home_icon
SIGN IN
SIGN UP
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
LOUNGE
HOW IT WORKS
HOW TO BE DFF OF THE WEEK
TERMS OF USE
CONTACT US
  • Latest
  • Most Viewed
  • Most Loved
  • A-Z
  • My Fanfiction
  • My Subscriptions
  • My Subscribers
  • Create New Fanfiction
Fan Fiction > Koi No Yokan

Koi No Yokan

Share:
Author : Nuevelavhasta
Published : 23 Dec 2014, Updated : 23 Dec 2014
Cast : Suho EXO, Sehun EXO, Nam Choon Hee (OC)
Tags :
Status : Complete
0 Subscribes |717 Views |2 Loves
Koi No Yokan
CHAPTER 1 : Koi No Yokan I - END

Koi No Yōkan

Author             : Nuevelavhasta (Kuuru-K)

Genre              : Romance

Rate                 : PG-15

Cast                 : Kim Joon Myeon a.k.a Suho EXO, Oh Se Hun EXO, Nam Choon Hee (OC)

Disclaimer       : Fanfic ini asli punya dan buatan author. Terinspirasi dari salah satu istilah dalam bahasa Jepang yang jadi judul fanfic ini. No plagiat, copas, or steal it in any form, please.

 

Haaaiiiiii~ kembali lagi sama author gaje ini. Oremaniya yeorobun~ udah berapa lama kaga publish fanfic ya? Yah maklum, kesibukan kelas tiga SMA bener-bener menyita waktu buat buat nulis fanfic, ditambah taun depan author udah masuk semester enam yang berarti pemadatan jadwal, try out, ujian praktek, UAS, UN, go to university. Bye bye fanfic’s world, for a moment. Heuheuheu. Doakan author semoga diterima di universitas idaman author, oke? Buat fanfic satu ini, author gak mau komentar banyak dulu. Ja, kalo gitu silahkan dibaca…. Ma, di fanfic ini ada dua sudut pandang, semoga readers gak bingung. Jangan lupa komentar-komentarnya, segala kritik, saran author terima ^^

 

Happy Reading~!!

 

           

Edogawa District, Tokyo, Japan

26th December 2014. 10.38 AM

 

            “Engg…tidak, tidak. Eomma, bukan berarti aku tidak mau bersama eomma, tapi aku sedang ingin jalan-jalan dan aku juga harus mengunjungi temanku.” Kim Joon Myeon sedang menelepon ibunya seraya memilih-milih mantel yang harus ia kenakan hari ini. Mungkin juga beberapa aksesoris untuk musim dingin lainnya juga. Suhu di Tokyo masih sering jatuh di angka di bawah minus sepuluh derajat celcius. “Oke, aku minta maaf karena langsung menghilang setelah kebaktian bersama abeoji dan eomma kemarin. Ya ampun eomma, kau tidak perlu mengkhawatirkan anakmu ini. Aku sudah dua puluh tiga tahun dan aku ini pria. Cukup! Aku tidak ingin eomma mengungkit-ungkit status lajangku. Dah, eomma! Aku harap eomma punya waktu menyenangkan di Jepang bersama abeoji!” Joon Myeon segera menutup teleponnya sebelum ibunya memborbardirnya dengan rentetan kata yang makin cepat dan tiada henti.

            Joon Myeon sedang menikmati waktu libur akhir tahunnya di Jepang, tepatnya di apartemennya sendiri yang terletak di distrik Edogawa. Nama distrik ini mengingatkan pria itu pada salah satu tokoh utama dalam manga terkenal, Detektif Conan. Padahal sebenarnya nama distrik ini diambil dari nama sungai yang mengalir dari utara ke selatan di sepanjang tepi timur distrik ini. Distrik ini berbatasan dengan kota Urayasu dan Ichikawa di perfektur Chiba di sebelah timur, lalu Katsushika di bagian utara, Sumida dan Kōtō di bagian barat, dan pada satu titik bertemu dengan kota Matsudo.

            Di distrik ini juga terdapat banyak orang terkenal seperti Kazuya Kamenashi yang merupakan member boysgroup Jepang―KAT-TUN, lalu novelis Ira Ishida, Maki Goto yang dulunya tergabung dalam Morning Musume, seiyuu Romi Park, dancer professional di ReQuest Dancer Crew yaitu Reimy Jones, sampai ekonom dan professor―Kazuhide Uekusa.

            Kembali ke Joon Myeon. Dua hari yang lalu ia tiba di rumah orangtuanya di Jepang yang terletak di daerah Yoyogi―daerah perumahan yang ‘hijau’ karena sebagian besar wilayah pemukiman ini terletak di dekat taman walau Tokyo sendiri bukanlah kota yang hijau, dan relatif tenang dengan taman besar―yang tidak tenang―walau berada di antara dua lingkungan tersibuk di Jepang, yaitu Shinjuku dan Shibuya. Joon Myeon mampir ke rumah kedua orangtuanya yang berada di Jepang untuk mengikuti kebaktian Natal bersama. Begitu kebaktian Natal tanggal dua puluh lima selesai, Joon Myeon langsung kembali ke Edogawa karena hari ini ia akan ke Ikebukuro untuk menemui sahabatnya yang sudah terasa seperti adiknya sendiri, Oh Se Hun.

            Pilihan Joon Myeon lalu jatuh pada sebuah hooded trench coat warna hitam panjang dengan kancing besar-besar warna senada. Tidak lupa, syal rajut warna merah marun yang tebal hadiah dari ibunya saat Natal kemarin untuk membungkus lehernya. Joon Myeon mematut dirinya di depan cermin lemarinya. Tangannya yang sudah diberi hair gel bergerak lincah menata rambutnya. Nah, sekarang ia sudah siap untuk pergi ke Ikebukuro.

 

 

            Stasiun Ikebukuro tidak salah menyandang gelar sebagai stasiun tersibuk nomor tiga di Jepang dan nomor dua di dunia. Begitu Joon Myeon keluar dari kereta, yang ia lihat hanya lalu-lalang manusia-manusia yang sibuk dengan kesibukan mereka masing-masing. Begitu individualis. Jepang memang begitu.

