home_icon
SIGN IN
SIGN UP
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
LOUNGE
HOW IT WORKS
HOW TO BE DFF OF THE WEEK
TERMS OF USE
CONTACT US
  • Latest
  • Most Viewed
  • Most Loved
  • A-Z
  • My Fanfiction
  • My Subscriptions
  • My Subscribers
  • Create New Fanfiction
Fan Fiction > Love At The First Sight

Love At The First Sight

Share:
Author : amalamal
Published : 07 Feb 2014, Updated : 13 Dec 2018
Cast : Kris, Sarah
Tags :
Status : Ongoing
0 Subscribes |23120 Views |5 Loves
Love at The First Sight
CHAPTER 2 : Right, This Is Exactly How It Feels

Kring kring kring kring! Suara bel sepeda terdengar dari luar. Aku segera mengikat tali sepatuku dan berlari ke bawah.

“Sarah kau tidak sarapan dulu?” tanya Ibu dari dalam kamar. Ibu juga sedang bersiap untuk berangkat ke kantor.

“Tidak usah Bu, Sarah bisa makan di kantin. Sarah berangkat!” ucapku sambil berlari keluar.

 

...

 

 “Annyeong!” ucapnya begitu aku keluar dari rumah. Seorang namja yang mengenakan seragam sepertiku tersenyum sambil melambaikan tangannya. Dengan penuh semangat aku berlari mendekatinya dan melompat ke tempat duduk belakang sepedanya.

“Yaa! Mana sepedamu?” tanyanya kaget saat aku melompat ke sepedanya. Ia adalah Sehun, temanku sejak kecil. Kami bersahabat bahkan sejak kami baru saja dilahirkan, karena orang tua kami juga bersahabat. Orang tua kami adalah partner bisnis.

“Yaa beraaaat! Mana sepedamu?” tanyanya lagi sambil menggoyang-goyangkan sepedanya agar aku turun.

“Di dalam,” jawabku singkat.

“Kenapa tidak menggunakan sepedamu sendiri?”

“Shiro. Kau benar-benar tidak pengertian, kakiku kan masih sakit gara-gara tracking kemarin...” jawabku sambil menunjukkan muka imutku agar Sehun mau memboncengkanku.

“Hah baiklah, daripada kita terlambat.” Sepertinya Sehun luluh melihat tampang imutku.

“Ah ya! Sehunie, eodiga? Kemana kau kemarin? Kau tidak ikut tracking. Aku kesepian,” tanyaku saat Sehun mulai mengayuh sepedanya.

“Yaa bahkan kau tak tahu? Kau juga tidak mengirimiku sms. Pantas kemarin aku tak bersemangat mengerjakannya,” jawabnya sambil terus mengayuh sepeda.

“Kau ada lomba?” tanyaku kaget.

“Kau benar-benar tak tahu?” tanyanya lebih kaget.

“Jinjja? Mian! Aku tak tahu,” ucapku merasa bersalah.

“Ah sahabat macam apa kau ini, bahkan teman satu-satunya milikmu ini saja kau tak tahu kegiatannya,”

“Yaaa! Teman satu-satunya? Temanku banyak!” protesku sambil mencubit pinggangnya.

“Yaaa!” sepedanya oleng sebentar saat aku mencubit pinggangnya, “Appo! Kau sudah tidak memberiku semangat, dan sekarang mencubitku! Mana bisa kau dibilang sahabat?” protesnya sambil meringis dan satu tangannya memegangi pinggangnya.

“Miaaaan!” aku segera mengelus pinggangnya yang tadi kucubit.

“Lagipula, ucapanku benar kan? Aku temanmu satu-satunya?” tanyanya. Aku bisa melihat senyuman di sudut bibirnya dari samping.

“Ani! Sudah kubilang temanku banyak!”

“Gojitmal, kau sendiri tadi yang bilang kalau kau kesepian saat tracking karena aku tak ada,” ucapnya. Namja yang satu ini memang paling bisa membuatku kehabisan kata-kata. Benar juga sebenarnya, selama ini aku tidak memiliki teman dekat –yang sedekat ini– selain dengannya.

“Geure, makanya jangan tinggalkan aku sendirian, aku akan benar-benar kesepian,” jawabku sambil cemberut. Kulihat Sehun tersenyum lebar berhasil membuatku mengakuinya.

“Ya Sarah, pegangan yang erat, aku akan benar-benar mengebut,” serunya. Belum sempat aku mencerna kata-katanya untuk berpegangan erat, dia sudah mengayuh sepedanya secepat motor.

“Aaaaaaaah!” teriakku sambil memejamkan mata dan menggenggam erat seragamnya.

