VANILLA MILK
Acu Present
Cast Kim Jongin [Kai] – Ibu
Genre Family – Sligh Horror
Rating G
Length Ficlet
.
.
Cahaya keemasan sore itu sudah memudar sejak satu jam yang lalu. Kekuatannya yang mampu membuat orang merasa tenang sudah lenyap. Senyum di setiap wajah hilang, setiap jendela tertutup. Gelap memang menakutkan, perasaan mencekam memang kejam. Hingga tidak ada lagi manusia mau keluar dari persembunyian kala temaram itu hilang, kala hangat itu sudah berganti menjadi dingin yang pucat pasi.
Jongin berkeringat karena kepanasan diselubungi selimut, tapi tidak sedikit pun niat anak itu menyingkirkannya dari kepala. Ia tahu, jika pintu itu terbuka–tidak penting tertutup selimut atau tidak–ia merasa lebih aman bersembunyi di bawah kain itu. Tapi ia memang bocah yang penasaran. Perlahan, ia mengeluarkan jemari untuk mengangkat selimut yang menutupi sekitar wajahnya. Ia menatap kenop pintu, seperti kebiasaannya setiap malam.
Jangan berputar. Jangan berputar. Kumohon jangan berputar.
Kesunyian di kamarnya selalu pekat, dan Jongin sebenarnya benci itu. Kadang-kadang, ketika ia mendengar bunyi seperti kenop pintu diputar, ia merasakan jantungnya bertalu liar. Saat ini, menatap kenop itu saja sudah membuat jantungnya berdenyut kuat dan kencang, tetapi ia tidak bisa mengalihkan pandangannya dari kenop itu. Ia tidak ingin kenop itu berputar. Ia tidak ingin pintu itu terbuka. Tidak ingin.
Setelah beberapa saat, suasana masih sunyi senyap. Sangat sunyi. Kenop pintu itu tidak berputar. Jantung Jongin pun tak lagi berdebar kencang, karena kenop tidak berputar. Kini, ia merasa kelopak matanya terasa berat dan bisa memejamkan mata.
Apa mungkin Jongin terlalu senang? Ya, ia terlalu senang, karena malam ini kenop pintu itu tidak berputar. Ia merasa terlalu senang adalah sebuah kesalahan. Kesunyian itu tiba-tiba buyar, ketika kenop pintu kamarnya berputar. Seketika, Jongin langsung menarik selimut hingga menutup seluruh tubuhnya.
Saat itu, sosok bayangan besar berdiri di ambang pintu, dan memenuhi kamarnya. Seseorang itu masuk dan menutup pintu. Derap langkah yang berat seperti sebuah tank besar dan kuat, namun lamban, memenuhi telinganya. Menambah kecemasan dan ketakutan bocah berumur delapan tahun tersebut. Ia menahan napas dan berharap seseorang itu berpikir bahwa ia sudah pulas. Jongin kehabisan akal, ia mencoba memikirkan ide lain secepatnya, tapi tidak muncul ide apa pun di otaknya.
Jongin meremas sarung gulingnya dengan erat. Lalu, sebuah bohlam di kamar itu menyala dan menerangi setiap sudut kamarnya. Ternyata sosok itu adalah seorang wanita yang mengenakan mantel tebal dengan rambut dikuncir ekor kuda. Wanita itu memiliki wajah yang lembut, dengan garis-garis khas orang lanjut usia. Tapi sepertinya ia tidak setua itu.
Jongin bisa mendengar derap langkahnya yang semakin dekat. Tiba-tiba ia merasakan tenggorokannya sangat kering, peluhnya pun mulai bercucuran dari permukaan dahinya. Ia diam sejenak, untuk menetralisasikan napasnya yang kelelahan, akibat jantungnya yang berdetak dibatas normal.
Jongin bisa merasakan, wanita itu duduk di sebelahnya, di ranjang, dan itu membuat napasnya tercekat.
“Hai, jagoan Ibu,”
Jongin merasa suara wanita–yang menyebut dirinya Ibu–itu membuat perutnya sakit. Ibunya memang selalu berbicara dengan nada yang sangat manis padanya. Jantungnya mulai berdegup lebih kencang lagi, dan ia benci jika jantungnya mulai berulah seperti ini. Ia tidak suka perasaan yang timbul dalam hatinya, dan ia tidak menyukai ketakutan yang menguasai perutnya.
“Jongin,” seru wanita itu lagi dengan lembut.
“Ti–– tidak, Bu. Jongin tidak mau.” Akhirnya, ia mencoba berani membuka suara, meskipun dengan bibir yang bergetar. Ia terus menggeleng-gelengkan kepala di balik selimutnya, seakan menolak apa pun yang akan disuruh Ibunya.
“Jongin,” Ibu membalikkan selimut yang melindungi tubuh anak itu.
Jongin langsung duduk dan menghela napasnya. Ia menekuk kaki, dan memeluknya erat di dada. Ia mengubur wajah di lutut supaya tidak perlu melihat sang Ibu.
Ibu membelai kepala Jongin, dan jemarinya yang mulai kriput, menyisir rambut Jongin, berulang-ulang.
“Ibu, untuk malam ini saja, bisakah aku tidak melakukan hal rutin yang Ibu inginkan?”
“Ah, jagoan Ibu lucu sekali.” Ibu tersenyum, sembari terus menyisir rambutnya. “Sudah, jangan manja, cepat habiskan susunya, setelah itu baru kau boleh tidur. Minum susu saja kok susah. ckckck.”
Seperti biasa, mau tidak mau, Jongin harus menuruti apa yang ibunya inginkan. Ia mengambil alih gelas yang berisi susu itu dari tangan Ibu. Lalu, tangan sebelahnya yang bebas, menutup hidung, dan ia pun langsung meneguk susu itu hingga habis.
Asal kalian tahu, bukan rasanya yang tidak disukai Jongin, melainkan aroma susunya lah yang membuat Jongin tidak menyukai susu. Ia selalu berkata pada Ibunya bahwa aroma susu vanilla membuat kepalanya pusing. Tapi sang Ibu tidak pernah mempedulikan keluhan hati sang anak, karena menurut Ibu, susu vanilla sangat bagus untuk pertumbuhannya yang masih dini.
Setelah gelas itu sudah kosong, Jongin kembali memberi gelas itu kepada Ibunya. Ia sempat bergidik geli ketika memberi gelas itu kepada sang Ibu.
Ibu menggapai gelas itu dan meletakannya di atas meja yang terdapat di samping ranjangnya. Kemudian, Ibu kembali mengembangkan senyumnya, bahkan senyumnya terlihat bangga kepada sang buah hati.
“Ini baru jagoan ibu, hanya minum susu saja, kenapa harus bersembunyi?! Aigoo.”
Jongin hanya menggedikan bahu, lalu ia merebahkan tubuhnya pada posisi bantal yang menurutnya sudah nyaman. Kemudian, menutup seluruh tubuhnya dengan selimut. Tepat pada saat itu, Ibu hanya bisa tersenyum. Ibu pun berjalan keluar dari kamarnya, setelah mematikan lampu kamar dan mengucapkan selamat malam.
~End~