home_icon
SIGN IN
SIGN UP
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
LOUNGE
HOW IT WORKS
HOW TO BE DFF OF THE WEEK
TERMS OF USE
CONTACT US
  • Latest
  • Most Viewed
  • Most Loved
  • A-Z
  • My Fanfiction
  • My Subscriptions
  • My Subscribers
  • Create New Fanfiction
Fan Fiction > Hyung

Hyung

Share:
Author : sproutssi
Published : 16 Sep 2013, Updated : 16 Sep 2013
Cast : Gong Chansik, Lee Junghwan
Tags :
Status : Complete
1 Subscribes |1339 Views |0 Loves
Hyung
CHAPTER 1 : [1/1]

“Sandeul-hyung, gwaenchanayo?”

Sandeul mengabaikan panggilan anak itu. Terus berjalan menuju kamarnya. Menganggap panggilan anak itu hanyalah angin lalu.

“Sandeul-hyung?”

Lagi-lagi, suara anak itu terdengar di telinga Sandeul. Ia mencoba untuk tetap mengabaikan panggilannya. Berharap anak itu akan menyerah untuk memanggilnya dan meninggalkannya sendirian.

Hyung, waeyo? Jawablah.”

Sandeul yang merasa sangat terganggu dengan anak itu segera menatapnya dengan tajam. Membuat anak itu langsung menunduk takut, merasa mengganggu hyung-nya itu.

“Gong Chansik, kamu tahu sikapmu sangat mengganggu, kan?” tanya Sandeul, sarkastik.

Ne?”

“Kamu menggangguku, kamu tahu itu?” tanya Sandeul lagi. Menatap mata Chansik dengan tajam. “Mengikutiku ke mana saja aku pergi, berusaha agar terus bersamaku. Kamu tahu itu sangat menyebalkan?” lanjutnya.

“A ... aku hanya ...,” kata-kata Chansik terhenti. Tercekat di tenggorokan.

“Dan yang lebih menyebalkan lagi ....”

Chansik menelan ludah. Menatap mata Sandeul dengan takut.

“Saat kamu memanggilku dengan sebutan ‘hyung’.”

Chansik membuka mulutnya, berusaha untuk mengatakan sesuatu, “Tapi, hyung adalah hyung-ku!”

“Aku bukan hyung-mu. Kamu hanya anak yang dibawa oleh ibu dan ayahku dari panti asuhan, tidak ada hubungan darah denganku. Tidak kurang dan tidak lebih. Mengerti?” ucap Sandeul, menatap Chansik dengan tajam dan dingin.

H ... hyung ...,” panggil Chansik dengan terbata-bata.

Sandeul membuka pintu kamarnya, kemudian berbalik menghadap Chansik. “Dan jangan sampai aku mendengar panggilan ‘hyung’ dari mulut bodohmu itu,” balas Sandeul. Ia membanting pintu dan membiarkan Chansik berdiri mematung di depan pintu kamarnya.

***

Kejadiannya sepuluh tahun yang lalu. Saat Chansik masih berumur enam tahun dan Sandeul berumur satu tahun lebih tua darinya, tujuh tahun. Orangtua Sandeul, Tuan Lee dan Nyonya Lee, ingin mengangkat Chansik menjadi anak bungsu mereka. Ide ini disambut dengan gembira oleh Sandeul, putra sulung mereka.

Gong Chansik, anak laki-laki yang tinggal di panti asuhan di dekat rumah megah keluarga Lee. Sewaktu kecil, ia sering bermain bersama Sandeul yang cenderung penyendiri dan pendiam. Kepribadiannya yang ceria, manis, dan polos itu selalu membuat Sandeul senang berada di dekatnya. Membuat Sandeul selalu nyaman dan menganggap Chansik sebagai adiknya sendiri.

Tuan Lee, Nyonya Lee, dan Sandeul sangat menyukai Chansik. Mereka sudah menganggapnya seperti keluarga sendiri dan pada akhirnya, memutuskan untuk mengangkat Chansik menjadi anak bungsu di dalam keluarga Lee.

Kebahagiaan, kehangatan, tawa, dan pelukan selalu menghiasi keluarga itu. Sampai akhirnya, kejadian tragis menimpa keluarga mereka saat Chansik menginjak umurnya yang kedua belas tahun.

Siapa yang menyangka, suruhan dari rival Tuan Lee akan menyandera Chansik. Meminta tebusan dan kedatangan keluarga Lee di tempat dan pada waktu yang sudah disepakati. Dan tentu saja, seluruh anggota keluarga Lee datang—walaupun Sandeul hanya menunggu di dalam mobil keluarga mereka—untuk menebus Chansik. Bukan lawan namanya jika tidak licik. Setelah Tuan Lee menukar koper hitam berisi uang itu dengan Chansik, rival-nya itu segera menembak Tuan Lee dan Nyonya Lee, tepat di jantungnya. Kemudian, mereka melarikan diri dan meninggalkan Chansik yang ketakutan.

