home_icon
SIGN IN
SIGN UP
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
LOUNGE
HOW IT WORKS
HOW TO BE DFF OF THE WEEK
TERMS OF USE
CONTACT US
  • Latest
  • Most Viewed
  • Most Loved
  • A-Z
  • My Fanfiction
  • My Subscriptions
  • My Subscribers
  • Create New Fanfiction
Fan Fiction > 99% Devil

99% Devil

Share:
Author : ayanuriska
Published : 20 May 2015, Updated : 05 Jul 2015
Cast : Kai, Park Yoochun, OC
Tags :
Status : Ongoing
1 Subscribes |4775 Views |2 Loves
99% Devil
CHAPTER 5 : Prologue - UNWANTED

“Kau belum menjawab pertanyaanku.”

Iris cokelat terang itu tetap memperhatikan butiran putih yang jatuh perlahan dan berkumpul di sela-sela kusen jendela. Kepalanya bergerak sedikit, tetapi tidak sampai mengubah posisi fokusnya. Hanya pemikiran wanita itu saja yang berpindah arah. Dari pernikahannya yang gagal, menuju betapa hangat musim dingin tahun ini.

Begitu hangat hingga rasa sakitnya menghilang.

“Hyunjin-ah…”

Suara baritone itu menggugah kesadarannya. Ia lantas menata wajah hingga menghadap si empunya suara. Sudut-sudut bibirnya tertarik beberapa saat kemudian, seolah menjawab pertanyaan tentang keadaan yang dilontarkan sorot tajam itu. Ada jeda lima detik bagi Hyunbin untuk membalas senyum polos itu.

“Aku hanya ingin memastikan keadaan adikku. Itu saja.”

Hyunjin mengangguk. Pelan, tetapi mewakili jawaban atas keingintahuan pria itu. “Tak perlu khawatir, Oppa. Kami baik-baik saja.”

Tidak ada respon dari Hyunbin. Bahkan bibirnya tidak bergerak sama sekali, sekalipun iris hitam legamnya menatap lurus ke arah makhluk mungil yang ada di dalam dekapan Hyunjin. Bayi itu… Kulit kemerahannya seperti warna pipi adiknya ketika ia goda. Hanya itu. Tidak ada bagian Hyunjin lain yang pria itu temukan, karena raga Kim Jongin ada di sana.

Bayi itu tidak lebih dari refleksi pria yang telah menyianyiakan adiknya.

Wae?” Kakak laki-laki itu bergumam, tetapi nada yang digunakan seperti menyindir. “Dia telah meninggalkanmu, Hyunjin-ah. Dan aku tahu kau bukan wanita bodoh yang masih mengharapkan pria brengsek itu. Tetapi mengapa kau masih… membawa-bawa namanya?”

Hyunjin terdiam sebentar. Kakak lelakinya memang telah mempertanyakan pertanyaan yang sama berulang kali. Bahkan sebelum bayi dalam pelukannya hadir di dunia ini, Hyunbin telah merecokinya dengan pertanyaan itu. Alasan mengapa ia membawa nama Jongin. Alasan mengapa ia menghadirkan kembali Jongin dalam kehidupan barunya. Alasan mengapa nama itu menjadi milik bayinya.

“Aku ingin anak ini tumbuh seperti Jongin, Oppa.”

Wanita itu lantas mengusap puncak kepala anaknya, pelan dan penuh kasih sayang. Perasaan benci yang sempat terselip dalam hati Hyunjin di awal kehamilannya menguap entah ke mana. Dan kini, dalam hatinya hanya ada Jongin kecil dan aura hangat yang disebarkan bayi mungil itu.

“Apa dia juga memukul kepalamu, huh?” Hyunbin berusaha sebisa mungkin untuk tidak berteriak. Ia tidak ingin adiknya repot dengan membuat bayi itu terbangun. “Memberikan nama pria sialan itu pada anakmu tidak bisa dibenarkan, Hyunjin-ah. Bahkan jika otakmu itu sudah rusak parah.”

Hyunjin menanggapi ucapan kakaknya dengan senyum simpul. Ia tidak menyalahkan Hyunbin, tetapi tidak juga membenarkan. Pria yang masih menatapnya tajam itu hanya tidak tahu. Hyunbin tidak tahu siapa yang mengubah Jongin-nya menjadi kasar, atau bengis, atau sederet perilaku negatif lainnya. Tetapi ia tahu dengan pasti siapa dia.

Hyunjin bahkan masih mengingat mata merah itu sejelas ia menatap bola mata saudaranya.

