home_icon
SIGN IN
SIGN UP
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
LOUNGE
HOW IT WORKS
HOW TO BE DFF OF THE WEEK
TERMS OF USE
CONTACT US
  • Latest
  • Most Viewed
  • Most Loved
  • A-Z
  • My Fanfiction
  • My Subscriptions
  • My Subscribers
  • Create New Fanfiction
Fan Fiction > ANABELLE

ANABELLE

Share:
Author : Rezkyka
Published : 23 Apr 2014, Updated : 24 Oct 2017
Cast : Anabelle Walker as OC, Kim Jongin, Xi Lu Han, Kim Myungsoo , Lee Taemin and many
Tags :
Status : Ongoing
6 Subscribes |44880 Views |15 Loves
ANABELLE
CHAPTER 1 : PERGI UNTUK KEMBALI

~

Sebelumnya, aku tidak pernah menginginkan apapun di dunia ini. Hidupku sudah begini saja, aku sudah bersyukur. Tapi aku juga tidak menyangka hidupku akan sangat rumit ketika aku hanya meminta satu permintaan.

Meski mereka berjanji akan melindungiku aku yakin banyak yang siap menusukkan seribu belati kearahku ketika aku salah melangkah.

Aku bukannya takut mati, hanya saja ketika aku mati itu berarti akan ada peperangan yang lebih hebat dari sebelumnya.

Dan akhirnya aku punya alasan untuk tetap hidup.

~

San Francisco, California.

Aku berharap akan menangis ketika selesai mengepak pakaian, tapi ternyata tidak. Mungkin aku sudah rela untuk pergi, meski ini bukan keinginanku tapi aku mencoba untuk mengerti. Hari ini aku akan melakukan perjalanan jauh, pulang ke Negara kelahiranku, yang selama sepuluh tahun ini tidak pernah ku kunjungi, Korea Selatan.

“sudah siap?” seseorang mengaggetkanku ketika aku selesai menutup koper. Diambang pintu berdiri Mark yang menyenderkan tangannya pada pintu, Mark Ayahku yang kaku.

“Sudah, Dad” aku kembali memalingkan wajah untuk menyembunyikan wajah –tak suka–ku, sejak ia membuat keputusan untuk aku kembali ke Korea hubungan kami tidak terlalu baik setelahnya.

“kau membawa buku juga?” Ayah masih berdiri di ambang pintu sambil melirik kearah meja belajarku yang rapi. Ayah tidak perlu masuk ke dalam kamarku karena kamar ini sangat kecil jadi dia dapat melihat semuanya hanya dengan sekali pandang.

Aku masih mencoba menyibukkan diri “beberapa” balasku singkat.

Ayah kembali berdiri normal dan siap pergi “sarapan sudah siap, aku tuggu dibawah” suara langkah kakinya mulai menjauh. Aku terdiam, Andaikan dia tahu betapa kecewanya aku sekarang. Aku masih belum rela meninggalkan San Fransisco, kenapa Ayah tidak menungguku sampai lulus kuliah saja?

Aku berjalan menuju sudut tempat tidur mencari sesuatu dengan membuka bantal, disanalah aku menemukan fotoku bersama Ayah. Sebenarnya di foto itu harusnya ada kami bertiga, Ayah, Ibu dan aku. Tapi saat Ibu pergi aku merobek foto Ibu dan menyisakan fotoku bersama Ayah.

Saat itu umurku tujuh tahun ketika Ayah dan Ibu bercerai dan aku memilih pergi bersama Ayah ke San Francisco. Alasanya adalah aku melihat dari permasalah ini Ibulah yang bersalah. Dulu kami tinggal di sebuah pedesaan di daerah Jeonju, hidup kami sederhana dan bahagia, tapi Ibu mulai merasa tidak nyaman dan ingin kembali bekerja di kota. Hanya itu alasan yang aku tahu, tak lama Ayah dan Ibu berpikir bahwa mereka sudah saling tak cocok. Ayah kembali ke San Francisco dan Ibu menetap di Seoul, Ibu tega membiarkan aku pergi dengan Ayah demi mengejar karirnya di kota. Hidup memang kejam.

