home_icon
SIGN IN
SIGN UP
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
LOUNGE
HOW IT WORKS
HOW TO BE DFF OF THE WEEK
TERMS OF USE
CONTACT US
  • Latest
  • Most Viewed
  • Most Loved
  • A-Z
  • My Fanfiction
  • My Subscriptions
  • My Subscribers
  • Create New Fanfiction
Fan Fiction > Fading Like A Flower

Fading Like A Flower

Share:
Author : ISMIPURISA
Published : 30 Dec 2013, Updated : 30 Dec 2013
Cast : yesung, donghae
Tags :
Status : Complete
0 Subscribes |1589 Views |0 Loves
Fading Like a Flower
CHAPTER 1 : Fading Like A Flower

Yesung’s POV

Secangkir black coffe di mejaku belum kusentuh sama sekali.

Aku menatap keluar dengan gusar, meneliti jalanan pagi yang padat. Dinding cafe yang terbuat dari kaca ini mempermudah mataku meneliti keluar, melewati mobil-mobil yang lalu lalang, menghinggapkan pandangan pada bangunan kecil tepat di seberang jalan ini. Sebuah toko bunga bercat dominan warna ungu.

Sosok itu belum juga terlihat.

Aku berpaling sebentar, mengangkat cangkir kopiku dan menyesapnya sedikit. Dulu aku tidak menyukai kopi hitam meskipun aku begitu sering datang ke sini. Favoritku adalah segelas espresso, dan Donghae lah yang selalu memesan black coffee. Entah sejak kapan aku mulai menyukai black coffee juga. Setiap kali menghadapi cangkir putih yang kontras dengan hitam kopi ini, kalimat itu seakan terngiang-ngiang di telingaku.

“Pagi tanpa secangkir kopi adalah hari tanpa matahari, Hyung.”

Dulu aku terbahak usai Donghae mengucapkannya. Bagiku dia orang yang selalu berlebihan. Sekarang aku tersenyum kecil, menemukan kenyataan bahwa setiap pagi aku selalu minum secangkir kopi.

Aku berpaling lagi ke seberang jalan. Ah, dia sudah datang. Yeoja bertubuh kurus dengan wajah agak tirus itu sudah selesai membuka pintu, lalu menghilang masuk ke dalam toko. Pagi ini dia memakai gaun berwarna putih dengan corak bunga-bunga kecil berwarna merah tua. Aku sudah hafal kebiasaannya, sebentar lagi dia akan keluar, menata bunga-bunga di teras toko. Benar saja. Lonceng di pintu bergoyang ketika dia keluar lagi, membawa seikat tangkai bunga krisan di tangannya.

Dia mulai menata bunga itu di teras dengan jari-jari kurusnya. Rambutnya yang hitam panjang terurai, dengan anak-anak rambut halus berjatuhan di keningnya. Dia di sana seperti lukisan dengan latar belakang toko bunga bercat ungu. Sekarang aku sedikit mengerti apa yang dirasakan dongsaengku dulu ketika melihatnya.

“Namanya Lee Ji Kyung, Hyung!”

Sore itu Donghae berseru senang sambil menghampiriku. Tangan kirinya membawa buku sketsa yang memang selalu dibawanya ke mana-mana.

“Umurnya 23 tahun. Toko bunga itu milik ayahnya, dia sudah setahun membantu menjaga toko itu. Dia tinggal di...”

“Yha! Donghae-ya!” Aku membentaknya, “Kau ini seorang stalker atau apa? Lama-lama aku jadi takut padamu.”

Donghae malah tertawa.

“Kau tahu kenapa aku menyukainya, Hyung?” Dia mulai melankolis lagi. “Karena ketika melihatnya, hal yang pertama kupikirkan adalah aku harus mengingat wajahnya agar aku bisa melukisnya nanti.”

