“Kau bodoh!,”terdengar suara bentakan saat aku membuka mataku.
“Hah? Au,”aku terheran sekaligus kesakitan.
“Iya! Kau bodoh! Siapa juga orang yang sangat bodoh selain kau yang menantang kakak kelas yang mempunyai kekuasaan di sekolah dan selalu menyelesaikan masalah dengan memukul lawannya dengan segerombolan orang yang selalu ada untuk membantunya,”gadis yang ku sebut dongsaeng ini mengobati lukaku sambil terus mengomeliku yang tertidur lemas dengan kesakitan disekujur tubuh.
“Sudahlah, bisakah kau menjadi adik yang lebih pendiam?”
“Jika aku hanya diam, kau akan berbuat hal yang makin gila dan akan lebih cepat mati!”
“kalau aku mati, kau juga akan senang. Apalagi……”
“Apa? apalagi yang mau kau katakan? Kau akan berkata ‘jika aku mati, shin juga tidak akan memperdulikanku’,apa itu maksdumu?”
“Aaahh…,”aku langsung memalingkan tubuhku kearah tembok, mengalihkan pandangan mengancamnya.
-The Man Who Can’t be Moved-
“Hei!,”langkahku terhenti saat terdengar suara di sudut jalan.
“Kau lagi. Ada apa?,”tanyaku sambil mendekat menuju sudut jalan itu.
“Bisa carikan gadis bernama…………….,”tiiiiiiiiiinnnn, suara klakson mobil meniban suara laki-laki yang menyebutkan nama seseorang
“Siapa?,”pintaku lagi
“Kim shin Neul”
“Ha? Jinja?”
“Wae?”
“Aniya. Kapan kau membutuhkannya?,”tanyaku sedikit berharap semoga setelah ia bertemu dengan Shin, dia bisa cepat menghilang dari dunia ini.
“Secepatnya,”ucapnya tenang, masih tanpa ekspresi yang berarti.
“Tenang saja, secepat mugkin akan kutemukan gadis yang kau cari itu”
“Dan aku akan pergi,”perkataan yang sekiranya dapat menambahkan ucapanku.
“Ya ya ya. Makin cepat aku mencarinya, maka akan cepat pula kau pergi dari dunia ini kan?”
“Ne, dan makin cepat juga kau bisa mendapatkan Shin. Iya kan?,”Jantungku berderu kencang mendengar penjelasannya.
“Apakah hantu dapat membaca pikiran orang?”
“Tidak perlu melihat isi pikiranmu, dengan melihat raut wajahmu saja, aku sudah dapat mengartikannya.”
“Tapi…”
“Terserah apa katamu. Mau kau bertanya tentang bagaimana aku bisa mengetahui bahwa kau menyukai Shin dapat terlihat dari raut mukamu saja atau memang seorang hantu dapat membaca pikiran orang. Terserah apa katamu, tapi aku butuh bantuanmu secepatnya,”tanpa memberi komentar atas perkataannya yang panjang lebar, aku langsung meninggalkannya.
-The Man Who Can’t be Moved-
“Shin Neul!,”panggilku sebelum ia meninggalkan ruang kelas.
“Ne?,”perempuan dengan rambut yang hampir menutupi punggungnya itu membalikkan badan, rambutnya yang tergerai berayun mengikuti putaran tubuhnya.
“Kau bisa ikut denganku?,”tanyaku sembari membereskan beberapa buku yang belum masuk ke dalam tas, sekaligus menghilangkan rasa gugupku.
“Kemana?,”Shin mendekat mencoba meraih mataku yang terus menunduk.
“Menemui seseorang....,”kataku terhenti mengingat bahwa laki-laki itu bukan manusia lagi. “Intinya, laki-laki itu terus menunggumu sejak kematiannya,”lanjutku.
“Minho,”ucap Shin datar, diikuti hembusan angin yang membawa Shin pergi, ia berlari menjauh dariku. “Shin! Ya! Kau mau……”,aku berlari mengejarnya. Tangannya berhasil kuraih, ia berputar mengikuti tubuhku yang sengaja menahannya. Air mata mengalir di pipinya, apa salahku hingga membuatnya menangis? Apa karena hantu yang bernama Minho itu?
“Ya!,”panggil seseorang dari belakangku. “Apa yang kau lakukan pada adikku?,”tanya laki-laki bernama Jinki yang kutahu adalah kakak dari Shin.
“Aniya Sanbae. Aku hanya ingin mengajaknya bertemu dengan seseorang.”
“Siapa?,”tanyanya yang makin mendekati posisi kami
“Min….”,kata-kataku terputus dan menatap Shin yang dengan lantang mengucapkan nama laki-laki itu.