Aku selalu menyukai saat-saat seperti ini. Sehun adalah orang yang mampu membuatku tertawa, orang yang sangat memahamiku. Dia adalah orang yang selalu ada terlebih saat aku membutuhkannya. Orang yang selalu membuatku nyaman berada di sampingnya. Mungkin karena itulah aku merasa tidak membutuhkan teman lain karena sudah ada dia yang selalu menemaniku.

Ciiit! Sehun mengerem sepedanya dengan keras tepat di depan gerbang sekolah. Bruk! Kepalaku terantuk ransel dan punggungnya gara-gara ia mengerem seperti itu.

“Aah,” ucapku sambil mengelus dahiku. Aku segera turun dari boncengan sepedanya.

“Ah mian! Appo?” tanyanya melihatku mengelus dahi.

“Nomu nomu nomu appo!” bentakku sambil cemberut.

“Sini,” ucap Sehun. Kemudian ia mengacak poni dan rambutku. “Nah sudah sembuh!” ucapnya sambil tertawa meledek.

“Aish jinjja” aku segera merapikan rambutku. Sehun hanya tertawa melihat tingkahku.

“Kau pasti belum makan? Kajja, kita ke kantin dulu mumpung masih jam segini!”

“Geure, kajja!”

 

...

 

Bel istirahat berbunyi. Siang ini rasanya panas sekali. Aku yakin kantin pasti akan penuh dengan anak-anak yang kehausan. Aku putuskan untuk duduk-duduk saja di bawah pohon dekat lapangan, tampatku biasa membaca novel, daripada harus berdesak-desakan di kantin.

“Ini,” Sehun menyodorkan eskrim padaku. “Aku tahu kau kepanasan,” ucapnya sambil duduk di sampingku.

“Waaah, gomawo. Kau memang sangat mengerti aku,” ucapku sambil mencomot es krim yang dia berikan, “Aaah, mashita! Segarnya!”

“Ya Sarah, kau sekarang sudah jadi orang terkenal ya...” ucap Sehun tiba-tiba sambil terus memakan es krimnya.

“Mwo? Maksudmu?”

“Aku dengar mereka menyebut-nyebutkan namamu tadi,”

“Nugu?” tanyaku penasaran.

“Yaa bersihkan dulu mulutmu sebelum berbicara! Belepotan sekali,” ucap Sehun. Ia mengusap mulutku yang penuh dengan eskrim coklat dengan ibu jarinya.

“Ah mian,” aku segera membersihkan tangannya dengan sapu tanganku. “Nugu? Siapa yang membicarakanku?” tanyaku lagi.

“Anak-anak senior pecinta alam. Tadi saat aku membeli ini di kantin, aku tidak sengaja mendengar mereka menyebut-nyebut namamu,” jelasnya.

Deg! Seketika aku tersentak. Kaget bukan main, teringat kejadian kemarin saat tracking. Aku terdiam beberapa saat. Jangan-jangan Kris membicarakan hal yang tidak-tidak ke teman-temannya... batinku. Rasanya mukaku memucat memikirkan hal itu.

“Em... kau... apa yang kau dengar? Apa yang mereka bicarakan?” tanyaku was-was. Aku tidak mau Sehun mengetahui kejadian kemarin saat aku tersesat dan harus menyewa satu kamar dengan Kris.

Sebenarnya aku selalu menceritakan hal apapun pada Sehun begitupula sebaliknya. Kami sangat terbuka dan blak-blakan. Namun satu hal yang sampai sekarang tidak pernah aku ceritakan padanya. Aku benar-benar menjaga tentang hal itu, tentang bagaimana perasaanku pada Kris. Karena entah mengapa aku takut dan tidak mau kalau Sehun terluka jika mengetahui hal itu.

Entah mengapa, entah ini memang benar atau hanya perasaan dan GR-ku saja, aku merasa Sehun memiliki rasa yang lebih terhadapku. Ya, lebih dari sekedar bersahabat. Aku bisa melihat dari caranya bersikap padaku, caranya berbicara padaku, dan caranya menatapku. Seperti ada sesuatu dalam tatapannya. Hal itulah yang membuatku merasa bahwa lebih baik menjaga perasaan sukaku pada Kris ini sendiri tanpa memberi tahunya. Aku tidak mau jika aku bercerita, nantinya dia malah terluka. Aku sangat tidak mau membiarkan orang yang selama ini selalu ada untukku, selalu berusaha menghiburku, dan selalu menjagaku, terluka justru karena tingkahku sendiri. Aku tidak mau jika nantinya dia malah jadi menjaga jarak denganku karena mengetahui perasaanku pada Kris. Aku juga tidak mau kehilangan sosok sepertinya. Aku rasa, belum saatnya aku bercerita tentang Kris. Atau mungkin aku tidak usah bercerita saja karena aku pikir perasaan sukaku ini adalah perasaan suka sepihak saja.