Sekarang akulah yang sedang memandangi yeoja itu. Harusnya aku membencinya. Harusnya aku membencinya. Ulang hatiku berkali-kali. Ya, harusnya aku membenci yeoja berwajah tirus itu, bukannya malah memandanginya hampir setiap pagi seperti ini.

“Wajahnya seperti senja, Hyung,” lanjut Donghae ketika itu,”Wajahnya membuatmu mengenang sesuatu yang entah apa. Dia tidak cantik, tapi sekali kau melihatnya, kau tidak akan bisa melupakannya.”

Aku mengingat hampir setiap kalimat Donghae tentang yeoja itu. Entah aku tersugesti atau apa, aku memang tidak bisa melupakan wajahnya. Dulu aku selalu menganggap setiap kalimat Donghae berlebihan, hanya keluar dari pikiran orang kurang waras yang senang pada hal-hal melankolis. Tapi sekarang, semua kalimat itu melekat sangat erat di otakku.

Aku muak pada diriku sendiri.

Kutinggalkan cangkir kopiku, cepat-cepat melangkah keluar menuju tempat parkir. Selain aku tidak ingin lebih lama lagi memandangi yeoja itu, sekarang juga sudah waktunya pergi ke kantor.

***

***

Lee Ji Kyung’s POV

Aku selesai merangkai bunga-bunga krisan ini. Setelah puas memandanginya, aku berpaling ke jalanan. Pagi seperti ini jalanan selalu ramai. Mendadak mataku menangkap sesuatu. Seseorang berjas hitam keluar dari cafe tepat di seberang jalan, berjalan menghampiri mobil silvernya. Mobil itu meluncur ke jalanan dengan cepat, menghilang dari pandangan. Tidak, bukan mobil mewahnya yang menyita perhatianku, bukan juga penampilan namja itu. Tapi aku merasa dia menatapku. Ya, dia menatapku ketika berjalan terburu-buru ke mobilnya. Aku tidak tahu tatapan macam apa itu, tapi dadaku berdesir, seperti tertekan sesuatu. Dia menatapku dengan nanar, sedikit sayu, tapi tajam. Tatapan yang belum pernah kudapatkan sebelumnya. Dan lagi, rasanya aku pernah bertemu dengan namja itu. Tapi kapan? Di mana?

***

***

            Yesung’s POV

Aku menutup pintu mobil sambil melirik jam tangan yang melingkari tangan kiriku. Pukul 20.00. Sambil berjalan ke dalam rumah, kumasukkan kedua tangan ke saku celanaku. Rumah besar ini seperti biasa, lengang. Seperti tidak berpenghuni.

“Ah... Yesung-ah..” Min Young ahjumma menyambutku di ruang tengah, ”Kau mau makan malam?”

“Gomawo ahjumma, tapi aku sudah makan,” aku tersenyum simpul, ”Malam ini aku ingin tidur di sini.”

“Arasseo... Naiklah ke atas. Wajahmu terlihat lelah sekali.”

Wanita paruh baya itu tersenyum sambil mendorong punggungku. Sejak dulu dia sudah seperti eomma bagiku dan Donghae. Sebagai anak tunggal, Donghae selalu kesepian di rumahnya sendiri. Eomma dan Appanya terlalu sibuk dengan bisnis mereka sampai-sampai mengajak Donghae berlibur pun mereka sering tidak bisa. Sekarang, mereka bahkan lebih memilih tinggal di Kanada dan meninggalkan rumah ini. Min Young ahjumma lah yang berperan sebagai eomma bagi Donghae sejak kecil. Dia selalu bisa memaafkan kenakalan-kenakalan kami yang selalu usil dan jahil di manapun kami berada. Donghae adalah semacam partner in crime bagiku.

