Terkadang yang dibutuhkan anak manusia untuk bertemu dengan seseorang adalah waktu yang tepat dan sejumput kebetulan. Lalu kebetulan itu akan membawamu ke sebuah cuplikan cerita hidup yang tak terduga. Bagaimana bisa? Tentu bisa.
Begini ceritanya, Senin pagi yang lalu, dalam perjalanan menuju tempat kerja aku tak sengaja bertemu dengan pria ini, Minho namanya. Awalnya aku tak sadar dalam bus yang aku tumpangi waktu itu ada dia juga. Setelah beberapa saat ada seorang pria yang sempat memperhatikanku secara seksama dari tadi, perkiraanku ‘ Ah, another weirdos’. Hingga pada akhirnya pria tadi bertanya, ‘Hani, kamu Hani bukan?’
Eh, dia kan..
‘Minho ya?’ balasku ragu.
Sekilas aku hampir tak mengenalinya, Minho memakai kacamata dan tampak kumis tipis sudah mulai menghiasi wajahnya. Sang waktu jelas punya andil dalam perubahan fisik setiap orang, tak terkecuali Minho yang terakhir aku temui adalah 10 tahun yang lalu. Saat kelulusan Sekolah Menengah Pertama.
Dalam ingatanku Minho adalah ketua kelas yang keren, pada masa itu yakni ketika seorang cewek masih di bangku SMP definisi cowok keren adalah cowok yang jago olahraga ditambah dengan postur tubuh yang oke lalu bonus muka cakep. Dan bisa dibayangkan setiap dia turun ke lapangan hijau, sebagai kapten kesebelasan, akan banyak mata yang memberi perhatian pada sosoknya. Terutama mereka, murid-murid cewek yang mengaku-aku sebagai fansnya bakal bersorak sorai histeris mirip kesetanan massal. Diantara cewek-cewek itu ada aku yang menyempil, sedang mengidola. Dulu, aku cuma bisa memperhatikan dia dari jauh bahkan kadang berkhayal bagaimana kalau bisa jadi kekasihnya. Kalau ditelaah lagi itu memang tindakan yang wajar dilakukan cewek ABG kalau lagi suka seseorang tapi nggak berani bilang ke orangnya.
‘Sekarang kerja dimana?’ tiba – tiba Minho bertanya, mengagetkanku yang sedang melamun sejenak, menggali memori masa lalu.
‘Aku? Sekarang aku jadi guru SD, ngajar anak-anak kecil gitu.’ Jawabku spontan. ‘Kamu?’
‘Wartawan, wartawan olahraga tepatnya. Hehe’ tawa renyahnya ikut mengiringi jawabannya.Tak lama, Minho turun dari bus, melambai ke arahku dan tersenyum.
Pada detik itu aku baru sadar bahwa senyum itu masih sama, senyum lebar dengan deretan gigi yang yang rapi. Tanpa kusadari senyum idiot ala ABG kasmaran sudah bertengger di mukaku saat memandangi sosok yang mengenakan jaket merah itu menghilang masuk ke gelanggang olahraga.
~~//~~
Esok hari, tak disangka aku bertemu kembali dengan yang namanya Minho itu. Senang? Tentunya iya, kapan lagi bisa ditemani makhluk pujaan saat perjalanan menuju tempat kerja. Sepanjang perjalanan kami saling tukar cerita satu sama lain. Mulai dari pekerjaan, teman kerja yang menyebalkan, atasan yang resek dan kadang disisipi cerita-cerita dari masa lalu.
‘Eh kamu ingat Rita? Teman sebangkumu itu lho.’ Minho bertanya.
‘Oh, Rita, ingat dong. Apa kabar ya dia sekarang?’ Aku masih mencoba mengingat-ingat muka Rita.
‘Sekarang dia jadi Junior Chef di sebuah hotel top. Beberapa waktu yang lalu aku ketemu dia.’ beber Minho.
‘Oh ya, wah keren. Nggak nyangka dia bisa kerja jadi Junior Chef, padahal..’
‘Padahal, dia tuh cuma jago makan dari dulu. Iya, nggak nyangka.” Imbuh Minho.
‘Aku juga nggak nyangka kalau kamu juga bakal jadi kuli tinta, prediksiku salah rupanya.’
‘Memang prediksimu apa?’ Minho menatapku penasaran, mata bulat besarnya fokus padaku.
Aku tak siap menjawab dan aku tak siap juga dengan tatapannya. Seolah nafasku tertahan dan tak tahu arah keluar dari paru-paru.