Tapi beberapa tahun belakangan ini hubungan Ayah dan Ibu membaik, mereka sering menelpon dan aku bisa mendengar suara Ibu lebih banyak dari sebelumnya. Setelah aku merasa semua keadaan membaik, aku malah mendengar keputusan sepihak Ayah untuk memindahkanku. Aku memang kecewa tapi ku sadar, Ibu tetap punya tempat tersendiri dalam hidupku, di dalam hidupku masih ada bagian-bagian memori yang harusnya aku rasakan bersama seorang Ibu. Jadi aku mengambil foto robek itu dan menyimpan foto yang terpisah itu dalam tasku. Aku tidak ingin berlama-lama didalam kamar, aku bisa memperbaiki foto itu nanti aku tidak akan membuat Ayah lama menunggu.

Setelah menuruni tangga aku langsung menginjak lantai dapur dan melihat denga jelas meja bulat tempat biasa kami menghabiskan waktu untuk makan bersama, meja bulat itu ternata sudah terisi dengan salad dan roti keju kesukaanku. Aku juga melihat Ayah sedang sibuk menuangkan susu sambil membelakangiku. Rasa sedih kembali terasa ketika aku menyadarkan diriku bahwa ini hari terakhirku sarapan bersama Ayah, padahal aku sudah mengeluarkan kesedihanku semalam, tapi ternyata itu belum cukup.

Sebelum aku duduk di kursi aku teringat sesuatu dan segera mengecek ponsel tanpa modelku yang aku selipkan di kantong celana. Tidak ada pesan disana, jadi aku memutuskan untuk keruang tamu dan mengintip dari jendela. Belum ada sinar matahari saat itu jadi penerangan masih samar, tapi aku dapat melihat anak laki-laki sedang melemparkan beberapa batu ke udara. Itu pasti L. Iya, L yang kalian ketahui salah satu dari bagian huruf itu teman, nama panggilan sebenarnya.

Aku kembali kedalam untuk meminta ijin pada Ayah “ada L diluar” ucapku memberitahu, berharap Ayah mengijinkannya masuk, atau membawa sarapanku keluar dan mengobrol dengan L atau mungkin.. lebih baik dari itu.

“benarkah? Dad harap dia tidak mempengaruhimu untuk membatalkan perjalanan” wajah Ayah terlihat tak suka, tapi tangannya sibuk mengelap piring yang sudah terlihat mengkilap. Aku tidak membalas perkataan Ayah dan segera membalikkan badanku, tidak ada yang bisa aku harapkan darinya.

“Ana” panggilnya, aku menoleh dengan wajah serius. Ia terlihat ragu berbicara, tapi tatapanku sudah terlihat tidak ramah baginya jadi ia segera bicara dengan malu-malu “ajaklah ia sarapan” aku menarik sudut bibirku tanpa membalas ajakan Ayah, aku hampir saja tertawa.

Dengan sedikit berlari aku menghampiri pintu dan membukanya. Aku mulai berjalan mendekat kearah L yang masih memunggungiku. Aku tahu dia sadar kalau aku sudah berdiri dibelakangnya, tapi ia tetap saja pura-pura sibuk.

“kenapa tidak mengirim pesan dulu?” aku memasukkan setengah jariku dikantong belakang jeansku. Mau tak mau L membalikkan badannya mendengar suaraku. Rambut hitamnya basah, tidak biasanya ia datang kerumahku sepagi ini jadi ia pasti hanya membasuh wajahnya dan berlari kemari. Sekarang ia terlihat mengulum bibirnya, ada sesuatu yang terihat sulit dikatakannya. Aku tahu, karena aku pun begitu.

L, adalah sahabatku selama bersekolah di San Francisco rumahnya hanya berjarak dua rumah dari rumahku. Kami kami sama-sama lahir di Korea Selatan dan pindah ke kota ini beberapa tahun yang lalu, bedanya dia memiliki marga. Nama Aslinya Kim Myung Soo, dia memilih huruf L sebagai nama panggilannya disini, Aku pikir itu keren, kadang aku merasa juga harus mengganti nama panggilanku menjadi x, y atau z semacam huruf yang digunakan guru matematikaku untuk menamai sesuatu yang perlu dicari dan membuatku kekurangan waktu tidur.