“Jongin yang kukenal sangat baik hati, Oppa. Jongin yang kukenal selalu berperilaku lembut kepadaku. Jongin yang kukenal sangat menyayangiku.” Hyunjin berkata sembari menggerakkan ibu jarinya untuk menyentuh ujung hidung Jongin kecil. “Aku ingin dia tumbuh seperti Jongin yang kukenal. Bukan Jongin yang tak kukenal.”

Kai.

Hati Hyunjin yang menyebut nama itu kembali memekik keras. Iris yang awalnya terfokus pada buah hatinya, kini berpindah cepat pada Hyunbin. Perasaan benci yang meledak-ledak adalah sesuatu yang ingin dihindari wanita yang kini telah resmi menjadi seorang ibu. Ia tidak ingin membenci anaknya karena nama itu. Hyunjin tidak ingin membenci Jongin kecil. Tidak lagi.

Oppajebal. Percayalah padaku kali ini. Aku tid─”

“Setelah apa yang terjadi dengan pernikahanmu?” Hyunbin menyela. Nada geramnya masih disembunyikan di balik lidah. “Aku sudah gila jika membiarkanmu mendaftarkannya dalam daftar keluarga kita.”

“Tetapi dia anakku, Oppa. Keponakanmu.”

Yoo Hyunbin berdiri dari kursi. Secara bergantian, pandangannya berpindah dari Hyunjin, menuju bayi yang memiliki fisik Jongin. Tidak ada perasaan iba di mata Hyunbin ketika memandangnya. Yang ia tahu hanyalah amarah dan kekesalan tak berujung pada ayah dari keponakannya. Dan definisi itu tidak bisa diubah, bahkan dengan air mata adik kesayangannya.

Titik.

“Bukankah sejak awal sudah kuperingatkan?” Hyunbin merapikan jas, lalu beranjak setelah mengulang perkataannya beberapa bulan yang lalu. “Perceraian adalah hal memalukan dalam keluarga kita. Sekalipun aku menerimamu kembali, hal itu bukan berarti aku menerimanya juga.”

Oppa…”

“Tidak.” Kali ini Hyunbin memicing, menatap adik perempuannya dengan amarah yang diumbar dengan jelas. “Dia tidak akan pernah diterima dalam keluarga Yoo. Titik.”

***

Sensasi asam manis bergumul di rongga mulut. Memicu seulas senyum untuk keluar dari persembunyiannya. Ini cukup, pikir wanita dengan apron biru tua itu. Setelah meletakkan sendok kecil ke bak cuci, ia mengambil sepiring pasta dan memasukkannya ke tengah-tengah lautan saus bolognese. Tangannya bergerak cepat, meratakan pasta beserta sausnya sebelum bau hangus tercium.

Selesai.

Pekerjaan utama di jam makan siang telah ia selesaikan dengan baik. Dua piring pasta dengan saus bolognese telah tersaji di meja makan sederhananya ─sebuah meja kayu persegi yang diapit dua bantal duduk berwarna biru langit. Melihat hanya ada dua piring lengkap dengan sendok-garpu, membuat wanita itu berpikir ulang. Haruskah ia membuat jus kesukaan anaknya?

Haruskah Hyunjin membuat jus jeruk juga?

Ting!

“Aku pulang!”

Suara nyaring itu menarik refleks Hyunjin, membawa tubuhnya untuk berbalik menghadap ke lorong pendek yang mengarah langsung ke pintu. Tangannya lantas melambai, sementara naluri keibuan menggerakkan kaki-kakinya demi menyambut si Jagoan Kecil. Seorang anak laki-laki yang mengenakan polo biru dongker itu berlarian dengan ceria, lalu memeluk Hyunjin yang duduk bersimpuh di tengah-tengah lorong.

Eomma! Eomma! Eomma!”

Mau tak mau, Hyunjin terkekeh. Ia menyentuh ujung hidung si Jagoan Kecil menggunakan miliknya. “Woaah! Anak Eomma sudah pulang rupanya. Kau ceria sekali, Jongin-ah. Apa kau bersenang-senang di sekolah?”

Jongin, anak laki-laki yang memiliki rambut kecokelatan itu, mengangguk-angguk bersemangat. Ia menghirup aroma mint khas ibunya kuat-kuat. “Eoh! Apa Eomma ingat dengan Choi Siwon?”

“Ya, Eomma ingat. Anak nakal yang sering mengerjai teman sekelasmu, kan?”