‘Eh awas,’ tiba-tiba Minho menahan tas besar yang hampir jatuh menimpaku.
Aksi salah tingkahku berhasil terselamatkan dengan insiden itu, begitu pula kepalaku yang selamat dari timpaan tas. Karena ada si penyelamat.
~~//~~
Hari berikutnya, jika tak salah ingat, hari itu hari Rabu. Pagi yang cerah di hari Rabu, aku ingat betul di hari itu aku begitu semangat untuk berangkat kerja. Sedikit meluangkan waktu untuk dandan. Iya, sebelumnya aku jarang dandan. Malam sebelumnya pun ribet sendiri mau pakai baju apa. Iya, sebelumnya aku juga tak pernah ambil pusing soal outfit kerja. Kelamaan jomblo terkadang membuatmu malas mengurusi penampilan.
Bus yang kunanti datang. Begitu naik ke bus dan duduk di deretan bangku belakang , aku menanti. Menanti dia naik ke bus ini dan duduk di sebelahku. Dalam kepalaku sudah ada bayangan bak potongan film romantis. Minho datang dengan senyum megawattnya menuju ke arahku, melambai dan menyebut namaku. Akan tetapi, zonk, yang ditunggu ini tak kunjung datang. Aku memberengut seketika tahu di halte tempat Minho biasa menunggu bus pun dia tak ada di sana. Aku merutuk dalam hati karena tak sempat meminta nomor handphonenya tempo hari.
Hari Rabu berakhir dan Kamis pun menjelang. Dengan pegharapan yang sama, aku berdoa dalam hati untuk bisa bertemu Minho lagi hari itu. Namun harapan tak selalu jadi kenyataan. Dia tak muncul, seperti kemarin.
~~//~~
Pagi hari di hari Jumat, hari terakhirku mengajar sebelum Spring Break. Tak biasa, aku berangkat lebih awal dikarenakan rapat guru mendadak. Dengan hawa kantuk yang masih melekat, mataku ingin sekali meresume tidur. Di pojok bangku bus yang aku tumpangi, aku terkantuk-kantuk sambil memandangi keluar jendela.
‘Annyeong, tumben berangkat jam segini’ sebuah suara familiar mengagetkan. Entah sejak kapan Minho sudah duduk di sampingku.
‘Lhoh, kok kamu jam segini sudah berangkat?’ tanyaku spontan, terbebas dari rasa kantuk.
‘Iya, di gelanggang olahraga sedang ada event, jadi aku datang sepagi mungkin agar bisa interview pemain yang sedang latihan’
‘Oh, begitu,’ aku menggangguk perlahan, menyimpan informasi ini dengan rapi. ‘ Oh ya, aku boleh minta nomor handphonemu?’ . Crap. Tiba tiba pertanyaan ini muncul tanpa terencana.
‘Ok, boleh, boleh.’ Jawabnya enteng.
Serasa pengen sebar confetti saking senangnya. Minho merogoh isi tas punggungnya, mencari si handphone.
‘Sebentar ya, oh iya hampir lupa,ini untuk kamu’ dia mengeluarkan sesuatu bersampul putih dari dalam tasnya. Lalu disodorkannya benda itu kepadaku.
“Datang ya,” ucapnya dengan malu-malu.
Mataku tertumbuk pada benda itu, tanganku menerimanya dengan hati hati. Perasaan tak enak mulai menyelimuti perlahan dan sialnya perasaan macam ini masih menjalari di hari berikutnya.
~~//~~
Hujan turun tak begitu derasnya di Sabtu sore ini. Firasatku hujan ini akan berlangsung lama, entah sampai kapan. Mataku menerawang, menembus kaca jendela yang penuh titik hujan. Kupikir sebuah kebetulan memang memiliki kemungkinan yang tak terbatas. Dan kebetulan aku bertemu dengan Minho membawaku pada posisi ini. Di saat one sided love tak memiliki akhir yang aku harapkan.
Aku menghembuskan napas panjang, mencoba mengeluarkan perasaan tak enak di dada. Namun, perasaan ini tak serta merta hilang. Terlalu mudah jika betulan hilang. Sekilas aku melirik undangan pernikahan yang tergeletak tak jauh dari tempatku berdiri.
‘Chukae, chinguya.’ Bisikku sesaat sebelum menyesap kopi di cangkir yang aku pegang. Pahitnya kopi menggeleyar dalam mulutku.
-END-
NOTE
Fanfiction ini murni imajinasi saya, baik si Original Character ataupun plot di dalamnya, dan tak dibolehkan untuk mengambil/plagiat cerita ini tanpa sepengetahuan saya ya...