L beruntung memiliki marga Korea, karena Ibu dan Ayahnya berasal dari Negara yang sama, sedangkan aku hanya memiliki marga Walker dari Ayahku, ah dan satu lagi dia juga lebih beruntung karena Ayah dan Ibunya tidak bercerai.

“kau bilang ingin menyelesaikan SMA disini?”

“Iya, tapi sepertinya Ayahku ingin aku pergi lebih cepat” aku mengangkat bahu, seolah tidak ada yang dapat aku lakukan. Aku melihatnya mengangguk sok tegar, aku juga dapat melihat kantung matanya yang terlihat meprihatinkan. L salah satu murid pintar di kelas, jadi ia pasti masih melakukan rutinitasnya seperti biasa, belajar semalaman dengan buku tebal lebih tebal dari Novel karangan J.K. Rowling, dia memang suka memaksakan diri.

“setelah lulus SMA aku akan menyusulmu kesana” entah ia mencoba menghiburku atau menghibur dirinya.

“jangan memaksakan diri” tegurku.

“kau selalu tahu aku, kan?” dia tersenyum. Bibirnya tipis dan kemerahan, garis wajahnya tegas dan rambut hitam yang dibiarkan memanjang menyentuh alis membuat senyumnya terlihat manis. Tapi senyuman itu malah membuatku semakin sedih. Akhirnya kami saling berpelukan, aku bahkan hampir saja menangis kalau L tidak mengeluarkan leluconnya.

“kalau sudah sampai jangan lupa masakan California-ku” itu membuatku ternseyum. L salah satu pria yang tidak pintar memasak tapi pintar memaksa. Ia suka membuat Pie Apel tapi dicampurkan salad dan keju, tak lupa jamur dan kentang sebagai pelengkap, rasanya tidak begitu buruk, hanya terkadang rasa manis yang membuatku mual dan jika kau melihatnya akan terlihat seperti Pizza yang sudah lama disimpan di lemari pendingin, tapi tetap saja itu Pie, bukan Pizza.

“khem” kami melepas pelukan dan menoleh kearah Ayahku yang sudah berdiri diambang pintu sambil melipat tangan.

“oh ya aku lupa, Ayahku mengajakmu sarapan bersama” aku kembali melirik Ayahku yang ternyata sudah menghilang. L terlihat menahan tawa tapi kakinya mulai melangkah.

“ini baru pertama kalinya Tuan Walker mengajakku sarapan”

Aku mengangkat alis sejenak “mungkin sekali seumur hidup” kemudian menarik lengan jaketnya agar dia bisa berjalan lebih cepat.

“good morning, Mr. Mark” sapa L saat pertama kali masuk ke dapur.

“pakai bahasa Korea saja” ralat Ayah sambil menarik kursi. Aku hanya dapat menahan tawa sambil ikut menarik kursi.

Annyeonghaseyo” wajah L terlihat memerah tapi ia segera menyibukkan diri dan duduk dikursi. Sedangkan aku masih menyembunyikan wajahku. Ayah memang selalu menyuruhku untuk menggunakan bahasa Korea selain di Sekolah. Tapi L sepertinya lupa.

Kami makan dalam diam, tidak ada obrolan yang menarik karena aku dan Ayah bukanlah tipe yang pintar memulai obrolan. Tapi L, dia punya selera yang bagus dalam memulai pembicaraan hanya sepertinya ia akan mencari aman saja hari ini, terlihat sekali wajahnya yang terlihat terus melirik kearahku dan Ayah bergantian.

“cepat selesaikan sarapanmu, Dad tidak mau kau ketinggalan pesawat” Ayahku sudah berdiri sambil membawa piring dan gelasnya menuju washtafel di dapur. Aku memperhatikan punggungnya yang sibuk merapihkan barang-barang tidak jelas di dapur.