Aku menyalakan lampu di kamar luas berdinding merah hati ini. Setelah melepas sepatu, kaos kaki dan jasku, aku menjatuhkan diri di atas ranjang, berbaring menatap langit-langit. Ketika berguling ke kiri, pandanganku jatuh kepada lukisan yang tergantung di dinding. Seorang yeoja memakai gaun putih, tersenyum samar dengan seikat scarlet carson dalam genggamannya. Itu lukisan Donghae. Aku muak melihatnya dan ingin menyingkirkannya dari dinding itu, seandainya saja aku punya keberanian. Tapi aku tidak pernah berani menyentuh barang-barang Donghae, bahkan setelah dia tidak ada di sini.

“Donghae baboo....” gumamku dengan suara bergetar.

“Hyung! Hyung! Ikut aku!”

Dalam bayanganku muncul seorang anak lelaki kecil berbaju biru, berlari ke arahku lalu semena-mena menarik tanganku yang sedang asyik bermain pasir di taman.

“Yha! Kenapa kau menarik-narik tanganku?” gerutuku padanya.

“Lihat itu, Hyung!”

Donghae menunjuk pagar bercat kusam yang ada di sudut taman. Pagar itu sudah rusak, tidak sempurna lagi melindungi tempat ini. Jadi apa yang membuat Donghae begitu girang?

“Waeyo?? Kenapa dengan pagar itu?”

“Bukan pagarnya,” Donghae berjalan mendekati pagar itu, ”Tapi bunga ini, Hyung.”

Dia menyentuh bunga-bunga kecil berwarna ungu yang batangnya tumbuh merambati pagar itu. Ada banyak sekali. Bunga-bunga itu berbentuk seperti terompet.

“Kenapa dengan bunga itu?” tanyaku bingung.

“Indah, bukan?” Donghae tersenyum polos sementara aku menatapnya ganjil.

Waktu itu umurnya 6 tahun dan aku 8 tahun. Aku tidak mengerti kenapa Donghae bisa begitu girang hanya dengan melihat bunga-bunga liar. Dia kemudian berlari ke rumah, mengambil pensil dan buku gambar, lalu membiarkanku bermain pasir sendirian sementara dia sibuk duduk di sudut taman: menggambar bunga itu. Hari itu, untuk pertama kalinya aku tahu Donghae senang melukis. Dan lukisannya memang indah, bahkan bagiku yang sama sekali tidak tahu soal seni.

Aku berpaling dari lukisan yeoja antah berantah itu: Lee Ji Kyung.

Di samping kamar ini ada sebuah ruangan tempat Donghae biasa melukis, tapi sampai hari ini aku tidak berani membukanya. Aku takut melihat lebih banyak lagi gadis bermata senja itu, sedangkan sekarang aku bahkan tidak bisa melupakan wajanhya hanya dengan melihatnya dari dalam cafe setiap pagi.

“Donghae-ya,,, Apa yang terjadi padaku? Apa yang harus kulakukan?”

Aku bergumam lagi. Mataku mulai panas. Seandainya dia di sini, aku akan memarahinya, aku akan mengatainya baboo atau pengecut seperti biasanya, aku akan meninju lengannya atau melempari wajahnya dengan bantal seperti setiap kali dia bercerita tentang yeoja asing itu.

“Kenapa kau tidak datang ke tokonya, berkenalan lalu mengajaknya minum kopi?” tanyaku suatu hari.

“Dia lebih suka minum coklat hangat sambil makan blackforest di toko roti, Hyung.” Donghae tersenyum.

Aku terperangah. Dia bahkan tahu sampai hal sekecil itu. Sebenarnya dia ini menyewa detektif atau apa?

“Donghae baboo... “ejekku, “Dengan terpaksa kukatakan kau ini tampan, jadi kenapa kau harus takut hanya untuk mengajak seorang yeoja berkenalan? Ini sudah hampir satu tahun!”

“Aku tidak takut, Hyung. Aku hanya mencari waktu yang tepat.”

“Aiish... Waktu yang tepat itu tidak dicari, Donghae-ya, tapi diciptakan. Kau ini pengecut sekali.” Aku sok tahu menasehatinya. Dia tersenyum simpul seperti biasa.