            Suara pengumuman dalam bahasa Jepang dari pengeras suara berlomba dengan sahutan suara petugas kereta yang memandu orang-orang dan suara-suara manusia-manusia lain yang terdengar seperti dengung lebah. Tidak lama kemudian, terdengar bunyi mendesis menandakan sebuah kereta telah berangkat. Joon Myeon masih sibuk dengan ponselnya. Ia sudah berdiri di dekat pintu keluar sebelah timur stasiun, tempat dimana ia dan Se Hun akan bertemu. Tapi sampai sekarang ia belum melihat tanda-tanda keberadaan Se Hun di antara lalu-lalang manusia.

            “Dimana bocah itu?” gumam Joon Myeon.

            Pria itu lalu berinisiatif untuk menghubungi Se Hun via ponsel. Jari Joon Myeon memencet angka enam pada dial speednya. Bibirnya mengerucut sambil melontarkan gerutuan tak jelas karena hanya operator yang menjawab.

            “Hyeong! Hyeong! HYEONG!” Sebuah suara nyaring berlomba dengan keberisikan dalam stasiun. Rupanya Joon Myeon tidak memperhatikan seruan yang ditujukan pada dirinya dan masih asyik dengan ponselnya. Orang yang berseru tadi berlari kecil menghampiri Joon Myeon. “HYEONG!” serunya lantang seraya mengapit leher Joon Myeon dengan lengan kanannya. Tubuhnya yang tinggi jangkung memudahkannya untuk melakukan hal itu.

            Joon Myeon terperanjat dengan serangan tiba-tiba ini. “Aigo! Ya, inma! Ya! Lepaskan tanganmu ini! YA!” Joon Myeon memukul-mukul lengan kanan Se Hun yang membelit lehernya kencang sambil berusaha keras agar ponselnya tidak jatuh ke bawah.

            “Hyeong, jeongmal bogoshipeo!” bukannya melepas lilitan tangannya, Se Hun semakin erat membelit leher Joon Myeon. Ia bahkan melompat-lompat kecil sesekali saking senangnya.

            Dalam hati Joon Myeon merutuki tinggi tubuhnya yang hanya sekitar 173 cm. Jauh beda dengan Se Hun yang memiliki tinggi 181 cm. “Ya! Oh Se Hun! Mau mati?!” seru Joon Myeon susah payah.

            Mendengar itu, Se Hun akhirnya melepaskan lilitannya. Cengirannya melebar kala melihat Joon Myeon, hyeongnya itu terbatuk-batuk sambil memijiti lehernya dan memukuli dadanya. “Kau benar-benar terlihat seperti ahjussi, hyeong,” komentar Se Hun setelah ia mengamati Joon Myeon. Joon Myeon selalu tidak pernah lepas dari dandy style. Berbeda dengan Se Hun yang stylenya begitu ‘anak muda’.

            “Hentikan. Sebelum aku mencincangmu,” ancam Joon Myeon dengan mata mendelik tajam pada Se Hun. Ia kembali memasukkan ponselnya ke saku mantelnya.

            Se Hun tertawa keras. Mengabaikan ancaman Joon Myeon tadi. “Kau tetap terlihat tampan kok, hyeong,” puji Se Hun dengan sikap sok manis. Joon Myeon menyipitkan matanya menatap Se Hun. Bocah tengil satu ini sangat jarang bersikap manis, bahkan bocah tengil itu kadang lupa memanggil Joon Myeon dengan embel-embel ‘hyeong’. “Ya, ya, keumanhae hyeong. Jangan beri aku tatapan seperti itu. Oh, ayolah, hentikan itu. Aku benar-benar memujimu dengan tulus tadi. Serius! Jadi sekarang, mari kita nikmati Ikebukuro! Ah ya, kita juga harus saling bertukar cerita!” Se Hun merangkul bahu Joon Myeon. Menggiring pria itu untuk keluar dari stasiun yang berisik untuk menikmati Ikebukuro.

 

 

            Ikebukuro. Tempat yang dulunya dianggap sebelah mata di Tokyo kini menjelma menjadi tempat urban yang gemerlap dan menjadi salah satu pusat Tokyo yang terkenal. Gedung-gedung pencakar langit tersebar di tiap sudut kota. Jalanan selalu padat dan ramai oleh lalu-lalang kendaraan dan manusia. Ikebukuro juga populer sebagai tempat berbelanja sambil berhangout ria karena banyaknya toko, pusat perbelanjaan dan juga restoran. Simbol pergaulan anak muda Tokyo pun kemudian melekat di kota ini. Ikebukuro pun dikenal sebagai kawasan untuk berbelanja berbagai barang seperti elektronik, fashion, hiburan dan kuliner. Itu mungkin sedikit gambaran mengenai Ikebukuro.

            “Ma, ma, jadi kau mau pergi mampir kemana dulu, hyeong? Semua pintu terbuka untukmu–untuk kita, di Ikebukuro ini. Kau ingin mampir ke Tobu Department Store? Atau kota di dalam kota―Sunshine City? Atau Sunshine 60? Bic Camera? Atau ke patung Ikefukurō-zō hanya untuk sekedar berfoto? Hum? Jadi pilih mana? Aku siap jadi pemandu wisatamu!” Se Hun mengoceh dengan semangat. Tangan dan tubuhnya bergerak sesuka hati. Bicaranya terdengar agak aneh karena aksen Jepang mulai merangsek ke lidah Koreanya.

            “Cerewet sekali kau ini. Kau pikir ini adalah kali pertamaku ke Ikebukuro, hah?” balas Joon Myeon sengau. Merasa diremehkan.

            Se Hun kelihatan berpikir sambil mengacungkan jari-jarinya untuk berhitung. “Ini sudah yang keempat kalinya kau ke Ikebukuro,” ujarnya setelah menghitung.

            “Maka dari itu, kau tidak usah menganggapku sebagai turis di sini,” sambung Joon Myeon cepat.

            Se Hun meringis. Tangan kanannya kembali merangkul pundak Joon Myeon sehingga desahan kesal keluar dari mulut pria itu. “Araseo. Bagaimana kalau kita makan sekarang?”

            Joon Myeon sedikit mendongak pada Se Hun di sampingnya. “Eodi?” sahutnya cepat.