Lagi, Jongin mengangguk. “Aku berhasil membuatnya meminta maaf ke seluruh anak-anak yang pernah dia jahili. Seluruh sekolah! Bukankah aku hebat, Eomma?! Akhirnya aku bisa menjadi pahlawan seperti Superman!”

Hyunjin tahu betapa hebat anaknya. Wanita itu juga tahu betapa Jongin mengidolakan sosok super hero karangan Marvel, Superman. Dan ia mengetahui kejadian yang dimaksud oleh anak kesayangannya. Sesuatu yang berhubungan Choi Siwon dan permintaan maafnya yang menghebohkan seantero sekolah.

Dua jam yang lalu Jo-seonsaengnim, wali kelas Jongin, menelepon. Pria itu mengatakan bahwa Hyunjin tak perlu lagi khawatir pada anaknya. Ia tak perlu takut Jongin tak memiliki teman di sekolah. Karena kini, semua murid berbondong-bondong ingin mengenal Jongin, berusaha menjadikan anaknya sebagai teman. Hanya dengan dua kalimat yang Jongin sampaikan pada Siwon, semua hal berubah.

Drastis.

“Kau memang pahlawan Eomma, Jongin-ah!” seru Hyunjin sembari mencubit kedua pipi anaknya dengan gemas. “Kau adalah Superman Eomma!”

Jongin tertawa puas. Ia senang karena telah membuat ibunya tersenyum seperti sekarang. Mungkin, jika ibunya melihat kejadian itu secara langsung, senyuman lebar itu akan semakin bertahan lama. Andai ibunya melihat bagaimana wajah tegang Siwon saat berhadapan dengannya. Andai ibunya melihat anak laki-laki dari keluarga Choi itu menghentikan tingkah semena-mena dan berlutut meminta maaf.

Seandainya…

Pelan, Jongin merasakan pelukan ibunya meregang. Manik hitamnya mengikuti gerakan Sang Ibu yang berdiri tegak. Ia lantas berkata riang. “Eomma harusnya melihat sendiri bagaimana aksiku!”

“Tentu! Eomma ingin melakukannya jika bisa,” ucap Hyunjin sembari meraih tangan Jongin, lalu mengajak anaknya masuk ke ruang rengah. “Memang apa yang kau katakan pada Siwon?”

“Aku mengatakan padanya…” Jongin melepas genggaman ibunya, lalu mengambil dua langkah sebagai jarak. Kedua tangannya dilipat di dada, sementara dagunya diangkat agar memberi kesan angkuh yang kental. “Eomma bisa bayangkan Siwon ada di depanku. Ah! Misalkan Eomma adalah Siwon!”

Tawa Hyunjin tak bisa terbendung lagi. Wanita itu mengangguk, lalu berkata di sela-sela tawa lepasnya. “Baik. Eomma adalah Siwon.” Dengan mengubah suaranya menjadi lebih nyaring, Hyunjin mendalami perannya sebagai putra keluarga Chaebol itu. “Apa maumu, Jongin? Kau ingin menghentikanku?”

“Tentu, Choi Siwon!” teriak Jongin. Telunjuk kanannya digunakan untuk menuding ujung hidung Hyunjin yang jauh dari jangkauannya. “Kau harus berhenti menjahili murid-murid lain! Kau juga harus meminta maaf sambil berlutut di hadapan mereka!”

Hyunjin terpaku sejenak, tak tahu bagaimana cara menanggapi perkataan anaknya. Dan kebekuan Hyunjin tertangkap oleh Jongin. Anak laki-laki itu segera membenarkan apa yang menurutnya salah. Ia berkata bahwa harusnya Hyunjin mengangguk, berkata ‘Ya’ dengan patuh dan hormat, lalu pergi ke luar kelas dan mulai meminta maaf sambil berlutut.

Eomma tidak asyik sama sekali!” rutuk Jongin, kesal. Bibirnya yang mengerucut dan pipi yang menggembung menguatkan kekesalan anak laki-laki itu. “Eomma harusnya bisa melakukannya dengan baik!”

“Maaf, maaf.” Hyunjin berucap sambil mencubit pipi gembung Jongin. Wanita itu tak bisa menyembunyikan rasa gemasnya terhadap anak laki-laki di hadapannya. “Ah, ya! Eomma sudah membuatkan pasta kesukaanmu! Kau tahu, kan, kita jarang membuat pasta yang enak itu?”

“Benarkah?!”