“Minho,”ucapnya lantang sambil menghapus air matanya.
“Minho kau bilang? Dia sudah mati, apa lagi yang harus ditemui adikku? Jasadnya yang sudah terkubur dalam tanah? atau sekedar melihat nisan yang tertancap diatas makamnya?,”Jinki terlihat tidak terima dengan niatan baikku untuk adiknya.
“Aniya sanbae. Ini benar-benar Minho. Ia terlihat. Ia terus menunggu Shin di sudut jalan dekat sekolah ini”
“Ya! Diam kau!,”Jinki menarik kerah bajuku. “Sekali lagi kau mengungkit nama Minho di depan aku atau adikku, ku yakin nasibmu akan sama seperti Minho,”Jinki melepaskan tangannya dari kerah bajuku sambil mendorong.
-The Man Who Can’t be Moved-
“Kau mau menghancurkan hidupku ya? Mau membuatku cepat mati?,”kutemui lagi hantu bernama Minho tanpa membawa Shin, yang aku bawa hanya kekesalan karena permintaannya
“Ani. Aku hanya butuh bantuanmu. Sekedar membawa Shin kesini”
“Iya! Aku membantumu tapi setelah itu nasibku akan sama sepertimu”
“Tidak mungkin. Jinki hanya memberi gertakan saja padamu”
“Terserah apa katamu. Tapi kalau sampai tiga kali aku tidak dapat membawa Shin kesini, jangan harap aku mau membantumu”
“Ne”
Dia hanya mengangguk tenang. Sedangkan aku terus berkompromi dengan otakku yang harus mencari cara untuk membawa Shin menemui Minho di sini tanpa sepengaetahuan Jinki atau dengan izin dari Jinki. Dasar hantu merepotkan, andai saja aku tidak menantang gang sialan itu, mungkin saja aku tidak akan bersembunyi di sudut jalan ini dan bertemu dengan hantu sialan yang merepotkan.
“Apa?,”bentakku kesal pada hantu yang bernama Minho itu, yang kini hanya bisa menatapku. “Sudah kubilang aku akan melakukannya, tapi hanya dalam jangka waktu tiga kali.”
“Kalau bisa lebih cepat. Lebih baik kau cari sekarang dan tidak hanya duduk disini,”perintahnya.
“Aarrrgghhh,”aku berdiri sambil mengacak-ngacak rambutku. Berjalan melewati sudut itu dan menuju rumah….
-The Man Who Can’t be Moved-
“Kau kenapa?,”tanya Janeul adikku, saat aku sampai di rumah
“Minho membuatku gila!”
“Minho?,”Janeul mendekatiku penuh tanya.
“Iya, Minho. Entahlah siapa orang itu yang mengaku mengenal Shin dan menyuruhku untuk menemuinya dengan Shin”
“Minho. Choi minho?,”Janeul kini menatapku, jauh lebih penasaran dari sebelumnya.
“Entahlah, mau dia bernama Choi Minho, Lee Minho, Park Minho, Kwon Minho, atau Kim Minho sekalipun. Aku tidak peduli dengan namanya. Aku hanya ingin ia cepat pergi dari dunia ini dan menghilang secepatnya”
“Bodoh,“Janeul memukulku dengan Koran yang ia pegang.
“Wae? Kenapa memukulku?”
“Dia tidak ada didunia ini. Jelas-jelas dia ditemukan tewas di sudut jalan dekat sekolahmu. Ini,”Janeul memberikan koran yang tadi ia pakai untuk memukulku. “Baca artikel ini,”tunjuk Janeul pada sebuah artikel yang bertuliskan, ‘Pelajar Tewas Dipukuli’.
‘Pelajar Seoul High School, Choi Minho (18) ditemukan tewas di sudut jalan dengan luka memar di sekujur tubuhnya. Menurut pengakuan para saksi mata, diperkirakan bahwa laki-laki yang menjabat sebagai Ketua Osis di sekolahnya ini, tewas dipukuli segerombolan pelajar dari sekolah yang berbeda saat menolong seorang gadis yang hendak diperkosa oleh segerombolan orang tersebut pada malam hari. Para pelaku dapat diringkus setelah pencarian 15 jam, yang ditemukan disebuah pub saat mereka sedang pesta sabu dan minuman keras. Para pelaku langsung digiring ke kantor polisi untuk pemeriksaan lebih lanjut’
“Seolma,”otakku masih mencerna sebuah artikel singkat yang menjadi headline news itu. “Kapan kau menemukan Koran ini?”