            “Wah, wah, kau berkata seakan-akan black cardmu sudah siap. Tunggu..aku salah. Black cardmu itu selalu siap. Eh, tapi apa masih bisa digunakan disini? Kau tidak bawa kartu kredit Jepang? Tunggu, tunggu, tunggu. Tapi aku tidak yakin kartu saktimu itu bisa digunakan nantinya,” oceh Se Hun tanpa jeda.

            “Maka dari itu aku tanya dimana kita akan makan, pabo!” maki Joon Myeon.

            Se Hun tertawa. “Ada jajaran makanan yang enak-enak di dekat Sunshine City Prince Hotel. Hyeong, sebaiknya kau bersiap dengan dompet dan perutmu!”

 

 

            Benar kata Se Hun tadi, makanan di sini enak-enak. Yah, walaupun ini sudah kali keempat aku ke Ikebukuro tapi ini pertama kalinya aku bisa mampir kemari dengan bebas. Kesibukan pekerjaan juga rengekan eomma yang selalu minta kutemani pergi, dan…ah ya! Semua kencan buta yang direncanakan eomma membuatku pusing dan tidak bisa mendapat me-time yang berkualitas.

            Apalagi masalah terakhir. Kencan buta, perjodohan. Aku tidak mengerti kenapa eomma begitu getol mengikutkanku dengan paksa ke acara kencan buta atau getol mengenalkanku pada kolega-koleganya. Aku belum setua itu. Aku baru dua puluh tiga tahun dan masih ingin menikmati hidupku yang…bebas dan tidak berkomitmen ini.

            “Hyeong, aku mau tambah,” celetuk Se Hun dengan mulut penuh bakundayaki.

            “Ambillah. Aku yang bayar,” balasku dengan mulut penuh bakundayaki juga.

            Sebagai hyeong, aku pasti yang bayar semua. Bocah tengil itu bahkan tidak sungkan untuk memasang tampang memelas di hadapanku atau bahkan mengambil dompetku diam-diam. Kata Se Hun tadi aku harus hati-hati dengan perut dan dompetku. Tapi aku tidak khawatir dengan dompet, melainkan perut. Perutku harus muat untuk mencoba jajajan-jajanan enak yang lain. Ngomong-ngomong, bakundayaki ini sama saja dengan takoyaki biasa. Hanya saja ukurannya…lebih besar! Isinya juga tidak hanya satu atau dua macam. Tapi berbagai macam isi dicampur jadi satu menghasilkan rasa yang enak. Ada rasa yang terdengar biasa seperti regular, cheese mix, telur goreng, bahkan kimchi! Beberapa rasa terdengar aneh tapi aku bertaruh itu tidak kalah enak.

            Puas dengan bakundayaki, kami mencoba jajanan lain. Beberapa darinya sudah akrab di lidahku. Sebut saja dango, okonomiyaki, mochi, onigiri, manju, dan taiyaki. Ugh, banyak makan jajanan tapi perutku belum penuh juga. Apa ini karena udara begitu dingin sehingga nafsu makan bertambah? Apa ada hubungannya?

            “Hyeong, aku masih lapar,” celetuk Se Hun setelah kami hampir mencicipi semua jajan yang berjajar rapi di sepanjang jalan tadi.

            Kini kami hanya duduk-duduk di kursi yang terletak di pinggir jalan. Membiarkan perut kami mencerna semua makanan yang masuk sambil mengamati lalu lalang orang-orang. Sesekali aku mendongak keatas. Berusaha menatap langit tapi gedung-gedung pencakar langit di Ikebukuro merupakan pengalih yang bagus.

            “Jadi kita akan kemana lagi?” tanyaku tanpa basa-basi. Percuma aku memarahinya. Atau melarangnya untuk berhenti makan karena aku sendiri juga masih ingin makan.

            Bisa kulihat senyum langsung terukir di wajah Se Hun. Tubuhnya yang jangkung itu langsung berdiri di hadapanku. “Mutekiya Ramen!” serunya dengan mata berbinar saat menyebutkan restoran legendaris itu.

            Aku berdecak. “Restoran itu hanya muat delapan belas orang dengan durasi mengantri rata-rata satu jam. Kau mau menunggu selama itu?” tanyaku meyakinkan Se Hun. Kadang Se Hun bisa jadi sangat plin-plan. “Di cuaca dingin seperti ini?” lanjutku.

            Se Hun mengangguk dengan penuh semangat. Oke, apalah dayaku.

 

 

            Sluuuurrrppp!!

            “Waaaaaa, daebak! Jinjja daebak!” Se Hun terus mengucapkan kalimat tiap kali satu sumpit ramen Mutekiya masuk ke mulutnya.

            Entah keberuntungan macam apa yang mengikuti dua pria lajang itu, keduanya berhasil masuk ke dalam restoran hanya dalam waktu lima puluh menit. Uap yang mengepul ke atas dari mangkuk ramen mereka masing-masing benar-benar ampuh untuk melelehkan rasa beku yang mereka rasakan di luar saat menunggu tadi. Bahkan di saat suhu benar-benar dingin, penikmat ramen Mutekiya ini tetap banyak. Mereka dengan rela mengantri dalam dingin demi sensasi dan rasa puas yang akan mereka dapatkan di restoran kecil ini.

            “Kau berkata seakan-akan baru pertama kali kesini.” Joon Myeon mengambil telur setengah matang di mangkuknya dengan sumpit dan memberikannya pada Se Hun. “Ambillah, aku tidak begitu suka telur setengah matang,” kata Joon Myeon seakan bisa membaca tatapan heran dari Se Hun.

            Se Hun terkekeh girang. “Ini memang bukan kali pertama. Tapi sangat jarang kita bisa kesini bersama-sama,”

            “Mm-hm,” sahut Joon Myeon yang berupa gumaman.

            Mereka berdua kembali melahap ramen mereka. Ramen Mutekiya memang enak―tidak, tapi sangat enak. Sup ramennya yang amat kental dan gurih sudah menyatu dengan serpihan daging babi yang telah direbus selama enam belas jam. Ditambah, daging babi yang disuguhkan begitu tebal ditambah pelengkap berupa telur setengah matang. Mie yang disajikan juga bertekstur kenyal dan agak tebal. Porsinya tentu besar dan pastinya, very thick and tasty, menjamin orang yang memakannya pasti kenyang.