Sandeul, yang mendengar suara tembakan, segera keluar dari mobil dan berlari ke arah gudang tua tempat Chansik disekap. Betapa terkejutnya ia ketika melihat kedua orangtuanya yang sudah terkapar dan Chansik yang menangis di sebelah mereka berdua.

Detik itu juga, Sandeul menyadari bahwa suara tembakan yang ia dengar tadi adalah tembakan yang membunuh kedua orangtuanya.

Dan satu lagi, ia tahu bahwa orangtuanya ditembak karena berusaha menyelamatkan Chansik.

***

Chansik menatap pintu kamar Sandeul dari pojok ruang tamu rumahnya. Pintu kayu itu masih tertutup sejak tadi. Sandeul sama sekali belum keluar dari dalam. Sudah sekitar tiga jam sejak Chansik menunggu pintu kamar itu terbuka. Ia ingin memanggil kakaknya itu, namun hatinya merasa sangat takut.

Heung ...,” Chansik menghela napas. “Aku rindu Sandeul-hyung yang dulu,” gumam Chansik dengan suara lirih. Terdengar sekali nada kesepian di dalam ucapannya.

Chansik tahu apa yang menyebabkan Sandeul berubah drastis seperti ini. Sandeul yang dulu adalah Sandeul yang pendiam, namun ia bisa berubah menjadi orang yang sangat ceria dan menyenangkan jika kamu mempunyai kunci untuk membuka kepribadian Sandeul yang sebenarnya. Dan Sandeul yang dulu begitu berbeda dengan Sandeul yang sekarang—dingin.

Penyebabnya? Chansik tahu diri. Ia yang menyebabkan Sandeul kehilangan kedua orangtuanya, orang yang paling berharga dalam hidupnya. Tentu saja Sandeul belum pernah mengalami yang namanya ‘kehilangan’. Berbeda dengan Chansik yang sudah pernah mengalaminya sewaktu ia kecil. Yang lebih tragis adalah, penyebab dari semua ‘kehilangan’ yang dialami Sandeul adalah orang yang juga berharga untuk Sandeul, yaitu adik angkatnya, Chansik.

Ia sangat siap jika Sandeul ingin memusuhinya, tidak ingin berkomunikasi dengannya, mengusirnya, ataupun menyakiti fisik maupun hatinya. Tetapi, Chansik benar-benar tidak siap jika Sandeul tidak lagi mengakui diri Chansik sebagai adiknya. Karena Chansik tahu, satu-satunya orang yang ia miliki hanyalah seorang Sandeul, kakaknya—yang bahkan tidak mengakui diri Chansik sebagai adiknya.

Jujur, Chansik sangat merindukan sosok Sandeul yang dulu. Ia pernah merasakan ‘kehilangan’ dan ia tahu bagaimana cara mengatasinya. Ia hanya butuh seseorang untuk menjadi sandaran dan payung baginya. Itu saja sudah lebih dari cukup. Namun, seseorang yang ia harapkan bisa menjadi sandaran dan payung bagi dirinya itu justru meninggalkannya dalam kesendirian.

Namun, Chansik sebenarnya salah. Bukan dirinya yang membutuhkan sandaran dan payung. Yang membutuhkannya adalah kakaknya, Sandeul.

Klek. Terdengar suara pintu yang terbuka. Chansik segera tersadar dari lamunannya, senyumnya segera mengembang ketika melihat sosok Sandeul yang berjalan keluar dari kamarnya.

Hyung! Akhirnya, keluar juga. Aku sudah masak makan malam, kita makan bersa—”

Ucapan Chansik terhenti ketika Sandeul berdiri di depannya dan menatapnya dengan garang. “Berapa kali harus kubilang? Jangan panggil aku dengan sebutan ‘hyung’! Aku bukan kakakmu!”

“K ... kalau begitu ... aku harus panggil apa ...?” tanya Chansik terbata-bata. Mentalnya benar-benar menciut ketika berhadapan dengan Sandeul.

“Jika kamu bingung harus memanggilku dengan sebutan apa, jangan panggil aku,” jawab Sandeul dingin.

Chansik tertegun mendengar jawaban Sandeul, “Tapi .... Hyung ....”

“Kamu ini benar-benar keras kepala, ya,” kata Sandeul, memotong ucapan Chansik. “Sekali lagi memanggilku ‘hyung’, maka kamu akan kuanggap sebagai orang asing! Minggir!” Sandeul membentak Chansik. Ia mengambil jaket tebalnya dan berjalan dengan cepat, keluar dari rumah. Mungkin menghirup udara segar akan menenangkan pikiran Sandeul, ya ... setidaknya begitu.

Chansik terdiam melihat kakaknya yang pergi ke luar. “Eomma, appa, eotteohke?”

***

Sandeul sedang berjalan ketika ia merasakan tubuhnya yang ditarik oleh seseorang dengan keras. Membuatnya kehilangan keseimbangan dan hampir jatuh.