“Molla,” jawab Sehun enteng.

“Lalu?”

“Entahlah, aku hanya mendengar kalau kau satu-satunya orang yang tersesat saat tracking sehingga mereka harus kesusahan mencarimu sampai malam. Mereka benar-benar kesulitan sepertinya, sampai mengeluh-mengeluh seperti itu, hahaha,” Sehun tertawa meledekku.

Hah! Lega rasanya kalau Sehun tidak mendengar hal yang tidak-tidak dari mereka. Jantungku kembali berdegup normal.

“Ternyata memang benar. Hanya aku satu-satunya orang yang bisa kau andalkan. Hanya aku yang bisa berteman denganmu dan yang bisa menjagamu,” ucapnya sambil tersenyum bangga.

“Yaaa! Kau pikir orang tuaku tidak mampu menjagaku?” protesku. Sehun memang kadang menyebalkan seperti ini. Aku menggigit bibir bawahku sambil cemberut.

“Aaah, nomu nomu kyopta!” ujarnya sambil mencubit pipiku dan mengacak rambutku. Dia memang paling suka mengacak rambutku.

“Hajimaaa!” teriaku sambil merapikan kembali rambutku.

Kami melanjutkan memakan eskrim kami sebelum meleleh karena teriknya matahari siang ini. Aku sedang melahap suapan terakhir eskrimku saat tiba-tiba anak-anak senior pecinta alam lewat di depanku dan Sehun. Aku melihat sosok Kris berjalan paling belakang.

Deg! Dia menatapku dengan tatapan penasaran itu lagi. Aku segera menundukkan kepalaku. Mukaku memerah entah kenapa. Aku harap Sehun tidak melihat tingkahku ini.

“Yaa Pelukis, gambarmu jjang!” ucap Kris tiba-tiba saat lewat di depanku. Dia mengangkat kedua ibu jari tangannya.

Aku kaget bukan main. Aku merasa saat ini waktu terhenti dan semua mata tertuju padaku. Aish jinjja! Apa yang dia pikirnkan berbicara seperti itu ditempat seramai ini?? makiku dalam hati.

“Mwo?” ucapku.

Kris hanya tersenyum sambil berlalu bersama teman-temannya. Entah apa maksudnya bersikap seperti itu.

Waktu benar-benar terasa berhenti. Dan aku lagi-lagi merasa mati gaya. Ottoke? Apa yang harus ku katakan pada Sehun? batinku.

“Nugu? Dia siapa? Kau kenal? Pelukis?” benar saja, Sehun langsung menghujaniku dengan pertanyaan-pertanyaan itu.

“Aah, dia senior pecinta alam yang menemukanku kemarin,” jelasku berharap Sehun tidak bertanya lebih jauh.

“Oooh, harusnya kau berterimakasih padanya. Dia telah menyelamatkanmu,” ucapnya. Aku hanya mengangguk.

“Ah ya! Kau pulang sekolah naik apa?” lanjut Sehun. Syukurlah Sehun tidak bertanya yang macam-macam.

“Bersamamu lah, kan aku tidak bawa sepeda. Wae?”

“Tapi aku ada kelas tambahan untuk lomba minggu depan. Ottoke?”

“Geure Genius-ssi. Gwenchana, aku akan menunggu disini. Kudengar ada novel baru di perpustakaan, aku bisa meminjamnya dan membacanya disini sambil menunggumu,” jawabku.

“Geure! Tunggu aku oke?”

“Oke! Kajja kita ke kelas, sebentar lagi masuk!”

 

...

 

Aku benar-benar lupa kalau ini hari Selasa, yang berarti ini jadwal pecinta alam berlatih di lapangan depan sekolah. Sepulang sekolah, setelah meminjam novel di perpustakaan, aku segera berjalan menuju spot favoritku yaitu di bawah pohon pinggir lapangan depan sekolah.

Seketika aku tersentak saat melihat lapangan sudah ramai berisi anak-anak pecinta alam sedang berlatih. Dan perfect timing! Saat itu juga tiba-tiba aku dan Kris bertemu mata. Bakalan aneh kalau tiba-tiba aku tidak jadi duduk di situ, Kris pasti akan mengira kalau aku menghindarinya. Akhirnya aku putuskan untuk tetap duduk di situ. Aku mulai membaca novel yang aku pinjam dan berusaha untuk menghiraukan pikiranku tentang Kris. Biasanya aku menunggu-nunggu hari Selasa seperti ini untuk bisa melihatnya berlatih, tapi sekarang justru kalau melihatnya aku merasa malu.