            “Jadi apa kau tidak sibuk di akhir tahun ini?” tanya Joon Myeon pada Se Hun yang berprofesi sebagai model.

            Sudah sekitar tiga tahun Se Hun menetap di Jepang. Namanya yang merupakan model terkenal di Korea kini sudah melambung di Jepang. Tidak sia-sia ia membangun karirnya dari nol di negeri Sakura ini. Nama Se Hun mulai merambah ke negara lain. Sosoknya yang kemarin ada di New York Fashion Week dan Paris Fashion Week menjadi buktinya.

            Se Hun menghabiskan ramen yang ada di mulutnya sebelum angkat bicara. “Aniya. Aku berhasil membujuk manajerku untuk mendapatkan cuti dua minggu. Tawaran pemotretan dan undangan ke event-event makin menggila menjelang akhir tahun. Maka dari itu aku minta cuti. Aku butuh refreshing. Bagaimana denganmu, hyeong? Ada rencana untuk comeback cepat tahun depan?”

            Joon Myeon menenggak satu gelas kecil sake yang menemani santapannya. Berbeda dengan Se Hun, Joon Myeon berprofesi sebagai penyanyi dan baru-baru ini ia mencoba ranah seiyuu―pengisi suara di serial atau film animasi. Tapi selain dua profesi itu, Joon Myeon juga diketahui memiliki bisnis properti.

            Joon Myeon menatap ramennya lalu mengaduk-aduknya dengan sumpit. “Belum. Lagu yang kurilis di minggu pertama bulan ini menjadi penutup kegiatanku tahun ini. Aku juga belum punya pikiran untuk comeback. Bisnisku sepertinya menahanku.”

            “Woah!” Se Hun tersenyum lebar hingga matanya menyipit. “Betapa sibuknya kau! Penyanyi, MC, seiyuu, dan sekarang kau mulai jadi pengusaha. Kurasa kau harus mulai fokus pada satu hal, dunia entertainment atau pengusaha. Sayangi dirimu yang mulai menua itu, hyeong. Kau pasti sangat lelah,” kekeh Se Hun. Sebenarnya ia ingin menggoda Joon Myeon dengan bertanya kenapa pria itu tidak jadi model saja, tapi pasti Joon Myeon akan langsung menendangnya karena Se Hun tengah mengejek tinggi Joon Myeon.

            Mata Joon Myeon mendelik pada namja berambut coklat mengkilap yang duduk di sampingnya tanpa berhenti tertawa pelan. “Mworago? Aku ini hanya tiga tahun lebih tua darimu, bocah!” satu jitakan di kepala mengakhiri perkataan Joon Myeon.

            Se Hun meringis sambil mengusap-usap kepalanya yang terasa sakit. “Itu benar. Tapi dandy style-mu itu membuatmu terlihat seperti ahjussi.” Joon Myeon mendelik lagi. “Ahjussi yang tampan dan classy!” ralat Se Hun cepat sebelum satu jitakan kembali mampir di kepalanya.

            Joon Myeon berdecak pelan. “Kau tidak punya rencana kembali ke Korea, hum?” ia memilih untuk mengalihkan pembicaraan sebelum ia dan Se Hun berakhir dalam saling ejek dan sindir yang tiada henti. Lagipula berdebat nantinya juga akan sia-sia.

            Se Hun mengaduk-aduk mie-nya, tersenyum. Lalu menyuapkannya ke dalam mulutnya, menghabiskannya kemudian menjawab pertanyaan Joon Myeon. “Tidak pernah terlintas di pikiranku. Aku sudah nyaman berada di sini dan…kurasa aku….” Perkataan Se Hun yang menggantung membuat Joon Myeon penasaran. Alis Joon Myeon naik menunggu lanjutan dari ucapan Se Hun. “Kurasa aku…mulai jatuh cinta…” Se Hun mengakhiri ucapannya dengan nada menggantung pula.

            Mata Joon Myeon terbelalak antusias. “Jatuh cinta? Dengan siapa? Cantikkah dia? Apa dia model? Wanita biasa? Lebih muda darimu atau lebih tua darimu?” Joon Myeon memberondong semua pertanyaan yang terlintas di kepalanya.

            Se Hun tertawa pelan melihat reaksi hyeongnya itu. “Bukan dengan wanita―”

            “Kau gay?!” Joon Myeon terperanjat.

            “Tsk!” Se Hun berdecak dan hanya mendelik pada Joon Myeon. “Enak saja kau bicara, hyeong!” Joon Myeon terkekeh. “Dengarkan aku selesai bicara dulu, hyeong!” erang Se Hun.

            “Oke, lanjutkan!” Joon Myeon mengedikkan dagunya.

            “Aku jatuh cinta…” Se Hun kembali pada mode romantis. “Pada kota ini, pada Tokyo, pada Jepang.” Se Hun tersenyum tipis. Joon Myeon menatap Se Hun tidak percaya dengan mulut melongo seakan bertanya ‘kau-serius?!’. Se Hun yang menyadari tatapan itu segera menambahi. “Aku serius! Sudah lama aku jatuh cinta pada kota ini―pada Tokyo, dan pada Jepang. Tapi jika ada tawaran pekerjaan dari Korea, aku juga mau menerimanya, kok.”

            Joon Myeon mengangguk-angguk mengerti.

            “Kau tahu, hyeong? Namamu juga mulai terangkat di Jepang sejak kau menjadi seiyuu di salah satu serial anime populer di Jepang tahun ini. Kurasa itu adalah tanda bagimu untuk merilis lagu dalam bahasa Jepang dalam waktu cepat,” saran Se Hun.

            Selain itu, wajah tampan Joon Myeon juga mendukung walau tingginya tidak setinggi Se Hun. Bahkan Se Hun mengakui hyeongnya ini tampan meski ia tidak pernah mengatakannya. Hari ini, meski dengan pakaian sederhana, Joon Myeon tidak kalah tampan dari Se Hun. Rambut warna coklat gelap yang ditata berdiri dan sedikit berantakan, manik mata hitam yang menatap lembut, bibir yang diolesi lipbalm, dan kulit yang begitu putih membuat beberapa gadis tadi sempat mengalihkan pandangannya pada Joon Myeon.