“Kau tidak akan mengerti, Hyung,”katanya, ”Aku minta kau ingat satu hal. Kalau aku tidak sempat mengatakan padanya, kau yang harus memberitahunya bahwa Donghae baboo ini sudah jatuh cinta padanya.”

Hatiku getir mengingat kalimat itu. Kau yang harus memberitahunya bahwa Donghae baboo ini sudah jatuh cinta padanya. Bagaimana aku bisa memberitahunya, sedangkan aku ingin sekali membencinya? Bagaimana aku bisa memberitahunya, sedangkan aku mulai merasa aneh jika tidak melihat wajahnya sehari saja? Bagaimana bisa? Beritahu aku apa yang harus kulakukan, Donghae-ah... Apa kau marah padaku sekarang? Apa kau menghukumku karena aku selalu menertawakanmu yang jatuh cinta pada yeoja asing yang tidak kau kenal? Apa kau akan membenciku karena aku tidak membencinya, tapi malah diam-diam menyukai wajahnya? Aargghhh... Kepalaku pusing.

***

***

Bulan Agustus membuatku lebih murung dibanding biasanya. Mendadak aku malas berbicara dengan orang lain, bahkan aku juga malas untuk sekedar tersenyum.

            Jam istirahat kantor seperti ini, aku lebih memilih berjalan-jalan keluar dibanding makan bersama orang lain. Benar kata Donghae, bekerja di kantor sangat membosankan. Dulu dia mati-matian menolak bujukan orang tuanya untuk mewarisi perusahaan keluarga dan lebih memilih menjadi wartawan sambil tetap melukis atau menggambar di mana saja dia ingin melakukannya. Dan paling sering, dia menggambar di cafe depan toko bunga itu. Siapa lagi kalau bukan Lee Ji Kyung yang menjadi objeknya.  

Lamunanku buyar ketika ada mendengar suara tangisan tak jauh dari tempatku berdiri. Seorang yeoja mungil berjongkok di dekat ayunan taman, menundukkan kepala dengan bahu berguncang-guncang karena tangisannya.

“Hei tuan putri, kenapa kau menangis?”

Yeoja mungil itu mendongak dengan wajah terkejut, matanya sembab dan basah.

“Uljima....” kataku, “Kenapa kau menangis?”

“Temanku bilang... dia bilang... aku jelek.. Oppa....” dia menjawab dengan tersendat-sendat, ”Dia bilang... aku gendut... dan jelek...”

Aku menahan senyum. Bagaimana bisa temannya mengatai anak secantik ini jelek? Dasar anak-anak.

“Aniyo... Kau cantik, sangat cantik... Lihat, kau bahkan lebih cantik dari bunga itu.”

Aku menunjuk rumpun bunga matahari di dekat kami. Dia tersenyum sedikit.

“Kau mau coklat? Oppa akan memberimu coklat kalau kau berhenti menangis.”

Dia mengangguk-angguk cepat. Matanya mulai bersinar. Aku mengajaknya berdiri dan menggenggam tangannya, ketika mendadak seseorang berseru dari kejauhan.

“Su Jin-ah! Su Jin-ah!”

“Eonni!!” Yeoja mungil itu melepaskan tanganku dan berlari menghampiri orang yang memanggil namanya.

“Kenapa kau pergi dari sekolah? Eonni dan songsaenim sibuk mencarimu...”

“Jung Woo nakal, eonni. Dia mengatakan aku jelek...” Yeoja mungil bernama Su Jin itu mengerucutkan bibirnya.

“Mwo?? Siapa yang berani mengataimu jelek? Nanti eonni jewer telinganya.”

Yeoja itu tertawa. Aku masih terpaku di tempatku semula. Tanganku gemetar mendengar suaranya.

“Ayo kita kembali ke sekolah. Nanti eonni bisa dimarahi kalau eommamu tahu kau membolos...”