Empat puluh lima menit berlalu. Peluit dari pelatih pecinta alam berbunyi, tanda waktu istirahat bagi mereka. Tiba-tiba aku merasa seseorang berjalan ke arahku. Jantungku berdegup tidak karuan. Tanganku mendadak dingin.

Cahaya matahari terhalang oleh bayangan seseorang yang berdiri tepat di depanku. Aku mengangkat kepalaku untuk melihat orang itu. Jantungku masih berdegup sangat kencang sampai-sampai aku merasa takut jika suaranya terdengar dari luar.

“Annyeong!” ucapnya sambil tersenyum. Benar saja, itu Kris, dengan pakaian olahraga dan keringat yang mengalir di seluruh tubuhnya. Badanku terasa lemas sekali melihat sosok yang begitu cool berdiri di depanku, bahkan menyapaku. Wajahku memerah saat aku ingat kejadian saat tracking kemarin. Rasa deg-degan sekaligus malu bercampur saat ini.

“An... an... annyeong...” jawabku.

“Aku akan duduk di sini,” ucapnya tanpa ragu. Aku hanya mengangguk. Tidak mampu berkata-kata.

Saat ia hendak merendahkan badannya untuk duduk di sampingku, tiba-tiba ia terhenyak. Diam beberapa saat seperti mengingat sesuatu. Aku tidak tahu apa yang dia lakukan.

“Jadi seperti ini...” aku mendengar Kris menggumam seperti itu.

“A... apanya yang seperti ini?” tanyaku ragu.

“Aku... aku ingat. Jadi rasanya seperti ini,” ucapnya sambil menatapku tajam. Aku segera mengalihkan pandanganku. Jantungku berdegup semakin kencang.

“Apa yang kau maksud?” tanyaku pelan.

“Ireoke... Jadi seperti ini saat awal aku melihatmu?” Kris masih terus menatapku. Aku kaget bukan main mendengar jawabannya.

“Ottoke? Bagaimana kau bisa tahu?” tanyaku dengan bodohnya, seperti mengakui bahwa kejadian saat awal aku bertemu dengannya memang seperti ini. Dan lagi-lagi aku langsung menyesali pertanyaan bodohku ini.

“Aah, benar ternyata. Kau pun juga ingat,” ucapnya sambil tersenyum, “pantas saja saat itu, saat di hutan itu, aku seperti telah mengenalmu sebelumnya...” lanjutnya sambil menyeka keringat yang terus mengalir dari dahinya

“Ini,” secara spontan tanganku merogoh saku rokku untuk mengeluarkan sapu tangan dan memberikan kepadanya. Kenapa aku seperti tidak bisa mengontrol diriku sendiri seperti ini, batinku saat sadar apa yang tengah aku lakukan. Aku mengrenyitkan dahiku dan menutup mataku menyadari hal bodoh ini.

“Shiro,” jawabnya.

“Mwo?” ucapku kaget bahwa sapu tanganku ditolak.

“Kotor, ada bekas coklatnya,” ucapnya sambil menunjuk sapu tanganku. Aku baru ingat kalau tadi aku telah menggunakannya untuk membersihkan tangan Sehun. Aaah... babo babo! makiku pada diriku sendiri.

Aku melihat Kris tersenyum melihatku. Siang ini jantungku harus bekerja super keras sepertinya. Aku merasa sangat bahagia menatap senyumnya. Benar-benar senyuman yang menenangkan. Bahkan dengan keringat yang bercucuran seperti itu Kris terlihat begitu tampan, batinku.

“Sarah!” teriak seseorang dari pinggir lapangan. Sehun sudah selesai dengan jam tambahannya rupanya. “Kajja! Kita pulang! Aku ambil sepeda dulu oke? Kau tunggu di gerbang!” lanjutnya sambil melambaikan tangan ke arahku.

“Oke, tunggu!” ucapku. Aku menatap ke arah Kris yang masih duduk di sampingku sambil membawa botol air mineral yang telah dia habiskan.

“Aku akan pulang,” ucapku, “Annyeong...” aku segera bangkit dari tempat dudukku dan berjalan pergi.

“Yaa!” suaranya terdengar saat aku mulai melangkahkan kakiku. Aku membalikkan badanku. “Lain kali sediakan sapu tangan yang bersih,” ucapnya sambil tersenyum. Badanku langsung lemas, aku merasa begitu gugup. Tanpa tersadar aku membuat senyuman di bibirku. Mukaku memerah. Aku berjalan menuju gerbang dengan perasaan yang entah aku sendiri tidak mampu mendefinisikannya. Is it a love?

 

...

POPULAR FANFICTION

BERITA PILIHAN

COPYRIGHT 2024 DREAMERS.ID PUBLISHED BY DREAMERS NETWORK