“Sebulan yang lalu. Saat kita masih di Gwangju, sebelum kita pindah kesini. Ini koran bulan lalu, hahaha, aku menyimpannya karena laki-laki yang bernama Choi Minho ini tampan dan baik. Tapi sayang nasibnya malang”
“Tapi sayang juga, ia hanya mencari Shin,”tambahku yang membuat ekpresi Janeul berubah 180 derajat.
“Maksudmu?”
“Aku bertemu arwah Choi Minho dan dia menyuruhku untuk mempertemukannya dengan Shin tapi, kenapa dia ingin bertemu dengan Shin ya? Memangnya mereka ada hubungan apa?”
“Kekasih”
“Apa katamu?,”tanyaku, maksudnya untuk meminta informasi lebih atas pernyataannya.
“Aku pernah membaca sebuah blog yang memberitahukan tentang hubungan Shin dan Minho”
“Kenapa kau tidak memberitaukanku, kau kan tahu kalau aku menyukai Shin”
“Ya! Aku tidak mengetahui bahwa Shin yang sering kau ceritakan adalah Shin kekasihnya Minho”
“Pantas saja dia tidak pernah memerdulikanku”
“Iya. Karena kau tidak lebih baik dari Minho. Untuk apa dia memerdulikan orang yang kasar sepertimu,”adik kurang ajar, gumamku menatapnya yang berlalu masuk ke dalam kamar.
-The Man Who Can’t be Moved-
“Sebenanrnya apa yang terjadi padamu?,”tanyaku saat menemui arwah Minho di sudut jalan tempat ia terbunuh.
“Jadi……”
Flash back
“Kau dimana? aku sudah menunggumu sejak dua jam yang lalu,”ucap Shin yang sudah gelisah karena sosok Minho tak kunjung muncul dihadapannya.
“Mianhae chagya. Ada rapat mendadak, aku mohon tunggu aku sebentar lagi,”pinta Minho yang sudah ditunggu oleh teman-temannya untuk memulai rapat.
“Ah. Besok aku ada ulangan fisika. Sedangkan aku tidak membawa bukunya. Aku bisa saja menunggumu sambil mempelajari pelajaran fisika. Tapi bagaimana?,”Shin mulai ragu, ia berharap bisa menunggu Minho sambil belajar untuk ulangan fisikanya, tapi apa daya, buku fisika itu tidak terbawa.
“Ok. Tetap tunggu aku disana, sekitar satu jam lagi selesai. Sampainya di rumah aku akan mengajarkanmu fisika. Ok chagya?”
“Andwe! Itu terlalu lama. Aku pulang sekarang, terserah mau kau suruh aku menunggumu atau tidak, aku akan tetap pulang sekarang”
“Tapi….chagya!,”tuuuuuut….teleponnya ditutup
End of Flasback
“Sebenanrnya aku menyuruhnya untuk menungguku karena segerombolan orang yang membunuhku itu mengancam ingin mengincar Shin. Aku mendapat surat dan telepon ancaman sehari sebelum kejadian itu terjadi”
“Lalu, setelah Shin menutup telponnya. Kau langsung mengejarnya?”
“Ne. aku langsung mencarinya, menelusuri jalan yang biasanya ia lewati saat pulang ke rumah. Disudut jalan inilah aku mendengar teriakkan Shin meminta tolong”
“Kau langsung memukul satu persatu orang itu hingga kau terbunuh?”
“Ani. Saat aku datang, untungnya Shin masih selamat dan segerombolan itu langsung menghadapiku. Dua diantara lima orang itu memegangi tanganku dan tiga orang yang lainnya memukuliku. Saat mereka sedang sibuk denganku, aku menyuruh Shin pergi. Awalnya ia menolak, tapi pada akhirnya Shin dapat meloloskan diri walalupun dibayar dengan nyawaku”
“Lalu ada perlu apa kau ingin menemuinya?”
“Itu….,”Minho menunjuk kotak kecil pehiasan yang berwarna biru. “Aku ingin memberikan ini saat ulang tahunnya. Sejak pertama kali kau bertemu denganku, itulah hari dimana Shin berulang tahun, tapi aku tidak bisa memberikannya. Aku tidak bisa menyentuh barang ataupun yang lainnya”
“Dari mana kau mendapatkan cinicn itu kalau kau tidak bisa memegang apapun?”
“Aku mendatangi kakakku dalam mimpinya untuk membawakan cincin yang sudah ku pesan”
“Jadi, cincin itu sudah kau pesan?”
