap kau tidak keberatan makan makanan Filipina. Park.. maksudku Dara ini penggemar fanatik Nanipon.”
“Jeongmalyo?” tanya Sungjoon sambil melepaskan jaket hitamnya dan menyampirkannya ke sandaran kursi. “Aku bersedia mencoba makanan apa pun. Aku bukan tipe orang pemilih soal makan.”
Dara tersenyum acuh tak acuh, namun membuat catatan dalam hati. Nilai Sungjoon naik menjadi sembilan. Karena Dara menyukai namja yang tidak pilih-pilih soal makanan.
“Aku kurang menyukainya, terlebih lagi yang dia makan. Mengelupas kulit udangnya membuatku frustasi.” ucap Jiyong. Dan mendengarnya Dara hanya bisa mencibir dalam hati.
“Oh iya dia juga seorang tour guide, jika hyung penasaran dengan tempat-tempat wisata di Seoul, mungkin dia bisa menjadi tour guide-mu.”
Sungjoon tertawa kecil dan menggeleng-geleng.
“Kenapa anda menggeleng?” tanya Dara. Oke, Jiyong berhasil membangkitkan rasa penasarannya. Ia menumpukan kedua tangan di meja dan mencodongkan tubuh ke depan.
Sungjoon senyum menerawang. “Entahlah, mungkin karena aku terlalu sibuk bekerja.”
“Aeeeii, kau tahu, setiap dia terbang ke Seoul, tidak satu pun dia tahu tempat wisata di daerah Seoul,” kata Jiyong kepada Dara. “Jangan bekerja terlalu keras, hyung. Apa salahnya jika bersenang-senang juga di Seoul.” lanjutnya kepada Sungjoon.
“Jangan hiraukan dia,” sahut Sungjoon tanpa memandang Jiyong.
“Tapi jika anda mau, aku bersedia menemani anda. Tapi anda harus mengikuti prosedur dari perusahaanku.”
“Akan kupikirkan lagi,” kata Sungjoon.
Tiba-tiba Dara merogoh tas sandangnya dan mengeluarkan ponsel. “Yeoboseyo...... Mwo? Aisshhh jinjja.... ndhe, aratseo.”
“Mianhaeyo, aku ada urusan mendadak. Aku harus pulang sekarang.” kata Dara kepada kedua namja dihadapannya itu dengan dengan nada menyesal.
“Kenapa terburu-buru?” tanya Jiyong bingung
Dara mengenakan kembali jaket dan syalnya. “Aku akan menghubungimu lagi nanti, Jiyong-ie.” Ia menoleh ke arah Sungjoon, mengulurkan tangan dan tersenyum singkat.
“Senang berkenalan denganmu. Aku minta maaf karena tidak bisa mengobrol lebih lama. Maybe next time.”
Sungjoon menyambut uluran tangannya dan tersenyum. “See you next time.”
“See you.” Dara melambai kepada Jiyong dan Sungjoon, lalu ia keluar dari restoran.
•0•Forbidden Love•0•
•TBC•