“Biar aku saja yang menyelesaikan tugas ini. Kalian tinggal menunggu hasil dariku dan kupastikan nilai kalian tidak kurang dari 80.” Begitulah janjiku pada siapapun apabila mereka dititah untuk sekelompok denganku. Mereka tersenyum lebar saat mendengar pernyataan mutlak itu. Ini berdampak pada berita burung yang menyebar di kelas bahwa ‘sangat beruntung sekali bisa sekelompok dengan Chaerin’. Dua tahun setengah kulewati masa kuliahku dan semua rencanaku berjalan dengan baik. Aku tinggal melewati sebulan terakhir sebelum akhirnya masa ujian pra semester dan aku akan menemui libur musim dingin.
Ada yang berbeda dengan minggu ini. Seorang mahasiswa pindahan datang dari Gwangju dan mahasiwa itu berhasil menarik perhatian gadis-gadis di kelas (kecuali diriku). Aku hanya akan tertarik pada rumus persamaan massa jenis yang ditulis Dosen Tablo di papan tulis. Kugoreskan rumus-rumus indah tersebut di buku catatan. Kuhayati suara Dosen Tablo dengan hati nan lapang saat ia menjelaskan rumus itu. Tiba-tiba, Dosen Tablo berhenti menjelaskan dan memberi tugas kelompok karena dia dipanggil Dekan Yang. Namaku disandingkan dengan seseorang bernama Yong Junhyung. Entah kenapa nama tersebut sepertinya baru terdengar di telingaku. Setelah Dosen Tablo meninggalkan kelas, suasana kelas menjadi ricuh karena tugas tersebut. Partnerku tak berinisiatif untuk duduk di sampingku. Kuanggap dia menyerahkan tugas tersebut sepenuhnya padaku tanpa perlu mengkonfirmasi.
Tiga puluh menit berjalan dengan lancar. Soal-soal tersebut tidaklah sulit karena Dosen Tablo sangat lihai membuat murid-muridnya paham dengan mata kuliah Fisika Matematika. Aku hanya membutuhkan ketelitian untuk menentukan rumus mana yang tepat agar bisa menjawab soal-soal itu dengan sempurna. Kenyamananku terusik saat tiba-tiba seorang pemuda duduk di sampingku. Kupandangi pemuda itu dan tertulis nama Yong Junhyung di name tag kemejanya.
“Ada yang bisa aku kerjakan?” tanyanya penuh ramah. Senyum menghiasi bibir tipis pemuda itu. Aku menatapnya sekilas dan membuang pandangan agar bisa kembali fokus dengan soal di hadapanku. Tak kusangka, dia tiba-tiba merampas buku catatan yang kutindih dengan lengan kiriku. Kontan aku kaget dan refleks melirik tajam padanya.
“Oh, ternyata kau bisa punya emosi juga ya? Kukira kau hanya bisa berekspresi datar.” desisnya padaku. Aku tak ingin mengambil pusing dengan kata-kata kasar yang ia lontarkan padaku. Kuambil kembali buku catatanku dari tangannya dan kembali tenggelam dengan soal-soal tersebut.
Pemuda di sampingku tampaknya telah kehabisan kesabaran dan bersiap meninggalkanku. Kualihkan pandanganku padanya tapi yang terlihat dari pintu kelas yang terbuka adalah Dosen Tablo berjalan ke arah kelasku.
“Kau tetap duduk disini, sebentar lagi Dosen Tablo akan datang.” ujarku pelan. Dia menoleh ke arahku dan kembali duduk di sampingku.
“Aku tak bisa kau samakan dengan teman-teman lain disini. Sekarang katakan apa yang bisa aku kerjakan!” perintahnya padaku. Aku akhirnya menyodorkan salah satu lembaran soal padanya dan tak lupa kulingkari nomor-nomor soal yang akan ia kerjakan. Senyum lebar kembali menghiasi wajahnya. Ia dengan patuh mulai mengerjakan soal-soal yang kutandai.
###
Empat belas hari kemudian.
Setelah memastikan aku tidak memiliki jadwal kelas siang ini, aku bergegas meninggalkan kelas dan bergerak menuju rumah kaca. Aku tak sabar ingin bertemu teman-teman miniku disana. Sesampainya disana, hatiku mencelos beku dan terpaku. Ada sesosok lain yang sedang mengamati teman-temanku di rumah kaca. Siapa dia? Seingatku, rumah kaca ini tidak menarik perhatian penghuni kampus ini.
“Maaf, siapa anda?” tanyaku ragu-ragu. Orang yang kutanya lalu berbalik dan ternyata dia adalah orang yang tidak asing.
“Err, maaf Chaerin-ssi. Aku disini hanya penasaran dengan tanaman-tanaman ini.” jawabnya dengan gagap. Keringat mengucur deras di dahinya. Ah, ternyata manusia ini. Manusia pantang menyerah yang bersikeras menjawab soal-soal Fisika saat kerja kelompok terakhir.
“Chaerin-ssi? Bukankah kita tidak saling kenal? Seharusnya kau menyapaku dengan Lee Chaerin-ssi.” ujarku ketus padanya. Aku mengabaikan keberadaan pria di hadapanku dan lalu mencari sprinkler untuk mengairi temanku.
“Chaerin-ssi, aku telah menyiram semua tanaman disini. Sprinkler yang kau cari ada denganku.” ujar ringan pria itu. Aku tersentak kaget mendengarnya.
“Omo! Apa kau bermaksud menghancurkan teman-temanku?” tanyaku dengan suara setengah teriak padanya. Dengan reflek, aku memeriksa pot-pot tanaman di sekitarku.
“Hahahaha... teman? Jadi kau menganggap tanaman-tanaman yang tak pernah kulihat ini sebagai teman?” ujarnya sambil tertawa kecil. Aku berdecak kesal mendengar pernyataannya. Kulirik tajam wajah manusia itu. Apa maksud manusia ini sih?
“Aku bersedia menjadi temanmu apabila kau mau. Tidak! Aku akan menjadi temanmu walau kau pasti menolak keras.” lanjutnya. Pernyataan terakhir yang ia sebut sungguh bagaikan petir di siang bolong, Aku diam membeku tak tau harus merespon seperti apa.
Spring comes and flowers bloom
Summer comes and memories melt but…
###
*Aoko's Note :
makasih banyak untuk para reader yg menyempatkan diri untuk baca fanfic ini. Makasih juga yg selalu mengingatkan author untuk update chapternya. Thanks a lot :)
btw, judul vignette ini It's Cold. Aku terinspirasi dari lirik lagu Epik High feat. Lee Hi - It's Cold. Trus, konsep fanfic FATE ini adalah kumpulan vignette & ficlet, jadi sometimes per chapter nyambung terkadang nggak. Tapi, mereka semua related dengan ide utama dari FATE.
sekali lagi, aku butuh banyak kritik & saran demi perkembangan FATE. See U at another chapter :)
Warm Regard,
Aoko Cantabile