Kembali berbinar dan melompat-lompat riang. Jongin melakukan kedua hal itu secara bersamaan. Sembari meneriakkan gabungan kata ‘Pasta’ dan ‘Enak’ berkali-kali, anak laki-laki itu melempar tasnya ke atas sofa sebelum duduk manis di salah satu bantal duduk. Kedua tangannya sudah menggenggam sendok dan garpu ketika ia sadar bahwa ibunya belum duduk di depannya.

Dengan menggunakan kedua tangannya, Jongin melambai-lambai. “Eomma, ayo duduk! Pasta ini pasti sangat enak! Aku sudah tidak sabar memakannya!”

Usai melepas apron dan mengembalikan benda itu ke tempatnya, Hyunjin duduk di hadapan Jongin yang telah siap menerjang pasta di piring tanpa ampun. Wanita itu mengucap selamat makan, kemudian mulai memakan pasta dengan senyum yang merekah. Makan siang bersama dengan Jongin adalah pelepas lelah di tengah-tengah pekerjaannya sebagai penjaga kasir toserba di pinggiran Jung-gu.

“Ini enak sekali, Eomma!” Jongin berucap riang, lepas.

“Kalau begitu makanlah yang banyak agar kau sekuat Superman!” ujar Hyunjin yang langsung ditanggapi dengan jawaban semangat dari Jongin. Wanita itu hendak mengambil suapan keduanya ketika ingat pada berita menghebohkan yang sempat dibicarakan rekan kerjanya. Kematian seorang Chaebol yang terkenal akan kedermawanannya. Ia lantas menyalakan televisi. “Syukurlah beritanya belum terlewat.”

“… datang ke rumah duka keluarga Ryu. Perdana Menteri mengungkapkan rasa bela sungkawa yang sebesar-besarnya kepada anak tertua Ryu Jun Gi dan berniat untuk mengikuti jejak Tuan Ryu dalam kegiatan sosial yang melibatkan anak-anak di panti asuhan se-Seoul. Beliau juga berkata bahwa…”

“Sayang sekali orang sebaik itu sudah meninggal dunia,” gumam Hyunjin. Dengusan kasar dikeluarkan Hyunjin kala melihat keluarga Ryu Jun Gi yang bergantian mengucap salam pada peti Chaebol dermawan itu. “Benar-benar disayangkan.”

“Dia orang jahat, Eomma,” celetuk Jongin. Anak laki-laki itu mengusap saus di sudut bibir menggunakan punggung tangannya. “Dia pantas mendapatkannya.”

Pantas… mendapatkannya?

Yoo Hyunjin kehilangan kata-kata. Ia ingin sekali memperingatkan Jongin tentang betapa kasar kalimat yang baru saja diucapkannya. Tetapi bagai terbekap tangan tak kasat mata, wanita itu tak bisa mengeluarkan suara. Ia hanya bisa melihat, mendengar, dan merasakan bahwa aura di sekeliling Jongin-nya telah berubah. Berubah menjadi sesuatu yang gelap, kelam, hitam.

Sesuatu yang ditakutkan Hyunjin sejak dulu.

Kai.

“Kakek itu punya tanduk yang sangaaaaaaaat besar!” Jongin tersenyum, menampakkan deretan gigi putihnya dengan bangga. “Karena sangat besar, tanduknya sampai keluar dari peti! Woah! Dia benar-benar pembohong terbesar di Seoul, Eomma! Dia bukan orang baik seperti yang Eomma katakan. Jangan percaya padanya, Eomma.”

Anak laki-laki itu menghabiskan sisa pasta di piringnya, sebelum kembali menatap layar televisi kecil di sisi kiri. Semua orang yang ada di layar televisi itu adalah pembohong besar. Tanduk jingga yang menyala merupakan tandanya, tanda kebohongan mereka. Tanda yang akan menyeret mereka ke suatu tempat yang sering dibicarakan Jo-seonsaengnim. Tempat terburuk untuk orang-orang terburuk di dunia.

Suatu tempat yang Jo-seonsaengnim sebut sebagai neraka.

“Kakek itu akan ditempatkan di neraka,” tutur Jongin sambil mengalihkan pandangan kepada ibunya. “Jo-seonsaengnim bilang, orang-orang ya─”

Membeku, terpaku. Jongin tak tahu apa yang harus ia lakukan saat ini. Yang anak laki-laki itu tahu, kelopak matanya telah terbuka lebar, selebar-lebarnya hingga ia tahu pemandangan ganjil yang terjadi pada ibunya. Tanduk kecil itu tumbuh dan semakin besar seiring dengan degup jantung yang Jongin rasakan menghimpit dadanya.