Ya! Lepaskan aku!” Sandeul memberontak, ia menggerak-gerakkan pergelangan tangannya, berharap bahwa cengkraman tangan orang itu bisa lepas. “Kubilang lepaskan! Atau kupanggil polisi!” ancamnya.

Orang itu menoleh ke arah Sandeul. “Berisik! Bisa diam tidak?!” bentaknya dengan keras. Kemudian, ia melepaskan cengkramannya dan mendorong Sandeul ke arah dinding dengan keras. “Ini sudah enam bulan! Kamu janji akan membayar hutang-hutangmu hari ini, kan?!” tagihnya.

Sandeul menatapnya dengan kesal. “Kamu pikir, dengan gaji sebagai fotografer amatir itu, aku bisa mengumpulkan uang sebanyak itu hanya dalam enam bulan? Yang benar saja!” jawab Sandeul, dengan suara lantangnya. “Lagipula, itu bukan hutangku! Itu semua hutang pamanku!”

“Kamu yang berjanji untuk membayarnya dalam waktu enam bulan, ingat?!” desak orang itu. Mencengkram kerah kemeja Sandeul.

“Cih, aku tidak menyanggupi akan membayarnya dalam waktu enam bulan. Aku menyanggupi akan membayar lunas semua hutang itu dalam waktu dua tahun! Kamu yang terburu-buru! Mendesakku untuk melunasi semua itu dalam waktu enam bulan!” Sandeul membela diri. Membuat orang itu mencengkram kerah kemejanya dengan lebih kuat.

“Lancang sekali dirimu! Dua tahun itu terlalu lama! Aku tidak mau tahu, kuberi waktu empat bulan lagi dan hutang-hutangmu harus lunas saat itu juga!”

“Kalau aku tidak bisa melunasinya?”

“Nyawamu sebagai jaminannya.”

***

Chansik menoleh ke arah pintu rumah yang terbuka. Ia melihat Sandeul yang berjalan dengan langkah gontai ke dalam rumah.

Eo, Sandeul-ssi. Wasseo?” sapa Chansik dengan canggung.

Sandeul mengernyitkan dahinya. “Sandeul-ssi?”

Chansik mengangguk. “Ne. Karena aku tidak bisa memanggil dengan sebutan ‘hyung’, kupilih sebutan ‘ssi’ yang juga sopan dan formal,” jelasnya.

Pintar juga anak ini, batin Sandeul. “Terserah,” gumamnya.

“Sandeul-ssi, sudah makan? Aku sudah memasak makan malam, tapi kurasa makananmu sudah dingin. Kalau begitu akan kupanaskan sekarang!” ucap Chansik dengan ceria.

“Tidak usah repot-repot. Aku sudah makan,” tolak Sandeul. Ia berjalan melewati Chansik dan masuk ke dalam kamarnya. Meninggalkan Chansik yang menatapnya dengan sedih.

Chansik menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan air matanya yang mulai menggenang di pelupuk matanya. “Hyung ...,” ucapnya lirih.

***

Sandeul menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidurnya. Kata-kata orang tadi terngiang-ngiang di dalam kepalanya.

Nyawamu sebagai jaminannya.”

Ia tidak takut jika orang itu mengambil nyawanya. Ia tidak takut jika ia harus mati. Ia hanya takut meninggalkan satu hal. Ia mencemaskan seseorang. Seseorang yang sebenarnya begitu berarti baginya. Seseorang yang masuk ke dalam kehidupannya sepuluh tahun yang lalu.

Adiknya, Gong Chansik.

Sandeul memang membencinya. Bagaimana tidak? Ia harus kehilangan kedua orangtuanya hanya karena orangtua Sandeul menyelamatkan Chansik yang berstatus sebagai ‘anak angkat’ dalam keluarganya. Hal itulah yang membuat Sandeul terpukul. Sandeul merasa, orangtuanya berkorban terlalu banyak hanya untuk seorang Chansik. Mereka bahkan merelakan nyawa mereka hanya untuk anak itu.

Sandeul telah membuang Chansik. Ia membuangnya dari kehidupannya, bahkan keluarganya. Ia tidak pernah lagi memanggil Chansik dengan nama ‘Lee Chansik’, namun ia memanggil Chansik dengan nama aslinya—nama Chansik dengan marganya yang lama—yang tak lain dan tak bukan adalah ‘Gong Chansik’.

Namun, Sandeul akui, ia tidak bisa membuang Chansik sepenuhnya dari hatinya. Ia tidak bisa benar-benar mencampakkan Chansik. Bagaimanapun juga, Chansik tetap adiknya. Sekeras apapun ia mencoba untuk menganggap Chansik sebagai orang asing, ia tetap tidak bisa. Walaupun selalu timbul rasa marah dan benci setiap kali ia melihat wajah Chansik yang bersinar.

Chansik .... Kalau aku mati, bagaimana nasibnya nanti, ya? Sandeul bertanya dalam hati.

Sandeul segera menyadari apa yang ia pikirkan. Berusaha menepis semua bayangan tentang Chansik yang muncul dan melayang-layang di pikirannya.