“Ya. Sebulan sebelum ulang tahunnya, tepatnya dua hari sebelum kematianku”
“Tragis sekali hidupmu,”singkatku, menatapnya yang terlihat tegar menceritakan tentang kematiannya sendiri, seperti tidak ada hal yang ia sesali.
“Oleh karena itu. Aku mohon bantulah aku,”pintanya sekali lagi, kini dengan ekspresi penuh harap.
“Kalau sudah jelas seperti ini, pasti akan seceptanya aku membawa Shin kesini”
-The Man Who Can’t be Moved-
Kutelusuri jalan yang semakin sepi ini setelah aku menmui Minho tapi, terdengar beberapa langkah suara dibelakangku yang sepertinya mengikutiku.
“Hei kau!,”bentakku pada jalan sepi dibelakangku. “Jika kau berani, keluarkan batang hidungmu. Jangan hanya bersembunyi dan mengikutiku!”
“Naya,”tiba-tiba seorang laki-laki keluar dari balik pohon
“Jinki sanbae. Kau?”
“Pertemukan aku dengan Minho,”pintanya, membuatku menatap laki-laki yang berjarak seratus meter dihadapanku ini dengan penuh tanya.
“Untuk apa? Dia tidak membutuhkanmu. Dia hanya ingin menemui Shin,”ucapku tak acuh, apalagi mengingat perlakuannya padaku beberapa hari lalu.
“Cepat! Pertemukan aku dengannya”
“Baiklah…,”aku langsung memutar balik arah jalanku. Mengantarkan Jinki menuju tempat peristirahatan Minho yang terakhir.
“Mana dia?,”tanya Jinki heran yang sepertinya tidak dapat melihat Minho
“Kau tidak melihatnya? Padahal Minho berada di depanmu”
“Kalau begitu, tinggalkan aku sendiri disini. Aku ingin berbicara dengan Minho”
“Baiklah….,”tanpa basa-basi aku langsung meninggalkan Jinki di sudut jalan itu. Baru beberapa langkah aku tempuh, terdengar suara pukulan ke arah tembok dan teriakkan amarah dari mulut Jinki.
“Hei kau gila!,”teriakku pada Jinki yang terus memukuli tembok yang berada di depannya
“Laki-laki brengsek! Dia mebuat adikku menderita! Kau tau, Shin bunuh diri dengan menyayat urat nadinya,”Jinki terduduk, air matanya tercetak tepat di bawahnya. “Sekarang Shin dalam keadaan koma….,” aku melihat Minho hanya menunduk dan mengikuti gerakan Jinki yang terduduk di depannya.
“Bilang padanya, Shin akan baik-baik saja. Dia tidak akan mati hanya karena aku,”tukas Minho padaku
“Hei Jinki sanbae. Pulanglah, Shin akan baik-baik saja. Minho bilang begitu padaku”
“Bukannya dia mengaharapkan Shin mati!,”suara hantaman terdengar, sesaat setelah ia menyelesaikan kalimatnya, aku menampar Jinki. Emosiku meledak mendegar perkataannya yang tidak sepatutnya ia bicarakan
“Pulanglah! Tidak ada gunanya kau disini dan berteriak pada tembok. Jaga Shin dengan baik,”aku mendorong dan menariknya menjauh dari sudut jalan itu.
-The Man Who Can’t be Moved-
“Shin, kau sudah baikkan?,”tanyaku saat meihat Shin sudah terduduk di kasur rawatnya. Ia hanya mengangguk.
“Kemana oppa?,”tanyanya dengan tatapan kosong.
“Jinki sanbae pulang. Ada beberapa barang yang harus diambil”
“Bukan. Bukan Jinki oppa tapi, Minho oppa”
“Minho…”
“Bukannya aku sudah mati,”,tatapannya kosong dan hanya menatap kedepan. “Katakan kalau aku sudah mati”
“Ani. Kau masih hidup. Buktinya masih ada aku di sini,”aku memeluknya, terasa tetesan air mata jatuh kepundakku. Aku mentapnya dan menghapus air matanya.
“Aku ingin bertemu Minho,”ucapnya dengan tatapan yakin, seakan ia mengatakan kalau sekarang juga aku harus menemuinya dengan Minho.
“Ne. Kau tunggu di sini, aku akan meminta izin pada dokter dan Jinki sanbae”
Secepatnya aku keluar dari ruang inap mili Shin, tak terasa aku meneteskan air mata, entah apa yang kurasakan tapi, rasa sesak ini seakan membuatku marah pada Minho. Memang ia melakukan semua ini untuk keselamatan Shin, tapi kenapa Shin begitu bodoh. Kenapa dia tidak mencoba membuka hatinya untuk orang lain?