“Tapi aku mau coklat, eonni. Oppa itu mau memberiku coklat...”

Su Jin menunjuk ke arahku. Yeoja itu memandangku, menatap tepat ke bola mataku. Tubuhku rasanya limbung dan beku.

***

***

Lee Ji Kyung’s POV

Su Jin mengarahkan tangannya pada seorang namja yang berdiri di dekat kami, tapi aku tidak menyadari keberadaannya sejak tadi. Mataku membulat ketika melihatnya. Dadaku berdesir lagi. Itu dia. Namja yang beberapa hari yang lalu menatapku dari halaman cafe. Namja yang akhirnya kuketahui hampir setiap pagi datang ke cafe itu. Ya, itu dia. Dan aku makin yakin aku pernah melihatnya di suatu tempat.

Su Jin menarikku mendekati namja itu. Apa ini hanya perasaanku saja? Dia terlihat gugup dan kebingungan.

“Oppa,,, mana coklatku?” Su Jin menengadahkan tangannya. Namja itu masih terlihat kaget, entah kenapa.

“Mianhae, jeongmal mianhae, Su Jin sudah tidak sopan,” kataku akhirnya.

“Eoh... aniyo.. Aku.. aku yang sudah berjanji akan memberinya coklat.” Namja itu merogoh saku celananya dengan terburu-buru.

“Ini coklatmu, tuan putri. Jangan menangis lagi, ya. Kau cantik kalau tersenyum.”

Dia mengulurkan coklat itu pada Su Jin yang kegirangan. Aku ingat sekarang... Aku ingat sesuatu... mata yang menatapku nanar itu...

***

***

Ye Sung’s POV

Pagi ini kembali sama, dengan secangkir black coffee di atas meja. Yang berbeda adalah hatiku. Hari ini, 24 Agustus, tepat setahun sejak kepergian Donghae, sahabat yang sudah melebihi saudara kandungku sendiri. Kami sama-sama anak tunggal dan berteman sejak kecil, sejak dia dan keluarganya datang dari Kanada dan tinggal tepat di samping rumahku. Waktu itu usianya masih 3 tahun. Donghae kecil yang sering ditinggalkan eomma dan appanya lebih sering tinggal di rumahku dan dia manja pada orang tuaku seperti kepada orang tuanya sendiri.

Aku menyesap kopiku. Hari ini aku harus mengatakannya kepada yeoja itu, bagaimanapun caranya, tidak peduli aku masih belum bisa melupakan tatapannya padaku di taman, seminggu yang lalu. Aku ingin memakinya seperti yang ingin kulakukan setahun yang lalu. Aku ingin menyalahkannya atas kepergian Donghae. Sungguh, aku ingin melampiaskan kesedihanku padanya. Bagaimana tidak? Hari itu, Donghae akhirnya memutuskan menemui Lee Ji Kyung. Dia tidak segugup yang kubayangkan dan bahkan tidak mengatakan apa-apa padaku. Pagi itu dia datang ke rumahku dengan senyum simpulnya yang biasa.

“Aku akan pergi hari ini, Hyung,” katanya, “Menemuinya.”

Aku menepuk-nepuk bahunya dengan wajah salut sambil menahan tawa.

“Semoga berhasil,” hanya itu yang kukatakan.

“Yha! Hyung! Aku tidak akan mengajaknya menikah sekarang juga, aku hanya ingin membeli bunga untuk orang yang istimewa.”

Aku tertawa, tidak begitu memperhatikan jawabannya.

“Ingat lagi, Hyung. Kalau aku tidak sempat mengatakannya, kau yang harus memberitahu dia bahwa aku mencintainya.”