“Untuk apa aku memikirkan anak sialan itu?” tanya Sandeul pada dirinya sendiri. “Ini semua karena paman! Paman meninggalkan hutang yang bertumpuk ini kepadaku!”

Paman Sandeul dan Chansik, Lee Dalhwan, tepatnya kakak dari Tuan Lee, mengasuh Sandeul dan Chansik setelah kedua orangtua mereka meninggal. Namun, Sandeul dan Chansik ternyata hanya menjadi beban bagi hidupnya yang luntang-lantung. Perusahaannya mendadak bangkrut dan gulung tikar, hutangnya menggunung di sana-sini, terlebih ia punya dua orang keponakan yang harus ia biayai hidupnya.

Lee Dalhwan tidak terbiasa bekerja keras dan mengasuh anak. Beban ini terlalu berat bagi hidupnya yang terlalu santai. Pada akhirnya, ia memilih cara instan untuk mengakhiri semua masalahnya; bunuh diri. Karenanya, semua hutang itu beralih kepada Sandeul. Pamannya itu meninggal saat belum menikah dan membuat Sandeul yang ia asuh harus melunasi semua hutangnya.

Semua tekanan yang secara tiba-tiba menghampiri Sandeul itu membuat hubungannya dengan Chansik semakin memburuk. Di usianya yang kini masih tujuh belas tahun, Sandeul harus bekerja, merasa kehilangan, dan tinggal bersama orang yang menyebabkan ‘kehilangan’ itu terjadi.

Dan hal ini benar-benar membuat Sandeul muak.

***

Hari ini tepat sehari sebelum semua hutang dari Lee Dalhwan harus dilunasi. Sandeul sudah benar-benar bekerja keras untuk mengumpulkan uang agar hutang-hutang itu lunas tepat pada waktunya. Ia bahkan mengambil beberapa pekerjaan sekaligus. Pergi pada pagi buta dan pulang pada dini hari. Dan hari ini, ia akan menghitung semua uang yang telah dikumpulkannya dengan susah payah.

Sandeul menghitung lembaran-lembaran uang, kemudian memasukkannya ke dalam sebuah koper berwarna hitam. Ia menghitungnya dengan sangat teliti. Berharap bahwa ia tidak salah menghitung atau melewatkan selembar uang pun.

“Masih kurang lima ratus ribu, ya,” ucap Sandeul. Ia menghela napas dengan berat dan mengacak-acak rambutnya sendiri. “Argh! Besok aku akan mati!” seru Sandeul, pasrah pada nasibnya.

Toktoktok. Sandeul mendengar suara pintu kamarnya yang diketuk seseorang.

“Siapa di luar?” tanyanya dengan suara keras.

“Ini aku, Sandeul-ssi.”

Sandeul mendengar suara Chansik di luar kamarnya. Tumben sekali adiknya ini berani mengetuk pintu kamarnya. Karena selama ini, Sandeul selalu menghindari Chansik dan bersikap kejam padanya.

“Masuk!”

Klek. Kepala Chansik menyembul dari daun pintu. Sepertinya, ia masih ragu untuk masuk ke dalam kamar. Perlahan, ia melangkahkan kakinya, masuk ke dalam kamar Sandeul. Dengan cepat, ia menutup pintu kamar Sandeul dan berjalan ke arah tempat tidur.

“Ada apa?” tanya Sandeul, to the point.

Chansik menelan ludahnya. “Aku tidak sengaja mendengarmu menghitung uang. Dan kalau tidak salah, kamu berkata bahwa uangmu masih kurang lima ratus ribu won. Iya, kan, Sandeul-ssi?” Chansik merogoh saku celananya. Ia mengeluarkan sebuah amplop. “Terimalah. Ini uangku,” kata Chansik, menyerahkan amplop itu sambil tersenyum.

Sandeul mengernyitkan dahinya. Ia meraih amplop itu dan membuka isinya. Berlembar-lembar uang tersusun rapi di dalam amplop itu. “Bagaimana bisa .... Tunggu, tadi kamu menguping, ya? Siapa yang mengizinkanmu menguping, hah?” omel Sandeul. Membuat Chansik tertawa geli.

“Terima saja. Itu dariku,” kata Chansik.

“Uang ini kamu dapat dari mana? Mencuri?” tanya Sandeul pedas.

Chansik menggembungkan pipinya. “Aku kerja sambilan! Tidak adakah apresiasi yang lebih baik untukku?”

Sandeul memutar kedua bola matanya. “Terserah. Yang jelas, kamu sudah memberikan uangmu padaku. Jangan menyesal kalau uang ini tidak kembali. Aku tidak pinjam, ya, kamu yang memberi,” ucap Sandeul.

“Iya, iya. Tidak apa-apa, kok. Ambil saja,” balas Chansik.

Sandeul segera memasukkan uang yang ada di amplop itu ke dalam kopernya. Setelah itu, ia mengunci koper itu dan meletakkannya di bawah tempat tidur.