Eomma…” Jongin menatap takut ke arah tanduk merah darah yang kini berukuran lima kali lipat dari sebelumnya, sebesar tanduk domba gunung. “Eomma… mengapa… tandukmu tumbuh lagi? Apa… Eomma membenciku?”

***

Hangat.

Jongin merasakan kehangatan menyapu di sekeliling keningnya. Perasaan nyaman yang hanya ia rasakan setiap pagi. Setiap kali ibunya mengakhiri tidur lelap dengan tepukan pelan di pipi atau terkadang ujung hidung yang saling menyentuh. Jongin menunggu sentuhan itu. Jongin menunggu sentuhan kesukaannya. Tetapi yang ia dapatkan hanya sapuan hangat angin musim panas yang datang lebih cepat.

Mungkin ibunya belum bangun, mengingat ini hari libur.

Napas lelah lolos dari diri Jongin. Ia lantas membuka kelopak matanya, menampakkan iris hitam legam yang dibingkai oleh area putih kemerahan. Semalam, ia telah mencoba untuk tidur dan berhasil. Namun ketakutan kembali membangunkannya, seperti yang baru saja terjadi.

Dengan menggunakan kedua tangannya, Jongin berusaha lepas dari jeratan selimut. Kepalanya menengadah ke atas, ke arah jam dinding yang menunjuk angka delapan. “Eomma? Apa Eomma sudah bangun?”

Pertanyaan yang ganjil bagi anak laki-laki itu. Biasanya Jongin akan bertanya tentang menu sarapan atau pakaian apa yang harus ia kenakan. Tetapi mengingat apa yang ia dengar semalaman, pertanyaan itu menjadi cukup wajar. Jongin mendengar isakan itu. Isakan yang berlarut-larut hingga Jongin merasa lelah untuk terjaga demi mendengarkannya.

Eomma?”

Jongin memanggil lagi. Kali ini ia turun dari ranjang, berjalan keluar dari kamarnya, dan melangkah ke arah kamar Sang Ibu. Pelan, ia memutar knop pintu. “Eomma ada di dalam?”

Nihil.

Kamar yang berisi single bed, almari kecil dan sebuah meja rias itu kosong. Tidak ada tanda-tanda kehadiran ibunya di sana, meskipun aroma mint terasa pekat di dalam kamar itu. Dengan berat hati, Jongin menutupnya. Napas pendek kembali dihembuskan oleh anak laki-laki yang masih mengenakan piyama Superman itu.

Dapur, pikirnya tiba-tiba.

Kaki-kaki kecilnya berjalan cepat menyusuri lorong di saat hatinya meyakinkan bahwa sang Ibu berada di dapur. Ibu sedang memasak sesuatu untuk sarapan, ibu sedang menata piring untuk mereka berdua, atau ibu sedang membersihkan alat-alat yang digunakan untuk memasak. Benar, ibunya ada di dapur. Seperti biasanya.

Aroma pasta yang tercium sontak melebarkan senyuman Jongin. Anak laki-laki itu berlari, berbelok ke kanan menyusuri ruang tengah dan sampai di dapur. Di dapur yang kosong tanpa kehadiran ibunya. Hanya ada sepiring pasta dan sebuah kertas biru yang diselipkan di bawah piring di atas meja dapur. Dengan agak ragu, Jongin mengambilnya.

Sebuah kata tertulis di dalam sana.

Jongin tahu, di antara teman-temannya, hanya dia yang memiliki tubuh kurus. Jongin juga tahu, di antara teman-temannya, hanya dia yang tidak memiliki peralatan bagus untuk mengikuti pelajaran di sekolah. Tetapi Jongin juga tahu bahwa ia lebih pintar dibandingkan dengan teman-temannya. Ia lebih lancar membaca, menghitung, bahkan menghafal.

Jadi ia tidak akan salah ketika membaca kata dalam kertas biru itu.

—Mianhae.

Kini, kata putus asa tengah hinggap di dalam pikirannya, menimbulkan perasaan sesak di dada yang menyakitkan. “Eomma… Apa Eomma marah padaku? Ap… Apa Eomma tidak suka jika… jika… aku menyebut soal tanduk itu?”

Air mata mulai meleleh di setiap sisi pipinya. Tetapi anak laki-laki itu buru-buru menghapus jejaknya. Ia ingat perkataan Jo-seonsaengnim tentang menjadi seorang laki-laki. Bahwa laki-laki tidak boleh menangis. Bahwa laki-laki harus menjadi yang terkuat. Bahwa laki-laki harus melindungi perempuan.