Aku masih ingat bagaimana wajahnya yang damai ketika aku sampai di rumah sakit. Aku masih merasakan tubuh bekunya, tangannya yang dingin saat kugenggam. Dongsaengku yang sangat kusayangi, yang sangat berharga seperti saudara kembarku sendiri, akhirnya pergi secepat itu karena kecelakaan. Mobilnya terhantam truk yang melanggar lampu merah, tepat di perempatan dekat cafe ini, dekat toko bunga itu. Aku gemetar lagi mengingat wajahnya, mengingat jok mobil yang berlumuran darah dan seikat calla lily putih yang warnanya berubah kemerahan. Itu semua karena yeoja antah berantah itu. Karena Donghae jatuh cinta padanya. Karena Donghae menemuinya.

Aku bangkit dan berjalan tergesa-gesa keluar. Aku harus menemui yeoja itu sekarang juga.

“Aaah!!!”

Karena terlalu terburu-buru, tanpa sengaja aku menabrak seseorang. Aku mengibaskan tanganku yang terkena tumpahan kopi panas yang dibawa orang itu.

“Mianhae... jeongmal mianhae...” terdengar suaranya meminta maaf.

Suara ini...

“Ye..sung-ssi...” Matanya membulat kaget. Aku menatapnya tidak percaya.

“Bagaimana... kau bisa tahu namaku?”

Dia diam sejenak menguasai keterkejutannya.

“Ayo ikut aku. Lukamu harus diobati.”

Seperti hilang kesadaran, aku menuruti langkahnya ketika dia menarik tanganku menyebrangi jalan, masuk ke tokonya dan duduk di kursi halaman belakang toko itu. Aku memandang sekitar dengan linglung. Pandanganku tertuju pada pagar bercat putih yang mengelilingi halaman. Bukan pagar itu, tapi bunga terompet kecil berwarna ungu yang pohonnya merambat di sana. Bunga yang digambar Donghae... Aku masih menatap bunga itu sampai dia mengolesi tanganku dengan obat luka bakar.

“Itu bunga morning glory, Yesung-ssi. Mereka mekar setiap pagi,” katanya tanpa menatapku, “Indah, bukan? Dulu dongsaengmu juga mengatakannya.”

Dia mendongak dan menatapku.

“Kita bertemu setahun yang lalu di rumah sakit, bukan?”

Aku masih diam. Di rumah sakit? Apakah...

“Ah, tidak. Aku melihatmu di rumah sakit, Yesung-ssi, barangkali kau yang tidak melihatku. Aku mendengar ahjumma yang datang kemudian memanggilmu “Yesung.” Aku... aku turut berduka cita untuk dongsaengmu.”

Dia menunduk, menggigit bibirnya. Jadi yeoja ini ikut mengantarkan Donghae ke rumah sakit? Sementara kami diam, aku memandangnya, dari jarak sedekat ini. Matanya memang senja... Wajahnya teduh dan seperti tempat pulang... Aku kehilangan semua makian dan kalimat kejam untuk menyalahkannya. Lagipula apa salahnya sebenarnya?

“Pagi itu dia baru saja datang ke sini, membeli seikat calla lily. Dia bilang, dia akan memberikan itu sebagai hadiah ulang tahun untuk orang yang sangat berharga baginya. Aku bahkan tidak tahu namanya sampai sekarang, Yesung-ssi...”

Ulang tahun? Dia bilang dia membeli hadiah ulang tahun? Hari ini, 24 Agustus? Tubuhku kaku, mataku mengabur. Jadi dia membeli bunga itu untuk hadiah ulang tahunku? Dan dia bahkan tidak menyebutkan namanya pada yeoja ini?

“Namanya Donghae... Namanya Lee Donghae...”

Kepalaku tertunduk dengan bibir dan suara bergetar.

“Namanya Donghae,” kataku, “Dan dia sangat mencintaimu, Ji Kyung-ssi.”

Sekarang yeoja itu yang menatapku tidak percaya. Bibir mungilnya setengah terbuka, wajahnya terkejut dan bingung.

“Kau harus ikut aku sekarang.”

Aku menarik tangannya tanpa persetujuan.