“Sandeul-ssi,” panggil Chansik.

Eo?” tanya Sandeul.

“Tadi aku tidak sengaja mendengar,” ucap Chansik. “Kamu bilang bahwa besok kamu akan mati. Waeyo? Ada masalah apa? Ceritalah padaku.”

Sandeul membuang muka. “Itu bukan urusanmu.”

Ne?” tanya Chansik.

“Keluar dari kamarku. Sekarang juga,” perintah Sandeul dengan dingin.

“Baiklah.”

Chansik melangkah ke arah pintu dan membukanya. “Jaljayo, Sandeul-ssi,” pamitnya. Kemudian, ia melangkah keluar dari kamar dan menutup pintu.

Sandeul hanya menatap pintu kamarnya dan segera menutupi wajahnya dengan selimut.

***

Sandeul mengancingkan kemejanya dan segera memakai jas berwarna hitam berbahan ringan. Setelah memastikan bahwa pakaiannya sudah rapi, ia menyisir rambut coklat gelapnya itu. Ia melihat pantulan wajahnya di depan sebuah cermin. Begitu dewasa dan berkarisma. Kemudian, Sandeul menghela napas. Memastikan bahwa dirinya sudah siap untuk bertemu dengan lintah darat itu.

“Tenanglah, Lee Sandeul. Semua akan baik-baik saja.”

Dengan cepat, Sandeul mengambil koper berisi uang yang sudah menunggunya di atas tempat tidur sejak tadi. Ia membuka pintu kamarnya dan melihat Chansik yang sedang memanggang roti.

“Sandeul-ssi, pagi-pagi begini mau ke mana?” tanyanya heran. Ia menatap Sandeul dari ujung kepala hingga ujung kaki. Sandeul tampak dewasa dengan setelan jas berwarna hitam sederhana yang dipadukan dengan kemeja putih dan celana hitam. Sama sekali tidak terlihat seperti Sandeul yang biasanya.

“Aku ada urusan. Kamu tetaplah di rumah. Awas kalau melawan,” ancam Sandeul. Ia berjalan menuju pintu dan segera memakai sepatunya. Lalu, Sandeul membuka pintu dan melangkahkan kakinya keluar dari rumah.

“Eh? Sarapannya bagaimana?” tanya Chansik sambil berlari menuju pintu. Ia melihat Sandeul yang terus berjalan tanpa memedulikan panggilannya.

Chansik berjalan masuk ke dalam rumah. Ia masih memikirkan sikap kakaknya dari kemarin. Sandeul mengumpulkan banyak uang, pergi pagi, dan memakai pakaian formal seperti itu, benar-benar tidak seperti Sandeul yang biasanya. Apalagi, kemarin Chansik mendengar bahwa Sandeul mengatakan ia akan mati hari ini.

Chansik benar-benar merasa cemas dan perasaannya sangat tidak enak saat ini.

“Sandeul-hyung mencurigakan. Aku harus mengikutinya!” seru Chansik. Ia segera mengambil jaketnya dan berlari ke luar. Bertekad untuk mengikuti Sandeul.

***

Sandeul melangkahkan kakinya dengan mantap menuju sebuah gedung tua. Tempat inilah yang akan menjadi saksi bisu dari transaksi yang akan dilakukan oleh Sandeul dan lintah darat itu hari ini. Dengan yakin, Sandeul melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam gedung itu.

Suasananya sepi. Ia tidak melihat satu orang pun di lobi gedung yang kondisinya sangat memprihatinkan ini. Bisa ia temukan debu di setiap inci lobi itu. Tak jarang pula ia melihat sarang laba-laba yang menghiasi sudut lobi dan beberapa perabotan yang sudah rusak dan tidak layak pakai.

Ia menaiki sebuah tangga dan berjalan menuju lantai tiga. Sandeul melihat sebuah pintu di ujung koridor. Sepertinya pintu ini adalah satu-satunya pintu yang ada di lantai itu. Dan ia yakin, lintah darat dan antek-anteknya pasti sudah menunggu.

Toktoktok. Sandeul mengetuk pintu.

“Siapa di luar?”

“Ini Lee Sandeul.”

“Masuk!”

Sandeul membuka pintu itu secara perlahan. Dilihatnya seorang pria yang duduk di sebuah kursi besar dan beberapa pria lain yang berdiri di samping kursinya. Pria yang duduk itu melirik koper hitam yang dibawa oleh Sandeul. Sudah mengetahui isi koper itu. Tentu saja, isinya adalah uang yang akan menjadi miliknya mulai hari ini.

“Bisa juga kamu mengumpulkan uang sebanyak itu,” olok pria itu. Menghisap rokoknya dan menghembuskan kepulan asap dari dalam mulutnya.

Sandeul tersenyum mengejek. “Justru aku tertawa membayangkan reaksimu ketika terkejut melihatku yang membawa semua uang ini, Ahn Hyongjun.”

“Diam! Atau kutembak!” geram Hyongjun. Anak buahnya mengeluarkan senjata mereka bersamaan.