            “Eo, akan aku pertimbangkan. Mengingat bahasa Jepangku masih belepotan,”

            “Bagaimana orangtuamu, hyeong?”

            “Baik-baik saja. Abeoji masih sibuk mengajar di Universitas Sungkyunkwan dan kesibukan lainnya bersama pegawai pemerintahan dan eomma masih getol menjebakku untuk mengikuti berbagai kencan buta dan mengenalkanku―tepatnya mempromosikanku―pada semua koleganya,” kata Joon Myeon cepat. “Aku tidak habis pikir kenapa eommaku begitu repot sendiri mengurusi status lajangku. Maksudku, aku baru dua puluh tiga tahun! Dia pantas bersikap begitu jika umurku sudah tiga puluh empat keatas! Apa dia sebegitu tidak sabarankah untuk menimang cucu?” dengus Joon Myeon.

            Tawa Se Hun pecah. “Ibumu hanya khawatir, hyeong. Sejauh ini mana ada skandal tentangmu dengan seorang wanita? Mungkin ibumu curiga kau ini ‘gay’.” Se Hun makin tergelak.

            “Enak saja kau!” Joon Myeon mengangkat tangannya seakan ingin memukul Se Hun.

            Se Hun tidak menghindar karena gerakan Joon Myeon sudah tertebak olehnya. Tidak mungkin Joon Myeon akan memukulnya dengan gerakan macam itu. Tawa Se Hun perlahan reda dan keduanya kembali menikmati ramen mereka.

            “Eh tapi…apa kau tahu apa itu ‘koi no yōkan’?” celetuk Se Hun.

            Joon Myeon memotong mie dengan giginya. “Mwo? Koi no yōkan? Apa itu?”

            “Itu frase yang terkenal di Jepang. Serupa dengan ‘love at the first sight’ tapi tak sama,” jawab Se Hun.

            “Lalu apa bedanya?”

            Se Hun mengeluarkan boardmarker warna hitam dari saku mantelnya dan memainkannya. “Seperti yang umumnya orang-orang tahu, bahasa Jepang untuk cinta adalah ‘ai’. Tapi ada kata lain untuk cinta, yaitu ‘koi’.” Joon Myeon diam memperhatikan, tanda jika ia ingin tahu lebih banyak. Se Hun lalu mulai menulis dua kanji untuk ‘ai’ (愛) dan ‘koi’ (恋) di meja. “Hyeong lihat? Dua kanji ini mengandung unsur yang sama, yaitu kanji ‘hati’ atau ‘kokoro’. Yah, jika hyeong mencoba memanfaatkan fasilitas di internet untuk menulis kanji ‘ai’ dan ‘koi’, hasilnya bisa berbeda.” Se Hun menunjuk kanji ‘kokoro’ yang ia maksud (心).

            Joon Myeon mengangguk mengerti. “Tapi apa beda dari ‘ai’ dan ‘koi’? Aku hanya sebatas tahu jika ‘ai’ dalam ‘aishiteru’ itu pernyataan cinta yang lebih serius, seperti mengajak untuk menikah, dan ‘daisuki’ sebagai pernyataan cinta umum.”

            “Kata ‘ai’ dan ‘koi’ memiliki perbedaan nuansa. Katanya, “Koi selalu menginginkan. Ai selalu mencintai”, namun pada dasarnya ‘koi’ lebih ke arah hasrat dan daya tarik seksual, sedangkan ‘ai’ adalah tentang cinta sejati. Semua cinta dimulai dari ‘koi’, namun hanya beberapa yang menjadi ‘ai’,” jelas Se Hun.

            “Jadi kira-kira apa artinya ‘koi no yōkan’?”

            Se Hun mengangkat tangannya yang bebas sebagai isyarat dia ingin melahap ramennya lagi. “Pada dasarnya, ‘koi no yokan’ mirip dengan ‘cinta pada pandangan pertama’, namun tanpa kesan sentimentil yang berlebihan. Dibanding merasakan cinta instan, ‘koi no yokan’ ini lebih mengarah pada perasaan yang muncul saat pertama kali bertemu dengan seseorang; perasaan jika orang tersebut kelak akan menjadi kekasih kita; bahwa kita dan orang itu kelak akan saling jatuh cinta. Dengan kata lain, ‘koi no yokan’ merupakan sebuah perasaan terhadap seseorang yang baru ditemui, bahwa kelak, di masa depan, akan ada hubungan istimewa antara kita dan orang itu,” jawab Se Hun seraya mengacung-acungkan sumpitnya.

            “Jadi perasaan itu bersifat pengetahuan intuitif  tentang masa depan? Perasaan itu harus menggambarkan situasi hubungan cinta dengan orang tersebut yang akan terjadi di masa depan dan tidak terjadi di masa kini?” tanya Joon Myeon untuk memperjelas.

            Se Hun menjentikkan jarinya. “Benar sekali!”

            Joon Myeon mengusap-usap dagunya. “Hm, menarik sekali. Tapi cukup sulit untuk diungkapkan dalam kata-kata, eoh?”

            Se Hun mengangguk singkat lalu menatap mie-nya yang sebentar lagi akan habis. “Ngomong-ngomong, kau masih disini saat malam tahun baru, hyeong?”

            Joon Myeon mengangguk. Membuat kuah mie-nya sedikit terciprat. “Eo, aku disini sampai pertengahan Januari. Wae?”

            “Ayo rayakan tahun baru bersamaku!” ajak Se Hun.

***

Taito, Tokyo, Japan

31st December 2014. 10.18 PM

 

            Kuil Asakusa Kannon Sensoji di malam tahun baru sangat ramai. Semua orang berbaur jadi satu disini. Ada rombongan keluarga, gerombolan anak muda yang datang bersama teman-temannya, pasangan-pasangan kekasih, juga mereka yang sendiri, orang-orang asli Jepang maupun turis mancanegara juga datang kemari. Sudah jadi tradisi orang Jepang untuk pergi ke kuil untuk merayakan tahun baru. Biasanya mereka berdoa di kuil, membeli jimat, menulis doa, melihat ramalan, atau hanya sekedar jalan-jalan. Di kota-kota besar juga selalu ada pertunjukkan kembang api. Se Hun memang sengaja membawa Joon Myeon ke kuil di daerah Taito ini karena kuil ini sangat terkenal.