“apa Stacy tidak datang?” aku dapat melihat punggung Ayahku yang berhenti bergoyang. Stacy adalah teman wanita yang sedang dekat dengan Ayah. Stacy adalah suster disebuah rumah sakit kecil tak jauh dari rumah.

“tidak” Ayah membalikkan badan dan menyalakan kompor entah untuk apa.

“kenapa?”

“tidak tahu”

“apa dia akan sering datang ketika aku tidak ada nanti?” ini memang pertanyaan naif yang akan memancing kekesalan Ayah.

“Dad tidak tahu, dia sangat sibuk mengurus pasien rumah sakit” wajah tenang yang diekspresikan Ayah membuatku sedikit terkejut, atau mungkin dia sudah merencanakan tinggal bersama Stacy ketika aku pergi nanti.

“aku tidak akan marah, kalau Dad bersama wanita lain setelah aku pergi nanti” matanya mengarah padaku, sekarang aku berhasil bersikap bodoh dan membuat wajah Ayahku memerah.

“Aku mohon jangan balas ini lagi” Ayah memandangku serius “setidaknya ketika anak ini tidak disini” Ayahku melirik L yang masih membisu melihat perdebatan kecil kami.

“Dad akan mengambilkan barang-barangmu di kamar” Ayah segera pergi dan masuk  ke kamarku, aku hanya dapat menunduk menahan emosi. Sepertinya aku benar, Ayah menginginkan waktu lebih banyak dengan Stacy jadi ia mengirimkanku kembali ke Korea.

L mengusap punggunggku, membuatnya menjadi sedikit hangat “maaf, harusnya kau tidak perlu melihatnya” aku menatapnya bersalah.

“mendengarnya juga” ia melengkapi kalimatku dan aku hanya tersenyum samar.

Setelah semua persiapan selesai aku dan kedua pria itu –Ayah dan L–keluar dan membantu memasukkan tasku. Aku tidak terlihat seperti orang yang akan pergi jauh, aku hanya membawa satu koper dan tas ransel yang cukup besar.

“Aku tidak menyangka akan berangkat ke Sekolah tanpamu” L memulai dialog sedih lagi kepadaku.

“kau akan terbiasa” aku menepuk bahunya.

“aku harap” dia memalingkan wajah dengan ekspresi tak relanya.

“aku akan rutin mengirimkan E-mail padamu” giliranku yang menghibur.

“aku akan merindukkanmu” L kembali memelukku. Selama aku bersekolah disini memang L selalu jadi teman terdekatku, mungkin karena sifatku yang cuek membuat banyak teman perempuanku menjauh dan lebih memilih berteman dengan orang yang punya style bagus. Tapi aku juga punya Emelly dan Frans temanku juga, tapi kami tidak begitu dekat, hanya sekedar teman.

“sudah dua kali kalian berpelukan” seru Ayahku dari balik bagasi mobil, matanya tak mengarah pada kami tapi kami tetap melepas pelukan.

“kau mungkin bisa mengunjungi Ayahku untuk membantunya beberapa hal, dia agak pelupa”

“tidak perlu! Aku sudah mengingat semuanya” ucapnya lagi yang kemudian menutup bagasi mobil dan masih sambil tidak melihat kearah kami. Aku mengangkat alisku pasrah dan L hanya menggaruk tengkuk dengan wajah masam.

“aku pergi” ucapku kemudian menyusul Ayah masuk ke dalam mobil tuanya. Kami segera menjauhi rumah karena roda mobil Ayahku sudah berjalan. Aku menoleh kearah L yang melambaikan tangannya, aku balas melambai dengan tatapan sendu.

Ini akan berlalu sulit, aku masih tidak rela pergi, jadi aku menyenderkan tubuhku pada kursi dengan agak kasar. Pandanganku beralih pada jalan dan tidak sengaja menangkap seorang pria yang tengah berdiri tidak jauh dari rumahku. Rambutnya bergelombang dan berwarna merah sebahu, pakaiannya tidak mencolok karena ia menggunakan jaket dan celana hitam. Aku melihatnya sebentar karena Ayah mulai mempercepat mobilnya. Pria itu terlihat seperti turis asing dari irlandia. Memang banyak orang yang pindah ke dekat rumahku akhir-akhir ini.