“Cih, memangnya aku takut dengan gertakanmu itu?” balas Sandeul meremehkan. Walaupun sebenarnya, Sandeul pun sedikit bergetar dibuatnya.

Hyongjun menatap Sandeul dengan tajam. “Letakkan koper itu di lantai! Cepat!” perintahnya.

Sandeul meletakkan koper itu di atas lantai dan mundur beberapa langkah. Salah seorang dari anak buahnya itu mengambil koper Sandeul dan membukanya. Menghitung uang di dalamnya dengan teliti. Sedangkan Sandeul hanya memperhatikannya dengan waspada. Sandeul tentu tahu, ia bisa dibunuh kapanpun mereka menembakkan peluru dari pistol itu ke arah Sandeul. Dan Sandeul berjanji ia akan terus berhati-hati.

“Isinya pas, Tuan Ahn! Hutangnya lunas!” seru pria tadi. Ucapannya membuat Hyongjun tersenyum licik.

“Wah, wah, aku benar-benar tidak menyangka. Ini jauh di atas ekspektasiku,” puji Hyongjun, masih dengan nada angkuhnya. Ia menoleh ke arah Sandeul dan berseru, “Sekarang, bunuh dia!”

Mata Sandeul menatap anak buah Hyongjun yang sudah siap dengan pistol mereka. Kemudian, ia menatap Hyongjun yang sedang tertawa seram. “Kamu benar-benar licik, Ahn Hyongjun!”

“Beginilah transaksi denganku, Tuan Muda Lee. Kamu beri aku uang, kemudian aku membunuhmu. Mudah, bukan?” Ia tersenyum licik. Menghisap rokoknya dan meniupkan asap dari mulutnya seolah mengejek Sandeul—yang makin marah dibuatnya.

“Dasar manusia keji!” Sandeul memaki Hyongjun. Seiring dengan anak buahnya yang bersiap menarik pelatuk pistol mereka. Sandeul melihat ke sekelilingnya. Berharap ada jalan untuk kabur.

“Tembak!”

“Sandeul-hyung, awas!!”

***

Chansik menatap sebuah gedung tua setinggi lima lantai. Ia mengikuti Sandeul sejak tadi dan ia melihatnya masuk ke gedung ini dengan matanya sendiri. Entah ada apa dengan kakaknya itu. Yang jelas, Chansik benar-benar penasaran dan tidak tahu dengan apa yang terjadi.

Secara perlahan, ia mengikuti Sandeul dan berusaha untuk tidak membuat suara. Dilihatnya Sandeul yang menaiki tangga dengan mantap. Chansik sempat mendengar kakaknya itu menggumamkan ‘lantai tiga’ sebelum menaiki tangga. Setelah yakin bahwa Sandeul telah sampai di lantai tiga, barulah Chansik menaiki tangga itu secara perlahan. Walaupun sepatunya menimbulkan suara, sepertinya Sandeul tidak mendengarnya.

Mata Chansik tertuju pada sebuah pintu yang berada di ujung koridor lantai tiga. Ia melangkahkan kakinya dan berhenti di depan pintu.

Pintunya tidak tertutup rapat. Mungkin, Sandeul-hyung yang ceroboh, pikirnya. Ia mengintip melalui celah pintu dan memasang telinganya agar bisa mendengar percakapan antara Sandeul dan seseorang yang tidak ia kenal itu.

“Diam! Atau kutembak!”

Chansik terkejut mendengar ucapan itu. Ia melihat Sandeul yang berdiri menghadap pria yang duduk di atas kursinya dengan geram—Ahn Hyongjun. Dan betapa takutnya dia ketika melihat anak buah Hyongjun mengarahkan senjata mereka ke arah Sandeul.

“Cih, memangnya aku takut dengan gertakanmu itu?”

Kali ini, ia mendengar suara kakaknya, Lee Sandeul. Jujur saja, Chansik pun cukup terkejut pada ucapan Sandeul. Apakah ia tidak takut sama sekali jika menghadapi orang seperti itu? Jangankan mafia, melihat Sandeul yang menatapnya tajam saja membuat mentalnya ciut.

“Letakkan koper itu di lantai! Cepat!”

Chansik memasang telinganya kembali. Ia mencoba untuk fokus melihat melalui celah pintu. Dan bisa Chansik lihat, Sandeul meletakkan koper yang kemarin ia gunakan untuk menyimpan semua uangnya.

Ah, jadi ini maksud Sandeul-hyung mengumpulkan uang sebanyak itu ..., batin Chansik.

Ia melihat anak buah Hyongjung menghitung uang yang ada di koper itu dan segera berkata, “Isinya pas, Tuan Ahn! Hutangnya lunas!” Mengkonfirmasi bahwa Sandeul telah melunasi hutang-hutang Lee Dalhwan, pamannya.

“Wah, wah, aku benar-benar tidak menyangka. Ini jauh di atas ekspektasiku.” Chansik melihat Hyongjung yang tersenyum licik ke arah Sandeul. “Sekarang, bunuh dia!”