“Aku tidak akan me… melakukannya lagi, Eomma. Ak… Aku berjanji.” Jongin yang tersengal-sengal menahan tangis, terus berjalan mengelilingi dapur, lalu ruang tengah dan berhenti sebentar di depan televisi sebelum kembali ke area dapur. “Ak… Aku tidak akan melakukannya lagi, Eomma. Bukankah… ak… aku sud… sudah menjadi anak yang baik? Aku sud… sudah menjadi pahlawan di sekolah. Eomma…”

Lelah, Jongin terduduk di lantai dan bersandar di dinding di sebelah lemari pendingin. Kedua kakinya dilipat, lalu diikat erat dengan pelukan tangannya. Wajah sayu itu tenggelam di antara kedua lutut, sebuah usaha yang dilakukan anak berumur tujuh tahun untuk terhindar dari tangisan atau ketakutan yang menghantuinya sejak kemarin malam.

Ketakutan untuk ditinggal sendiri.

Jongin kembali terisak. Tubuhnya bergetar hebat ketika teringat akan ketakutan itu. Ketakutan yang terjadi di sekolah. Ia dijauhi, dihindari, atau dianggap sebagai kuman yang menyebabkan penyakit menular. Tetapi cukup di sekolah. Jongin tidak akan membiarkan ketakutan itu muncul di rumah.

Ia tidak ingin ibunya pergi seperti teman-temannya.

“Aku… hiks… sudah menjadi anak yang baik.” Lagi, Jongin menyingkirkan air mata dari wajahnya. Ia lantas berdiri, lalu melangkah limbung ke meja dapur tempat sepiring pasta buatan ibunya menunggu. “Bukankah Eomma membuat hiks… pasta karena aku telah menjadi anak yang baik?”

Tangan Jongin terulur, membawa piring berisi pasta ke hadapannya. Sambil menggumam bahwa ia telah menjadi anak yang baik, Jongin memakan pasta itu. Namun alih-alih menggunakan garpu, anak laki-laki itu menggunakan tangannya. Ia meraup beberapa pasta, memasukkan ke dalam mulut, dan mengunci bibirnya rapat-rapat agar tidak ada pasta buatan ibunya yang keluar dari sana.

Pasta yang lezat.

Setelah habis, Jongin kembali mengisi rongga mulutnya. Lagi, lagi, lagi, dan lagi, hingga wajahnya memucat dan perutnya terasa mual. Ia sudah tak sanggup, ia ingin menyerah. Namun ini pasta buatan ibunya, pekik anak laki-laki itu dalam hati. Sayang, tanpa bisa dihentikan, Jongin mengeluarkan seluruh pasta yang berhasil ia telan sambil sesekali menangis memanggil-manggil ibunya.

Ia meminta maaf karena telah menyia-nyiakan pasta buatan ibunya.

EommaNa jalmothaesseo…”

Dia menganggapmu seperti kuman.

Eomma… jangan pergi…”

Dia sudah tidak peduli kepadamu.

Eomma…”

Dia sudah pergi.

EommaAndwae…”

Dia sudah meninggalkanmu.

Andwae!”

Akui itu, Jongin.

ANDWAE!”

Kau sendirian.

“AKU TIDAK SENDIRIAN!”

Benar, kau memang tidak sendirian.

Jongin buru-buru mengangkat wajah. Dan hal pertama yang ia lihat adalah sosok berjubah hitam yang sedikit lebih tinggi darinya. Dia berdiri tegap di depan lemari pendingin, sementara mata merah darahnya mengarah lurus menusuk iris hitam legam Jongin. Membuat anak laki-laki itu mematung, tanpa bisa bergerak.

Aku ada di sini, bersamamu.

Setelah bertarung mati-matian melawan keraguannya, Jongin berhasil melontarkan sebuah pertanyaan dengan nada yang bergetar. “Kau… siapa?”

--------------------------------------------------------------------------------

99% Devil

Cut

--------------------------------------------------------------------------------

PS:

Semoga kalian menikmati 99% Devil Prologue ^^!

Makasih karna sudah baca cerita ini ^^!

Kritik dan saran tetap ditunggu ^^!

--------------------------------------------------------------------------------

Warm hug from Mars,

@ayanuriska

--------------------------------------------------------------------------------

POPULAR FANFICTION

BERITA PILIHAN

COPYRIGHT 2024 DREAMERS.ID PUBLISHED BY DREAMERS NETWORK