            “Bukankah ini menyenangkan, hyeong?” Se Hun bersemangat sekali melihat lautan manusia yang ramai ini. Di tangannya terdapat kirigami berbentuk ikan yang dipercaya sebagai tempat tinggal dewa keberuntungan, Ebitsu.

            “Sangat menyenangkan. Aku tidak menyesal ikut denganmu sejauh ini. Lagipula, ini pertama kalinya aku merayakan tahun baru di Jepang,” jawab Joon Myeon senang.

            “Kau tidak akan menyesal jika ikut denganku!” Se Hun menepuk dadanya bangga. “Oh ya, mau mencoba membunyikan lonceng di kuil sembari mengucapkan doa-doa atau permohonan?”

            Joon Myeon hanya mengangguk. Ia dan Se Hun lalu antri bersama orang lain yang juga ingin berdoa meski keduanya sudah melempar koin di nampan tempat untuk melempar koin sambil berdoa. Joon Myeon dan Se Hun hanya menganggap ini sebagai senang-senang saja. Kapan lagi ia bisa melakukan ini? Joon Myeon dan Se Hun lalu maju bersama ketika giliran mereka tiba. Keduanya bergantian membunyikan lonceng dan berdoa bersamaan, lalu menepuk tangan dua kali dan membungkuk dua kali sebelum berdoa. Tidak ada yang tahu apa doa mereka masing-masing kecuali mereka sendiri dan Tuhan.

            Setelah itu, keduanya menuliskan harapan mereka di tahun baru di sebuah kotak kayu dan meninggalkannya di kuil. Kotak kayu mereka yang berisi harapan jadi satu dengan milik orang lain. Tulisan Hangeul mereka terlihat cukup mencolok di antara tulisan hiragana, katakana, dan kanji meski ada juga tulisan dalam bahasa Inggris. Se Hun berharap ia jadi lebih baik di tahun depan dan karirnya semakin sukses. Juga semoga ada wanita cantik yang jatuh hati padanya. Bahkan ia berani menulis agar Miranda Kerr mau kencan dengannya. Joon Myeon menulis agar bisnisnya lancar, sama halnya dengan karirnya dan agar ibunya berhenti menjodoh-jodohkannya atau mengikutkannya dengan paksa ke acara kencan buta. Mereka juga berdoa untuk kesehatan, juga teman-teman mereka dan keluarga.

            Kemudian Joon Myeon dan Se Hun mencoba ‘Omikuji’. Semacam ramalan dalam kertas yang berisi ramalan mulai dari yang ‘daikichi’―sangat beruntung, hingga ‘daikyo’―sangat tidak beruntung. Baik Se Hun dan Joon Myeon berdoa dalam hati tanpa sadar mulut mereka ikut komat-kamit seraya mereka mengocok pelan kotak berisi stick-stick ramalan dengan tangan mereka. Tak lama kemudian, stick bertanda angka ramalan keluar. Mereka mengingat angka yang tertera lalu meletakkan stick itu kembali ke tempatnya.

            “Aku deg-degan dengan hasil ramalannya,” kata Se Hun.

            “Yah, aku juga,” sahut Joon Myeon geli.

            Keduanya lalu mengambil ‘omikuji’ pada lemari sesuai dengan nomor ramalan mereka tadi dan membukanya dengan perasaan berdebar-debar. Seruan kecil terdengar dari mulut Se Hun ketika ia membaca ramalannya. Ada begitu banyak ramalan baik untuknya dan dua ramalan buruk. Se Hun lalu menggantung ramalan buruknya di tempat yang sudah disediakan.

            Joon Myeon mengerucutkan bibirnya. “Kau mau membantuku membaca ramalanku? Kau tahu kan, aku belum begitu ahli dalam bahasa Jepang.” Joon Myeon harus mengakui, kanji membuatnya kesulitan.

            Se Hun terkekeh dan meraih ramalan dari tangan Joon Myeon. “Oh!” Se Hun berseru terkejut. “Kau juga mendapat banyak ramalan baik. Kau tidak usah khawatir soal karir dan usahamu, tapi kau harus tetap berhati-hati di pertengahan tahun. Keuanganmu akan kena sedikit masalah di akhir tahun. Cintamu…tidak jauh darimu. Kesehatanmu baik. Singkat kata, banyak ramalan baik,” Se Hun membaca ramalan Joon Myeon. “Ja, mari kita gantung ramalan burukmu!”

            Joon Myeon mengikuti Se Hun. Ia lalu menyadari jika ada banyak ramalan buruk yang sudah tergantung.

            “Aku jadi ingat perkataan seorang biksu di kuil Sanja mengenai ‘omikuji’ ini,” kata Se Hun.

            “Apa?” tanya Joon Myeon.

            Se Hun sedikit menerawang untuk mengingat. “Kata beliau, “Ketika kau mendapat ramalan baik, jangan menjadi ceroboh dan sombong. Jika mendapat ramalan yang buruk, jangan takut. Tetaplah sederhana dan rendah hati. Entah itu ramalan baik atau buruk, kau harus tetap ulet mengerjakan yang terbaik karena kau sendirilah yang mengukir masa depanmu”,” kutip Se Hun.

            Joon Myeon tersenyum lebar. “Woah! Lihat siapa yang sudah bicara kata-kata bijak!”

            Se Hun kembali tertawa. Ia lalu merangkul hyeongnya. “Ayo pergi cari makan!”

            Di malam tahun baru, tiap kuil pasti terdapat stand-stand makanan yang enak-enak. Kemarin Joon Myeon sudah mencicipi osechi―masakan spesial tahun baru yang terdiri dari berbagai macam lauk pauk seperti ketela, udang, ikan kering, dan lain-lain yang diatur dalam sebuah kotak yang disebut jubako. Osechi yang dipesan Se Hun cukup mahal dan itu membuat Joon Myeon heran karena Se Hun mau mengeluarkan uang padahal biasanya Se Hun selalu meminta uang darinya.

            Jajanan khas tahun baru yang layak dicoba seperti datemaki, kurikinton, kombumaki, kamaboko, dan otafuku-mame menjadi sasaran Joon Myeon dan Se Hun. Tidak lupa beberapa jajanan bakar, seperti sosis, kentang, ikan, dan belut. Joon Myeon berseru kecil ketika ia menemukan kentang bakar yang dibentuk spiral mengelilingi tongkat seperti yang biasa ia makan di Korea.