Chansik tertegun. Ia benar-benar ingin masuk ke dalam ruangan itu dan membawa Sandeul kabur. Tetapi, Chansik terlalu takut untuk melakukannya. Sekalipun itu untuk kakaknya sendiri.

“Kamu benar-benar licik, Ahn Hyongjun!”

Suara Sandeul terdengar di telinga Chansik. Sekarang, ia tahu apa maksud ‘aku akan mati’ yang dikatakan Sandeul kemarin. Matanya melihat tubuh Sandeul yang mulai bergetar karena takut. Jangankan Sandeul, Chansik yang hanya mendengarkan dan mengintip semua itu bahkan merasa sangat takut. Ia benar-benar takut kehilangan Sandeul.

“Beginilah transaksi denganku, Tuan Muda Lee. Kamu beri aku uang, kemudian aku membunuhmu. Mudah, bukan?”

Chansik benar-benar ingin masuk ke dalam ruangan dan menyelamatkan Sandeul. Tapi, rasa takutnya benar-benar membuatnya ragu. Tangannya bergetar hebat. Pandangannya mulai kabur karena air mata yang menggenangi pelupuk matanya. Bibirnya bergetar dan suaranya tercekat di tenggorokan.

“Dasar manusia keji!”

Chansik mengepalkan tangannya. Mendengar suara Sandeul membuat keraguan dan ketakutannya perlahan sirna. Namun, ia masih belum yakin akan hal ini. Masih ada sedikit keraguan yang membuatnya diam di tempat. Mematung.

“Tembak!”

Masa bodoh dengan ketakutannya. Chansik membuka pintu dengan keras. Berlari ke arah Sandeul, bermaksud untuk mendorongnya.

“Sandeul-hyung, awas!!”

Seiring dengan suara pistol, Chansik mendorong Sandeul dan keduanya terbaring di atas lantai yang begitu dingin.

 

***

“Sandeul-hyung, awas!!”

Sandeul merasakan tubuhnya terdorong dan jatuh di atas lantai. Ia melihat seorang laki-laki yang mendorong tubuhnya tadi terbaring di sebelahnya. Laki-laki itu merintih kesakitan, memegang perutnya. Wajahnya memancarkan rasa sakit yang amat sangat. Dan wajah itu begitu familiar di mata Sandeul.

“Chansik-a!!” jerit Sandeul panik ketika melihat wajah orang yang tadi menolongnya. Ia meletakkan kepala Chansik di pangkuannya dan menatap anak itu dengan cemas, panik, takut, dan berbagai emosi lainnya. Matanya mulai berkaca-kaca ketika melihat Chansik yang merintih kesakitan sambil terus memegang perutnya yang mengeluarkan darah tanpa henti.

“Kita kabur!” perintah Hyongjun kepada anak buahnya. Mereka segera keluar dari ruangan itu—sambil membawa koper berisi uang tadi tentunya—dan meninggalkan Sandeul dan Chansik di ruangan itu.

“Chansik-a! Kenapa kamu bisa di sini?! Kenapa kamu menolongku?! Padahal, selama ini aku jahat sekali padamu! Tapi ... kenapa?!” tanya Sandeul. Air mata mulai mengalir dari kedua mata Sandeul.

Chansik memaksakan sebuah senyuman untuk Sandeul. “I ... itu ... tidak penting ...,” jawabnya dengan suara yang terbata-bata. “Walau ... walaupun ... hyung mem ... membenciku, ta ... tapi ... hyung tetap h ... hyung-ku ...!” lanjut Chansik. Ia memaksakan untuk menjawab walaupun sesekali merintih kesakitan.

Babo!” seru Sandeul, masih terisak. “Maafkan aku, selama ini aku benar-benar menjadi hyung yang buruk bagimu. Aku benar-benar minta maaf!” isak Sandeul. Tangannya mengelus-elus rambut Chansik dengan penuh kasih sayang. Membuat Chansik tersenyum senang.

“A ... aku senang. H ... hyung ... masih me ... menyayangi ... ku!” ucap Chansik. Air matanya mulai mengalir. Air mata yang selama ini ia tahan saat menghadapi sikap dingin Sandeul, kini berubah menjadi air mata bahagia. “San ... Sandeul ... hyung, aku ... me ... menyayangimu ....” Ucapan Chansik mulai terdengar semakin pelan.

Sandeul terus mengelus rambut Chansik sambil mengangguk. “Aku juga menyayangimu, Chansik-a.”

Senyum Chansik mengembang. “Hyung .... Aku ... se ... senang k ... ka ... karena hyung meng ... izinkan ... ku ... memanggil h ... hyung de ... dengan ... se ... se ... sebutan ... ‘hyung’ la ... gi ...!”

“Kamu bisa memanggilku ‘hyung’ kapan saja,” balas Sandeul. “Aku, kan, hyung-mu ....”