***

***

Lee Ji Kyung’s POV

Aku masih terkejut dan tidak tahu harus berbuat apa ketika namja bernama Yesung ini menyeretku, membawaku naik ke mobilnya, duduk di sampingnya di dalam mobil, lalu diseret lagi masuk ke sebuah rumah megah, menaiki tangga dan masuk ke sebuah ruangan.

“Lihat ini... Dia sangat mencintaimu, bahkan meski kau tidak pernah tahu namanya.”

Aku terperangah. Mendadak mataku panas. Benarkah ini semua aku? Kupandangi semua lukisan di ruangan luas ini, yang tergantung di dinding, yang tergeletak di lantai, sketsa-sketsa di lembaran kertas yang belum selesai. Aku tidak tahu ini benar atau tidak.

“Ya, itu kau, Ji Kyung-ssi,” kata Yesung, seolah mengerti kebingunganku.

Aku menyentuh satu lukisan. Di sana “aku” memakai gaun kuning, memegang payung biru di depan toko bunga. Ya, itu aku. Itu payungku. Di lukisan lain, aku sedang duduk di dalam toko roti dengan segelas coklat hangat. Aku sedang menggunting tangkai bunga krisan. Aku sedang mengelap kaca. Aku sedang bersama Su Jin. Aku sedang duduk di bangku taman. Aku.. semuanya aku...

Entah kenapa mataku mengabur. Kututup mukaku dengan kedua tanganku. Bagaimana bisa ada orang seperti ini? Padahal dia tidak mengenalku? Bahkan aku belum sempat mengucapkan terimakasih padanya... Bahkan aku hanya sekali biacara padanya, kemudian harus melihatnya lagi ketika berlumuran darah dan kehilangan kehidupannya...

“Dia melakukan ini selama satu tahun. Dia tidak pernah berhenti membicarakan dan melukismu, sampai pagi itu... “

Aku menatap namja bernama Yesung itu. Matanya basah. Dia menangis tanpa suara.

“Mianhae, Ji Kyung-ssi... mianhae.. Selama ini aku ingin sekali membencimu, menyalahkanmu atas kepergian Donghae. Aku bahkan tidak tahu bunga itu dia beli untukku... Aku tidak tahu....”

Dia menunduk. Tidak, uljima... jangan menangis.. Aku tidak tahu kenapa ingin meraih tangannya yang gemetar. Dia mengangkat wajahnya, menatapku.

“Gwenchana, Yesung-ssi,,, gwencaha,,,”

***

***

Yesung’s POV

“Gwenchana, Yesung-ssi,,, gwencaha,,,” katanya sambil meraih tanganku yang gemetar.

Aku memandangi wajahnya, wajah yang dicintai Donghae, wajah yang barangkali juga kucintai...

“Ji Kyung-ssi, Donghae selalu berkata, jika dia tidak sempat mengatakannya padamu, aku harus memberitahumu bahwa dia jatuh cinta padamu. Bahwa dia sangat mencintaimu.”

Ji Kyung melepaskan genggamannya. Dia menangis lagi sambil menunduk. Bahunya berguncang.

Mianhae Donghae-ya.. Mianhae... Tolong jangan hukum aku, aku hanya ingin menjaganya, aku ingin melakukan apa yang tidak sempat kau lakukan bersamanya...

Aku merengkuh tubuh kurus itu ke dalam pelukanku.

Uljima... Aku tidak ingin melihatmu menangis...” bisikku ke telinganya, “Saranghae, jeongmal saranghae...

Dia tidak menjawab. Dan aku tidak perlu jawaban. Kebencian yang selama ini kukambinghitamkan berguguran di hatiku, seperti kelopak-kelopak scarlet carson yang berjatuhan dalam lukisan Donghae.

***

POPULAR FANFICTION

BERITA PILIHAN

COPYRIGHT 2024 DREAMERS.ID PUBLISHED BY DREAMERS NETWORK