Izin dari dokter dan Jinki sanbae sudah kudapati. Nanti malam aku akan menemui kedua pasangan ini, semoga akan berakhir ba…hagia.
“Shin,”ucap Minho saat aku dan Shin sudah berada di sudut jalan ini. “Chagya. Gwenchana? Saranghaeyo Shin, yeongwoni saranghae!,”aku melihatnya, Minho, hantu yang bahkan tak mampu memegang apapun itu, kini ia memeluk Shin erat. Sangat erat sedangkan Shin hanya bisa menangis. Entah apa yang harus ku lakukan melihat kejadian ini. Aku luluh dalam situasi ini.
“Saranghae Minho oppa. Nado, yeongwoni sarangahe!,”ucap shin bergantian. .....
Aku meninggalkan mereka berdua. Hanya menjauh, aku tau mereka butuh waktu berdua untuk mengakhiri semuanya.
“Hei Kim Kibum!,”panggil Minho sepertinya. Aku memasuki lagi sudut jalan itu.
“Ne,”jawabku yang sudah mendapati kedua sejoli itu selesai saling menukar rindu.
“Jaga Shin baik-baik. Aku akan pergi. Tugasku selesai,”pamit Minho.
“Andwe! kau jangan pergi oppa! Andwe!,”Shin histeris di atas kursi rodanya, seakan ingin menahan Minho yang benar-benar akan pergi.
“Sssttt…,”Minho menyodorkan jari telunjukknya tepat di bibir Shin. setelah itu ia meraih tangan shin dan memakaikan cincin yang sudah dipesannya di jari manis Shin.
“Bisa kan kau menjaganya?,”tanya Minho lagi sambil menatapku.
“Tenang saja, aku akan menjaganya untukmu”
“Gomawo,”Minho kembali menatap Shin, kulihat ketenangan di wajah Minho. Sebuah ciuman melesat di bibir Shin yang menjadi hadiah terakhir dari Minho. Shin yang menutup mata saat Minho menciumnya, tak melihat sosok Minho yang lama kelamaan menghilang.
“Kemana Minho?,”tanya shin, saat arwah Minho benar-benar menghilang.
“Dia menghilang sesaat setelah menciummu”
“Jinja?,”tanyanya rintih sambil memegangi bibirnya. Tanpa berkata apa-apa kau langsung mendorong kursi roda yang ditumpangi Shin dan membawanya kembali ke rumah sakit. Walaupun Shin terus menderu untuk tetap tinggal di sudut itu tapi, aku terus mendorong kursi rodanya, walaupun air mataku juga jatuh karena ketidak mampuanku untuk menghibur gadis yang aku cintai.
-The Man Who Can’t be Moved-
“Chagya. Mianhae, aku tidak bisa mengantarmu mengambil baju pengantin untuk besok. Gwenchana?”
“Ne. Gwencahana chagya. Aku tau kau sibuk dengan pekerjaanmu. Jangan lupa makan, agar kau bisa lantang mengatakan ‘iya’ dipernikahan kita”
“Ne chagya. Kau juga jangan lupa makan. Ok? saranghae”
“Nado saranghae,”aku menutup telpon dari tunanganku, Kim Shin Neul yang besok akan resmi menjadi istriku.
Perjalanan panjang menuju tempat yang akan menyatukan cinta kami. Aku tak sabar untuk menemui calon istriku yang semenjak satu minggu tidak bertemu. Kemacetan bisa membuatku teterlambat untuk menghadiri pernikahanku sendiri.
“Shin!,”aku berteriak menatapnya yang terbaring penuh darah didalam mobil dengan balutan gaun yang satu bulan lalu kami pesan. Aku memeluknya erat, air mataku mengalir deras, “Shin bertahanlah, sebentar lagi kita akan menikah!,”ucapku terisak yang menatap wajahnya yang terus tersenyum walaupun kutau rasa sakit sedang menggerogoti tubuhnya.
Ia memegang wajahku, “Sarangahe…”,ucapnya
“Nado, nado sarangahe!,”ucapku lantang
“Sarangahe Minho…,”sekejap matanya menutup dan dia pergi untuk selamanya. Aku tersenyum senang. aku bahagia.
Aku menggendongnya menuju ambulance yang baru saja tiba, tersenyum lebar pada semua orang yang melihat kecelakaan mobil yang dialami Shin menuju pernikahannya bersamaku. Tapi air mata ini terus mengalir, deras. ‘Minho, aku hanya bisa menjaga Shin sampai sini. Mianhae, Shin dan kau memang ditakdirkan untuk bersama’.