“T ... te ... terima ... ka ... sih, S ... Sandeul-hyung ....” kata Chansik dengan suara pelan. Setelah mengucapkan kalimat itu, kedua mata Chansik tertutup dan kepalanya tergolek tak berdaya di pangkuan Sandeul.

“Chansik ...?” panggil Sandeul dengan suara bergetar. “Chansik-a!!”

Bertepatan dengan saat itu, terdengar suara sirene dari luar gedung.

***

“Chansik, annyeong,” sapa Sandeul dengan ceria. Ia berjongkok di depan sebuah batu nisan bertuliskan ‘Gong Chansik / Lee Chansik’. Di sebelah batu nisan itu, terpajang sebuah foto. Foto Chansik dengan senyum khasnya; polos dan manis. “Apa kabarmu Chansik-a?” tanya Sandeul.

“Sudah lama aku tidak berkunjung ke sini. Kamu masih ingat kejadian lima belas tahun yang lalu?” Sandeul membuka pembicaraan—walaupun ini sama sekali tidak bisa disebut sebagai pembicaraan. “Setelah kamu mengucapkan terima kasih, polisi tiba dan membawamu ke rumah sakit. Sayangnya, saat itu kamu sudah mengalami pendarahan hebat dan kamu koma untuk beberapa hari. Pada akhirnya ... dokter tidak bisa menyelamatkanmu dan kamu pergi. Untuk selamanya.” Sandeul tersenyum getir.

Tidak ada respon sama sekali—tentu saja.

“Chansik-a, sekarang aku sudah punya pekerjaan yang mapan, hidupku lancar, bahkan aku sudah menikah lima tahun yang lalu. Kalau sekarang kamu masih ada, apakah kamu juga sudah menikah?” tanya Sandeul. “Siapa nama gadis yang dulu kamu taksir sewaktu kecil itu? Chanmi? Dia sudah berhasil sekarang, sudah punya keluarga dan hidup bahagia. Hahaha ... mungkin dia seharusnya menikah denganmu jika kamu masih hidup, ya,” canda Sandeul.

Lagi-lagi, tidak ada respon.

“Chansik-a, aku benar-benar rindu masa kecilku. Ketika kita bermain bersama, bercanda, mengobrol bersama eomma dan appa, dan juga ... saat kamu memanggilku dengan sebutan ‘hyung’. Aku rindu saat-saat itu,” jelas Sandeul. “Kalau saja, aku bisa memutar waktu, aku ingin mengulang semuanya dan memperbaiki kesalahanku!”

Hening.

Appa!” Seorang anak perempuan yang menggandeng tangan seorang wanita berambut pendek sebahu berjalan menuju Sandeul. Melambaikan tangannya.

“Sebenarnya, aku masih ingin mengobrol denganmu, tapi sepertinya ... anak dan istriku sudah memanggilku,” kata Sandeul. “Minhee, ayo ke sini. Sapa dulu pamanmu!” seru Sandeul pada anak perempuan itu, anaknya, Minhee.

Minhee membungkuk di depan batu nisan Chansik. “Annyeong haseyo, Chansik-ahjussi!” sapanya.

Aigoo, lihat pamanmu itu. Kamu memanggilnya dengan sebutan ‘ahjussi’, tapi wajahnya seperti anak kecil!” canda Sandeul. “Tadi jalan-jalan ke mana saja dengan eomma?” tanya Sandeul pada anak perempuannya.

Eomma mengajakku makan dan membeli bungan untuk Chansik-ahjussi!” jawab Minhee riang.

Sandeul tertawa. “Aigoo, aigoo. Kamu lihat, Channie? Istriku bahkan membelikan bunga untukmu!” seru Sandeul. “Yeonhee-ya, berikan bunganya padaku,” pinta Sandeul pada istrinya.

“Seperti yang kamu pesan, bunga bakung seperti biasa,” kata Yeonhee sambil menyerahkan sebuket bunga pada Sandeul.

Sandeul meletakkan bunga itu di depan batu nisan Chansik. Ia tersenyum dan berkata, “Chansik-a, maaf aku tidak bisa menemanimu lebih lama. Kapan-kapan, aku akan menjengukmu lagi, oke?” Setelah itu, Sandeul bangkit dari duduknya dan mencium batu nisan Chansik. “Aku menyayangimu, Chansik-a.”

Sandeul mulai berjalan meninggalkan batu nisan Chansik bersama anak dan istrinya. Semakin dan semakin jauh meninggalkan batu nisan itu.

Terlepas dari Sandeul, mari kita intip batu nisan Chansik. Jika kamu lihat baik-baik, di belakang batu nisan itu terdapat sebuah tulisan yang sengaja diukir di atas batu nisan itu. Tulisan yang menyampaikan isi hati Sandeul pada adiknya.

Hyung juga menyayangimu, adik tersayangku, Gong Chansik. Bukan, maksudku Lee Chansik.

POPULAR FANFICTION

BERITA PILIHAN

COPYRIGHT 2024 DREAMERS.ID PUBLISHED BY DREAMERS NETWORK