            “Hyeong, aku mau cari toilet dulu!” Se Hun menepuk pundak Joon Myeon dan langsung berlari pergi terburu-buru sebelum Joon Myeon sempat protes.

            Gerutuan kecil terdengar dari mulut Joon Myeon. Ia tidak mau terlihat seperti orang bodoh karena bahasa Jepangnya yang masih belepotan, tapi apa daya. Joon Myeon melirik stand makanan di sebelahnya. Kamaboko yang ada disana menggoda Joon Myeon. Joon Myeon ingin memesan, tapi ia lupa nama jajanan itu dan bagaimana membeli dalam jumlah banyak. Otak Joon Myeon memutar-mutar menyusun kalimat dalam bahasa Jepang untuk memesan makanan itu hingga matanya merem-melek dan mulutnya komat-kamit.

            “Kau ingin memesannya?” tanya sebuah suara.

            Joon Myeon membuka matanya. Retina matanya menangkap bayangan seorang gadis dengan rambut panjang dan disemir coklat mengenakan jeans abu-abu dan jaket parka warna hijau tengah ikut menatapnya dengan matanya yang bulat dan besar. Monolid yang dimiliki gadis itu membuat Joon Myeon berpikir mata itu adalah alami bukan hasil operasi.

            “O, oh…hai. Tapi aku…bingung, untuk…memesan. Bahasa Jepangku…parah. Karena…aku orang Korea,” jawab Joon Myeon dalam bahasa Jepang yang terbata dan patah-patah diiringi senyum kikuk.

            “Korea? Kau orang Korea?” tanya gadis itu dalam bahasa Korea. Gadis itu menelisik wajah Joon Myeon yang tidak asing baginya. “Kau Kim Joon Myeon? Penyanyi itu, kan?” desisnya terkejut ketika berhasil mengingat wajah Joon Myeon. Matanya membulat sempurna dan mulutnya menganga kecil.

            Joon Myeon tersenyum.  “Ne, aku Kim Joon Myeon, penyanyi itu,”

            “Omo! Aku tidak menyangka bisa bertemu denganmu disini!” tubuh gadis itu sedikit melompat saking senangnya. Joon Myeon kembali tersenyum. “Ah ya, kau mau membeli kamaboko ini, kan? Aku bisa memesankannya untukmu,” lanjut gadis itu. Teringat akan ucapannya di awal pertemuan tadi.

            “O…oh, ne. Aku ingin membelinya. Kau bisa pesankan untukku? Nanti biar aku saja yang bayar,” ujar Joon Myeon.

            Gadis itu terhenyak kecil. “Jinjjayo?” desisnya. Joon Myeon tersenyum dan mengangguk. “Baiklah. Kamsahamnida!” Choon Hee membungkuk pada Joon Myeon sebelum memesan kamaboko.

 

 

            Mataku memandangi gadis di sampingku. Tubuhnya lebih pendek sekitar lima senti dariku. Aku cukup terkejut ketika ia berujar dalam bahasa Korea. Hatiku mencelos lega karena ternyata ia orang Korea. Tapi kemudian sedikit terkejut karena ia mengenaliku yang penyanyi ini. Aku ingin tertawa melihat reaksinya yang lucu saat menyadari dan mengetahui aku ini seorang penyanyi.

Aku tersenyum.  “Ne, aku Kim Joon Myeon, penyanyi itu,”

            “Omo! Aku tidak menyangka bisa bertemu denganmu disini!” tubuh gadis itu sedikit melompat saking senangnya. “Ah ya, kau mau membeli kamaboko ini, kan? Aku bisa memesankannya untukmu,” lanjut gadis itu. Teringat akan ucapannya di awal pertemuan tadi.

            “O…oh, ne. Aku ingin membelinya. Kau bisa pesankan untukku? Nanti biar aku saja yang bayar,” ujarku.

          Gadis itu terhenyak kecil. “Jinjjayo?” desisnya. Aku tersenyum dan mengangguk. “Baiklah. Kamsahamnida!” gadis itu membungkuk padaku sebelum memesan kamaboko.

            Aku memandangi gadis itu. Ada sensasi aneh saat aku bertemu dengannya. Semacam penglihatan? Entahlah, aku berpikiran jika kami akan bertemu lagi. Lalu aku teringat akan perkataan Se Hun. Apa ini yang disebut koi no yōkan? Batinku.

            “Untukmu, Joon Myeon-ssi.” Perkataan gadis itu yang menyodorkan jajanan tadi padaku membuyarkan lamunanku.

            “Oh, eh…gumawoyo,” balasku. Apa? Apa? Apa aku baru saja mengucapkan kata informal? Secepat itukah?

            “Bukan masalah. Kau yang bayar, bukan?” ia balik bertanya.

          Aku terkekeh dan mengeluarkan beberapa lembar uang yen dari dalam dompet. “Aku selalu menepati janjiku,” kataku. “Bisa kau memesan lebih banyak? Untuk temanku, aku dan, kau,” kataku.

            Gadis itu hanya mengangguk mengerti kemudian memesan. Setelah itu aku membayar semua.

            “Gumawoyo, untuk traktirannnya. Dan…lagu-lagumu sangat bagus. Aku suka lagu-lagumu. Terutama lagu yang baru saja kau rilis kemarin. Right After Christmas, kan? Aku suka melodinya yang ringan dan ceria padahal arti lagunya…ahh, sungguh menusuk hatiku,” katanya dengan sedikit dramatisasi. “Awalnya aku tidak menyangka kau ini benar-benar Kim Joon Myeon penyanyi itu, lho!”

            Aku terkekeh. “Jadi kau fans-ku?”

            Gadis itu hanya mengangguk singkat. “Ne, kau bisa bilang seperti itu. Tapi aku bukan fans fanatikmu―kuharap kau tidak kecewa mendengarnya―dan asal kau tahu, penggemarmu di Jepang cukup banyak dan mereka ingin kau merilis lagu berbahasa Jepang,” cerocosnya.

            “Ah ya, ireumi mwoyeyo?” tanyaku. Aku baru ingat jika aku belum menanyakan namanya sedari tadi.