“kau sedih meninggalkan anak itu atau aku?” Ayah membuyarkan lamunanku membuat pandanganku beralih padanya, mataku menyipit kearah Ayah.

“tentu saja karena meninggalkan rumah” aku mulai kembali menatap jalan.

“jadi kau lebih menyayangi rumah dari pada aku?”

“Dad!” tergurku yang mulai geram. Dia tahu itu bukan maksudku, harusnya Ayah tahu aku tidak ingin pergi dan aku masih ingin tinggal bersama Ayah, dan dia malah membuat moodku makin buruk dengan bersikap sok lucu.

“oke oke” iya mengangkat tangannya. “kau tidak akan meninggalkan rumah, Ana. Kau justru akan kembali ke rumah” sekarang wajah Ayah mulai serius atau mungkin terlihat khawatir, tapi ia menyelipkan senyuman setelah aku menangkap ekspresinya. Aku memang akan pergi, untuk kembali ke kampung halamanku, dan semoga semuanya akan baik-baik saja.

“kau ingat dengan Taecyon? Tetangga kita dulu di Jeongju” Aku ingat, dia beberapa tahun lebih tua dariku, kalau aku terlambat ke Sekolah dia suka mengantarku menggunakan sepedanya. Rumahnya tepat berada didepan rumahku yang dulu. Meski masih muda badanya kekar dan terlihat sehat, kulitnya juga tidak seputih orang Korea pada umumnya.

“Tidak begitu ingat jelas wajahnya, tapi aku tahu”

“aku sudah memberi tahu Ayahnya kalau kau akan kembali ke Korea, dia terlihat senang, kalau kau sempat, mampirlah ke Jeongju untuk bertemu dengannya” mataku mengerjap, kata-kata Ayah tadi jadi mengingatkanku sesuatu.

“jadi Ibu benar-benar sudah menetap di Seoul?” aku menoleh dan bertanya seolah-olah aku baru mengetahuinya.

“ya memang” Ayah mulai tak nyaman dengan pertanyaanku.

“tapi rumah kita yang dulu tidak di jualkan?”

“tidak tidak” ucapnya meyakinkan. Aku tahu rumah itu dibeli dengan hasil keringat Ayah, rumah pertama yang dibeli Ayah untukku dan Ibu. Dulu Ibu sempat berjanji untuk tinggal dan bekerja di Jeongju saja karena Ibu tidak punya rumah di Seoul, tapi setelah menikah lagi Ibu pergi dan pindah ke Seoul.

“aku harap rumah itu tak runtuh” sindirku. Aku harap masih ada orang yang mau mengurus rumah sederhana itu. Karena disanalah tempat dimana banyak kenangan yang tidak bisa diulang tertinggal.

“Ayah harap kau senang disana”

“aku juga berharap begitu” aku membuang muka menghadap jendela mobil yang terbuka, maklum ini mobil tua, jadi AC-nya agak bermasalah.

“Ayah juga berharap kau bersikap baik dengan keluarga Ibumu yang baru” entah Ayah berharap atau memohon, tapi aku tidak berjanji soal itu. Ini pertama kalinya aku akan bertemu dengan mereka dan semoga pertemua pertama itu menyenangkan. Aku tidak biasa menerima cepat orang-orang baru. Jadi tidak menangapi perkataan Ayah bukan suatu masalah karena Ayah juga tidak berkomentar. Kami berdua menutup mulut rapat-rapat setelah itu. Aku melihat pemandangan diluar jendela sekali lagi, kali ini dengan serius, dengan perasaan. San Fransisco, aku akan merindukan kota ini. Pasti.

 

POPULAR FANFICTION

BERITA PILIHAN

COPYRIGHT 2024 DREAMERS.ID PUBLISHED BY DREAMERS NETWORK