            “Nam Choon Hee imnida. Aku harap kau mengingatnya,” ia memperkenalkan diri sambil berkelakar.

            Aku tertawa. Aku suka gayanya. Dan entah kenapa firasat itu kembali terlintas dalam pikiranku. Aku merasa benang merah takdir sudah menghubungkan kita. Aku melirik kelingking kananku, berharap benang merah itu akan tiba-tiba muncul menampakkan dirinya di hadapanku.

            “Hyeong!” satu tepukan keras di punggungku membuyarkan semuanya. Siapa lagi jika bukan Se Hun? “Untung kau belum pergi meninggalkanku,” lanjutnya sedikit terengah.

            “Omo, Oh Se Hun,” cicitan kecil itu menarik perhatianku dan Se Hun.

            Aku kembali ditampar kenyataan jika gadis itu―Choon Hee―masih berada di sini. Ia sedikit menutup mulutnya yang melongo. Kulirik Se Hun. Dahinya mengernyit heran tapi sebentar kemudian digantikan senyuman. Ahh, kadang bocah itu lupa jika ia adalah model terkenal. Ia sering sekali mengernyit seperti tadi jika ada orang tidak dikenal memanggilnya lalu kemudian ia tersenyum ramah.

            “Se Hun, kenalkan. Dia orang Korea juga, Nam Choon Hee. Aku baru bertemu dengannya tadi saat ingin jajan―” sial! Aku lupa nama makanan ini. Aku memandangi makanan itu seperti orang tolol.

            “Kamaboko,” koreksi Choon Hee dengan nada seperti bertanya.

            Aku berdecak geli pelan. “Eo, aku bertemu dengannya saat ingin jajan kamaboko dan ia membantuku untuk memesankannya. Sebagai gantinya, aku mentraktirnya,” jelasku.

            “Yah, meski kau sudah tahu namaku tapi akan kuperkenalkan diriku secara formal. Oh Se Hun imnida.” Se Hun tersenyum mengulurkan tangan sambil memperkenalkan diri dalam bahasa Korea.

            Choon Hee tersenyum. “Nam Choon Hee imnida,”

            Bisa kulihat pancaran senang dari matanya. Bukannya bermaksud sombong, tapi Choon Hee sudah bertemu dua orang terkenal seantero Korea juga Jepang. Ditambah, aku ini idolanya.

            Choon Hee melirik arlojinya. “Sudah hampir tengah malam. Bagaimana jika kita mencari spot terbaik untuk melihat pertunjukkan kembang api? Aku tahu spot terbaik di sini,” tawarnya.

            Kami mengangguk dan kemudian kami sudah berjalan bersama. Tidak banyak yang keluar dari mulutku karena aku sibuk dengan pikiranku sendiri mengenai koi no yōkan. Seperti yang dikatakan Se Hun, rasa ini bukanlah cinta. Aku tidak―belum―jatuh cinta pada Choon Hee. Hanya saja, ada firasat yang kuat mengatakan jika aku―pasti―akan bertemu dengannya lagi dan mungkin akan terjadi sesuatu di antara kami. Sesuatu apa itu? Entahlah. Aku tidak tahu apakah itu sesuatu yang baik atau buruk. Namun keyakinan ini begitu kuat.

            Yang banyak mengobrol adalah Se Hun. Ahhh, bocah itu selalu cerewet seperti biasa. Kemudian aku tersadar dari lamunanku tatkala suara koor orang-orang diikuti pendaran cahaya kembang api di langit dan suara ledakannya yang memekakkan menusuk telingaku. Aku menoleh ke samping kananku dan sedikit terhenyak mendapati Choon Hee berdiri menengadahkan kepalanya. Se Hun berdiri di samping kiriku. Bocah itu sama-sama menikmati kembang api.

            Akupun tak punya alasan untuk tak menikmati kembang api tahun baru ini. Letupan-letupan kembang api terus-menerus muncul menghiasi langit malam Tokyo. Ah, sudah tahun baru rupanya. Semoga semua kebaikan datang menyertai semua orang di dunia ini. Aku tersenyum tipis. Tanganku lalu mencubit pinggang Se Hun di sampingku.

            “Mwoya, hyeong?” tanyanya tanpa erangan protes seperti biasa.

            Aku menariknya untuk agak menunduk. Aku perlu mengatakan ini dengan berbisik. “Kurasa…aku baru saja mengalami koi no yōkan,” bisikku. Berharap cukup keras hingga Se Hun bisa mendengarkan.

            Se Hun tersenyum tipis lalu menatapku. “Semoga beruntung kalau begitu,” ujarnya dan kembali asyik menikmati kembang api.

            Aku tersenyum. Cukup lega karena Se Hun tidak bertanya lagi di saat seperti ini. Tapi aku yakin nanti setelahnya ia akan memborbardirku dengan rentetan pertanyaan. Mataku kembali menatap Choon Hee. Dengan keberanian yang datang entah darimana, aku mencolek pundaknya. Ia menatapku heran dengan mata bulatnya yang aku sukai. “Selamat tahun baru!” seruku agak keras karena bebarengan dengan suara ledakan kembang api yang lain.

            Dalam remang malam dihiasi kembang api di langit, aku bisa melihatnya tersenyum lebar. “Selamat tahun baru juga, Joon Myeon-ssi!” serunya padaku. Kami kembali menikmati kembang api di langit.

            Koi no yōkan, eh?

 

― Koi no yōkan ― END ―

 

Vhasta’s spot  :

            Whoaaaaa….selesai sudah fanfic spesial tahun baru dari author!! Yeeee~!!! ^^ Berasa nulis lamaaaaa ternyata cuma dapet 16 lembar di ms.word, hehehehe. So, what do you guys think about this fanfic?  Silahkan tumpahkan semua komentar, kritik, atau saran buat fanfic ini. Author rasa ceritanya cliché a.k.a klise banget ya? Padahal baru kemarin author bilang ga demen cerita klise.lol. Ngebosenin gak? Ada yang kurang? Monggo, tulis semua uneg-uneg di kolom komentar ^^

 

Regards,

 

POPULAR FANFICTION

BERITA PILIHAN

COPYRIGHT 2024 DREAMERS.ID PUBLISHED BY DREAMERS NETWORK